TAK lama setelah invasi Israel ke Libanon pada tahun 1982, lebih seribu orang Pasdaran (Pengawal Revolusi Iran) menyelusup ke basis-basis permukiman Syiah di Libanon Selatan. Dengan semangat menyebarkan Revolusi Islam, mereka mengobarkan semangat, memberikan latihan militer, dan menyuntik bantuan kepada kaum Syiah Libanon. Setahun kemudian nama Hizbullah (Partai Allah), yang sangat mendukung revolusi Ayatullah Khomeini beserta ide-idenya, mulai tampil. Selain gencar melancarkan serangan gerilya melawan pasukan Israel, Hizbullah mengambil jurus lain yang lebih efektif untuk menghadapi Israel dan negara Barat pendukungnya: aksi teror, termasuk penyanderaan. "Tak ada pilihan lain bagi kelompok lemah seperti kami ini dalam melakukan perlawanan, kecuali melakukan penyanderaan sebagai cara menekan Israel dan negara Barat pendukungnya," kata pemimpin Syiah Libanon Syeikh Muhammad Hussein Fadlallah, yang karismatik dan dikenal sebagai pemimpin spiritual kelompok Hizbullah, suatu saat. Maka, sejak tahun 1983 dimulailah aksi teror dan drama penyanderaan oleh kelompok Syiah garis keras ini. Mulai dari aksi kamikaze bom mobil di pangkalan marinir AS dan pasukan payung Prancis di Beirut, aksi bunuh diri bom mobil ke markas pasukan Israel, sampai pengeboman Kedubes AS dan Prancis di Kuwait. Memang, yang mengaku bertanggung jawab atas pengeboman itu adalah yang menamakan dirinya kelompok Jihad Al Islam. Namun, apa pun nama kelompok yang melakukan aksi teror serta penyanderaan di Libanon pada tahun-tahun selanjutnya, sumbernya satu: Hizbullah. Ini antara lain disimpulkan dari pengakuan para sandera Barat yang dibebaskan akhir tahun lalu, yang menyatakan metode kerja dan gaya bicara para penyandera ternyata mirip. Adapun aksi penyanderaan bermula ketika pemerintah Kuwait memenjarakan 17 anggota Jihad Islam yang terlibat pengeboman Kedubes AS dan Prancis. Untuk membebaskan mereka, organisasi ini pada tahun 1984 menculik dua warga AS di Beirut. Sejak itu hampir tiap tahun tercatat aksi penyanderaan, hingga jumlah korban mencapai 30 warga Barat. Di antara para korban itu seorang berhasil lolos, empat dibunuh. Lainnya dibebaskan, terbanyak tahun silam, dan dalam proses pertukaran sandera yang diatur PBB. Yang sampai kini masih disekap oleh kelompok bawah tanah Syiah Libanon adalah dua warga Jerman. Mereka disisakan untuk dibarter dengan pembebasan dua bersaudara Hamadi, warga Libanon yang dihukum penjara seumur hidup di Bonn karena, antara lain, terlibat pembajakan pesawat TWA pada tahun 1985. Kelompok Syiah merupakan mayoritas dari tiga juta warga Libanon. Di negeri seluas hampir 10.300 km2 itu, mereka bukan hanya kelompok terbanyak, tapi juga termiskin. Dan kelompok Syiah radikal di Libanon sebenarnya bukan hanya Hizbullah. Ada juga kelompok Amal Syiah yang didukung Suriah. Sampai dua tahun lalu, dua kelompok itu terlibat pertarungan keras. Dibanding dengan Hizbullah yang ultrakeras, kelompok Amal tampak jauh lebih moderat. Ada yang menilai Syeikh Abbas Musawi, yang dibantai Israel pada 16 Februari lalu, termasuk pemimpin Hizbullah yang agak moderat. Musawi dikenal sebagai rekan dekat Presiden Iran Ali Akbar Rafsanjani, yang dikenal sebagai tokoh pragmatis. Ada pula yang menilai kemoderatan Syeikh Abbas Musawi hanya bila berhadapan dengan yang bukan Israel dan bukan Barat. Terhadap Yahudi dan Barat ia tetap keras. Mungkin pendapat itu ada benarnya. Terhadap pemerintah Libanon, Musawilah yang mengubah sikap Hizbullah yang konfrontatif menjadi lebih konstruktif. Bahkan, sampai memikirkan untuk berperan serta dalam pemilihan parlemen Libanon. Tokoh muda usia yang berumur pendek ini juga berupaya menghindarkan bentrokan antara milisi Hizbullah dan tentara Libanon. Mungkin karena itu, Hizbullah mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah Libanon. Ketika tahun silam semua milisi yang ada di Libanon dilucuti senjatanya, Hizbullah dikecualikan. Kabarnya, pemerintah Libanon menerima alasan para ulama Hizbullah yang menyatakan bahwa kelompok mereka bukanlah kelompok milisi bersenjata, melainkan kelompok pejuang melawan pendudukan Israel. Mereka bertekad tak akan menyerahkan senjata, sebelum pasukan Israel ditarik dari Libanon Selatan. Hizbullah, yang bertujuan menghancurkan negara Israel dan mendirikan pemerintahan berdasarkan syariat Islam di Libanon, kini mendapat semacam status khusus di Libanon. Di Libanon Selatan, Hizbullah menguasai desadesa yang dulunya merupakan basis kelompok milisi Amal. Hizbullah pun bertambah kuat dan dapat merekrut anggota baru. Selama ini bantuan terbesar untuk Hizbullah datang dari pemerintah Iran. Konon, tiap bulan Teheran mengeluarkan dana US$ 3 juta untuk membantu kelompok yang memiliki sayap militer paling berdisiplin di Libanon itu. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini