Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bisnis Sepekan

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank Bali Menghitung Hari

Ibarat jalinan nasib dalam opera sabun, begitulah Bank Bali. Hari ini bangun esok jatuh, sedih gembira ganti-berganti. Mei lalu, daya hidup Bank Bali seperti berkibar ke angkasa setelah pemerintah memastikan untuk menambah kapitalnya. Tapi Jumat lalu, nasib baik berganti celaka setelah rapat umum luar biasa pemegang saham memutuskan menunda program rekapitalisasi itu sampai batas waktu yang tak ditentukan. Senin sebelumnya, DPR menolak rencana pemerintah menginjeksi Bank Bali.

Penundaan ini jelas membuat jurus penyelamatan bank berlambang jempol itu makin sulit. Jika tak segera diinjeksi modal, Bank Bali akan terus mengalami pendarahan karena harus membayar bunga deposito lebih besar ketimbang penghasilan dari kredit. Padahal, jika disetujui bulan ini, rekapitalisasi Bank Bali sebenarnya cuma makan ongkos Rp 4,99 triliun saja. Tapi, karena ditunda (paling cepat baru bisa digelar Oktober mendatang), biayanya akan melambung paling kurang menjadi Rp 5,2 triliun.

Ekonom Bank Mandiri Martin Panggabean menilai tak akan pernah ada solusi menang-menang. Alasannya, terlalu banyak pihak dengan kepentingan yang tarik-menarik. Kalau terus begini, "Bank Bali pelan-pelan akan mati sendiri," kata Martin.

Listrik Salak Menunggak Lagi

Krisis sudah mati, katanya, tapi perusahaan Indonesia tetap tak mampu membayar utang. Lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) sudah siap-siap menurunkan rating perusahaan listrik PT Dayabumi Salak Pratama (DSPL) dari CC menjadi D. Soalnya, pabrik setrum lereng Gunung Salak, Jawa Barat, itu tampaknya akan kembali gagal membayar cicilan pertama utangnya pada sindikasi 10 bank di dunia.

Empat tahun lalu, DSPL menerbitkan surat utang US$ 150 juta. Menurut jadwal, Desember lalu, mestinya DSPL sudah harus membayar cicilan utang pokok yang pertama, sebesar US$1,6 juta. Namun, cicilan pokok ini diabaikan begitu saja. Dengan mengabaikan perjanjian kredit, sindikasi bank kemudian menangguhkan cicilan hingga dua kali lagi. Toh, tetap tak terbayar. Terakhir, Jumat lalu, cicilan pokok ini juga dikemplang.

Jika melihat perjalanan sejarahnya, ketidakmampuan DSPL membayar cicilan utang amat mengejutkan. Empat tahun lalu, perjanjian utang ini terpilih sebagai Deal of The Year dan berhak menerima Asia Pacific Award 1996 karena untuk pertama kalinya perbankan dunia bersedia menanggung risiko atas proyek panas bumi di Asia, tanpa mempedulikan kondisi politik. DSPL merupakan perusahaan kongsi antara Unocal Geothermal of Indonesia Ltd. (UGI) bersama PT Nusamba Geothermal (Grup Nusamba), yang menggaet hak pengelolaan panas bumi di Gunung Salak dan mengolahnya menjadi listrik 165 megawatt.

Listrik DSPL dijual ke PLN untuk disalurkan ke jaringan transmisi PLN di Pulau Jawa. Namun, dalam dua tahun terakhir, pembayaran dari PLN mulai seret. Sejak Mei 1998, PLN cuma membayar 20 sampai 30 persen dari listik yang dikonsumsinya.

Mengisap Sampoerna di Brasil

Aroma cengkeh dalam rokok kretek Indonesia agaknya akan makin mendunia. Adalah PT HM Sampoerna, raja rokok kretek Indonesia yang membuat Dji Sam Soe, yang berencana membangun pabrik baru di Sao Paolo, Brasil. "Tahun depan," kata Direktur Keuangan PT HM Sampoerna, Eka Dharmajanto Kasih, Selasa pekan lalu, "Pabrik baru ini mulai berproduksi."

Menurut Eka, pabrik baru ini akan membuat 7.000 batang rokok tiap menit atau 3 miliar gelintir per tahun, sepersepuluh dari total produksi Sampoerna saat ini. Untuk mencapai kapasitas setinggi itu, pabrik baru ini akan menelan biaya US$ 10 juta (bagian terbesar dibelanjakan untuk mesin). "Kami punya sejumlah mesin menganggur, jadi kami mengirimnya ke pabrik baru itu untuk mengoptimalkan kapasitas produksi," kata Eka.

Langkah agresif pabrik rokok dari Surabaya ini akan memperkuat kuku Sampoerna International (SI) di luar negeri. Sebelumnya, pasar Asia Tenggara sudah digarap lewat Sampoerna Asia Corporation (Singapura), Sampoerna Joo-Lan (Malaysia), Bursa Tobacco Corporation (Myanmar), Vinasa Investment Corporation (Vietnam), dan Sterling Tobacco Company (Filipina). Tahun lalu penjualan Sampoerna di pasar luar negeri mencapai 5 miliar batang dengan nilai penjualan US$ 39 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus