Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bisnis pers : kelesuan dan ...

Beberapa surat kabar harian terkenal mengalami kri sis. ada yang tidak terbit, ada yang berselisih se perti harian pelita dan berita buana, ada juga rasionalisasi. perolehan iklan diserap televisi.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA pers sedang menuju nadir. Investasi milyaran rupiah yang penuh ambisi dua tahun yang lalu kenyataannya tak berbuah. Dan dalam beberapa hari terakhir ini, pelbagai masalah yang selama ini terpendam berubah menjadi kobaran konflik. Tersebutlah harian Pelita (berdiri 1974), yang sudah mengalami beberapa kali perombakan pimpinan redaksi. November 1990, bekas wartawan senior Kompas, Azkarmin Zaini, diangkat menjadi pemimpin redaksinya. Selang beberapa waktu kemudian, lantaran oplah mandek di bawah 40.000 eksemplar, Pelita merampingkan jumlah karyawannya dari 253 orang menjadi hanya sekitar 100 orang. Belum juga masalah pemutusan hubungan kerja itu tuntas, tahu-tahu H. Azkarmin Zaini, sejak dua pekan lalu, dan empat rekannya mundur dari koran itu. Buntut dari bentrok ini, dewan karyawan Pelita akan menuntut Pemimpin Umum Harian Pelita Abdul Gafur ke pengadilan lewat pengacara T. Mulya Lubis. Juga di harian Berita Buana. Sepanjang tahun 1991, ia tampil dengan gaya baru. Tapi sejak sebulan lalu balik ke gaya lama. Mula-mula gaya penulisan, perwajahan, dan pilihan beritanya berubah. Lalu logonya ikut berubah ke logo lama yang bergambar bulatan dunia. Ternyata, Berita Buana diambil alih lagi oleh Sk. Wibowo, pemilik lama, setelah sejak 1990 dikuasai oleh Sutrisno Bachir, orang bisnis yang menanamkan modalnya di sana. Para awaknya terbelah. Di Media Indonesia, sebagian karyawannya, termasuk wartawan, diberhentikan. Sampai pekan lalu sudah 17 wartawan koran di bawah naungan PT Surya Persindo itu tak lagi bekerja. Delapan wartawan lainnya bakal terkena nasib serupa. "Kami rasakan personel sudah terlalu banyak dibandingkan kemampuan perusahaan," kata Surya Paloh, bos koran itu. "Maka, kami terpaksa mengambil langkah rasionalisasi sebagai salah satu jalan keluar." Rasionalisasi itu berlaku pada seluruh jajaran kelompok Surya Persindo yang dipimpin oleh Paloh, yang punya jaringan 10 koran di daerah dan sebuah majalah. "Dari 1.800 pegawai, 400 di antaranya wartawan, kami akan memotong seperempatnya," kata Surya Paloh pula. Guncangan lain buat grup ini: sebuah koran di Yogyakarta yang masuk manajemennya, Yogya Post, terpaksa tak terbit sejak dua pekan lalu. Ia menyusul rekannya, Atjeh Post dan Peristiwa, yang sudah lebih dulu megap-megap. Koran kelompok Surya Pesindo lainnya bisa terkena nasib serupa, kecuali Lampung Post, yang kabarnya cukup kuat. Raksasa koran daerah seperti Pikiran Rakyat juga mempunyai masalah. Desember lalu, kerja sama manajemen antara Pikiran Rakyat dan Bandung Pos akhirnya hanya berusia dua tahun. Kata Atang Ruswita, pemimpin umum harian yang terbit di Bandung itu, "Uang Rp 2 milyar yang disalurkan ke Bandung Pos masih nyangsang." Beberapa kejadian itu bisa dilihat sebagai ayunan siklus usaha pers yang berbalik ke masa lembek. Dua tahun lalu, para investor begitu menggebu menebar uangnya di bisnis pers. Alasannya, seperti yang dikatakan pengusaha Aburizal Bakrie tiga tahun lampau, ketika ia menyuntikkan modalnya Rp 4,5 milyar ke Pelita: "Bisnis pers saya lihat akan maju di masa datang." Waktu itu, keadaan ekonomi tampaknya mendukung. Bank gencar menyemprotkan kredit, kegiatan di pasar modal bergairah, usaha tumbuh pesat, bisnis iklan di media pun menggembung. Harapan pun menyala-nyala. Dipimpin oleh Surya Paloh yang energetik, Media Indonesia (terbit sejak 1989), belum genap umur setahun, melebarkan jangkauannya ke lima koran daerah. Sesudah itu, ekspansi Media Indonesia seperti tak kenal henti berpacu melawan raksasa koran lainnya, seperti Kelompok Kompas Gramedia (Jakarta) dan Jawa Pos (Surabaya). Orang bisnis yang selama ini takut masuk koran tiba-tiba memasang uang dalam industri pers, misalnya Sukamdani, pemilik Hotel Sahid, Jakarta, bergabung antara lain dengan pengusaha besar seperti Ciputra dan Anthony Salim, memodali Bisnis Indonesia. Kelompok Ika Muda antara lain dikenal sebagai pengusaha real estate dan ekspor udang menginfus dana buat Berita Buana dan majalah Prospek. Tapi kini tiba masa lesu. "Akibat Pemerintah menerapkan kebijaksanaan uang ketat, pemasaran jadi lesu," ujar Surya Paloh. Menurut sumber di Media Indonesia, Surya Paloh sudah merugi Rp 8 milyar lebih. Ini menjelaskan langkah rasionalisasinya. Di media lain, lesunya pemasaran itu menyulut sumbu ketegangan yang ada dalam penerbitan menjadi konflik terbuka. Harian Pelita sudah disebut sebagai contoh. Dalam keadaan lemah, turunlah suntikan modal dari pengusaha Aburizal Bakrie sebanyak Rp 4,5 milyar. Beberapa wartawan berpengalaman direkrut dan dipasang di koran yang sering disebut bernapas "Islam-Golkar" itu. Mereka adalah empat wartawan senior Kompas, yakni Azkarmin Zaini, Sudirman Tebba, Purnama Kusumaningrat, Zaili Asril, dan bekas wartawan TEMPO dan Editor, Syu'bah Asa. Tapi, menurut sumber di Pelita, sejak saat pertama sudah terjadi ketidakcocokan di teras Pelita, antara Azkarmin dkk. -- para pendatang baru dan sejumlah besar karyawan dan wartawan lama. Sebagian kelompok Pelita lama itu kena pecat pada pertengahan tahun lalu. Namun, sementara itu, hasil usaha baik dari penjualan koran maupun pemasangan iklan -- tetap tak menggembirakan. Salahmenyalahkan terjadi. Sejak itu, menurut sebuah sumber, terjadi intrik yang menyebabkan tak adanya kenyamanan bekerja. Akhirnya Azkarmin tak bisa bertahan lebih lama di Pelita. Krisis yang lebih serius terjadi di Berita Buana. Manajemen baru Berita Buana yang didukung Grup Ika Muda masuk sejak November 1990, dengan merekrut 100 wartawan dari majalah TEMPO, Editor, Surabaya Post, di samping menjaring wartawan baru. Kabarnya, lebih dari Rp 10 milyar dana dikucurkan Sutrisno Bachir, bos Ika Muda. Banyak orang menilai terasa ada kesegaran dan perbaikan yang mencolok dalam kualitas penulisan, pilihan berita, dan penampilan khususnya di halaman pertama. Namun, para wartawan yang baru masuk itu -- umumnya berumur di bawah 40 tahun, penuh cita-cita dan gesit -- menimbulkan rasa resah pada wartawan Berita Buana yang lama. Bukan saja gaya kerja mereka berbeda, tapi juga yang baru dikhawatirkan bisa menggeser yang lama, yang rata-rata umurnya di atas 40 tahun. Ketika segi bisnisnya tak kunjung menampakkan hasil, dan tiras koran itu turun dari di atas 100.000 menjadi sekitar 30.000 eksemplar, krisis terasa -- semula di bidang keuangan. Uang pinjaman kian sukar karena kebijaksanaan uang ketat yang menaikkan bunga sampai sekitar 25%. Maka, ketidakpuasan menyebar dan konflik meledak. "Ada perbedaan visi antara kelompok lama dan kelompok baru, antara lain soal pemilihan berita dan pengaturan wartawan," ujar pemimpin sidang redaksi Berita Buana "baru", Zaim Uchrowi, seorang bekas wartawan TEMPO. "Perbedaan mereka dengan kami itu seperti jamu dengan obat," Zaim menandaskan. Kelompok Zaim menginginkan perubahan citra korannya untuk mengejar target pembaca generasi muda dari golongan sosial-ekonomi menengah ke atas. Dengan target begini, Zaim mengakui bahwa pihaknya sejak awal tidak menargetkan naiknya oplah. Inilah yang diserang kelompok orang lama, di bawah pimpinan Robert Garty. "Anak-anak muda itu tidak mengerti soal pers. Tujuan mereka hanya supaya Berita Buana tetap eksis, walau oplah tidak naik," Garty menandaskan. Garty terutama mengecam anak-anak muda itu dalam soal isi. Katanya, Zaim dkk. "suka mengadu domba" pernyataan seorang menteri dengan menteri lainnya. Garty menyebutkan pula bahwa ada pula kasus ketika sebuah artikel diturunkan, yang mengatakan bahwa Marxisme dan Leninisme mulai digandrungi pemuda Jepang dan Indonesia. "Akibatnya, pemimpin redaksi dipanggil Kepala Pusat Penerangan ABRI dan mendapat surat peringatan dari Departemen Penerangan," cerita Garty. Akhirnya, Zaim dan seorang stafnya dipecat Sk. Wibowo, yang resminya masih pemimpin redaksi. Meskipun Wibowo kabarnya hanya memegang saham minoritas, kedudukannya tetap kuat karena dialah pemegang SIUPP. Suasana memanas, lalu terjadilah perpecahan. Para wartawan lama pindah dari kantor Buana yang baru, dan menerbitkan koran itu dari kantor mereka yang dulu, sebelum diinjeksi modal oleh Ika Muda. Meskipun tak semua penyebab konflik itu adalah faktor bisnis, tetap saja kelesuan ekonomi koran Indonesia kini mempersulit penyelesaian sengketa dengan cara yang lebih elegan. Tapi apa daya, pemasukan uang -- yang bisa memperlunak ketidakpuasan para karyawan -- tak ditolong baik oleh pemasaran maupun perolehan iklan. Bahkan, menurut survei Surindo Utama, total pembelanjaan iklan di seluruh majalah menunjukkan tendensi merosot. Dari Rp 82 milyar pada 1990, menurun jadi Rp 81 milyar pada 1991. Data lain untuk surat kabar menunjukkan grafik yang mulai menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Target pemasukan iklan kami separuh pun tak dapat," kata Surya Paloh. Munculnya televisi turut mengubah peta periklanan media massa. Sebuah survei dari kalangan advertensi yang dilakukan buletin Cakram menunjukkan, dalam umurnya yang masih bayi, televisi swasta ternyata menyerap kenaikan pemasukan iklan 76% pada 1990 dan 292% pada tahun berikutnya. Sementara itu, daya beli dan mungkin juga daya baca pas-pasan saja. Serikat Penerbit Surat kabar mengeluarkan data 1991 bahwa oplah koran dan majalah hanya mencapai 13 juta eksemplar, alias turun sejuta eksemplar dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan jangkauan penyebaran media cetak pun melorot. Survey Research Indonesia menyebutkan, kecenderungan membaca di kalangan masyarakat ternyata menunjukkan gejala turun. Tidak diketahui adakah trend ini akan terus demikian di masa mendatang. Jika kian banyak orang lebih suka nonton televisi yang kini semakin panjang waktu siarannya, meskipun tidak berarti semakin bagus isinya dan kurang suka membaca koran atau majalah, industri pers di Indonesia akan mengalami perubahan besar. Setidaknya suasana lesu dan penuh bentrok akhir-akhir ini memberi isyarat, buat para investor yang semula menggebu-gebu, bahwa bisnis pers bisa menyedot uang bermilyar-milyar tanpa hasil. Ardian Taufik Gesuri, Andy Reza Rohadian, (Jakarta) Heddy Lugito (Yogyakarta), Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus