Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain pasar kurang bersahabat, pihak DPR sudah lebih dari sekali menolak rencana pemerintah menjual saham BUMN. Mereka menilai penjualan BUMN yang sakit atau bermasalah bisa menyebabkan harga sahamnya jatuh. Salah satu BUMN bermasalah itu adalah PT Perkebunan Nusantara IV, yang mengelola perkebunan kelapa sawit, teh, dan kakao, di Sumatra Utara. Perusahaan ini oleh Rozy dianggap paling siap dijual melalui bursa. Namun, di sisi lain, masih ada setumpuk masalah yang tak bisa diselesaikan dalam tempo singkat.
Menurut rencana, PT Perkebunan Nusantara IV akan dijual pada bulan ini bersamaan dengan PT Pupuk Kaltim dan Kimia Farma. Persiapan penjualan saham tiga BUMN tadi sudah matang dan hanya menunggu keputusan pemerintah. Jumlah saham yang akan dijual 10-35 persen. Dilihat dari kinerjanya, tiga BUMN ini memang pantas dijual. Tahun lalu, PTP Nusantara IV berhasil mencetak laba bersih Rp 110 miliar. Tentu prestasi ini lebih bagus ketimbang prestasi beberapa perkebunan swasta, yang masih merugi.
Namun, anggota Komisi V DPR menganggap bahwa kini bukan saat yang tepat untuk menjual saham BUMN. "Pasar sedang terpuruk. Kenapa kita harus memaksakan diri menjual BUMN? Hasilnya bisa jeblok," kata Bachtiar Chamsyah, Ketua Komisi V yang membidangi industri dan investasi. Menurut anggota DPR dari PPP ini, DPR sudah meminta agar pemerintah melihat kondisi pasar sampai akhir tahun ini dan tak usah memaksakan diri menjual saham BUMN jika memang tidak menguntungkan. Alasannya, kalau satu saja saham BUMN kandas, yang lain hampir dipastikan juga akan kandas.
Selain itu, kata Bachtiar, PTP Nusantara IV punya masalah manajemen yang berat, termasuk soal pembagian tantiem (uang jasa) perkebunan dan bonus yang kelewat besar. Menurut Bachtiar, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa perusahaan ini membagi tantiem 50-90 kali gaji untuk direksi dan 120-140 kali untuk jajaran komisaris pada 1998. Direktur utama dan komisaris utama, misalnya, mendapat Rp 1,3 miliar dan Rp 660 juta. Akibatnya, ada pembengkakan pengeluaran yang luar biasa besarnya pada 1998, yakni Rp 116,034 miliar. Padahal, Menteri Keuangan sudah memutuskan bahwa besarnya bonus yang diberikan kepada karyawan dan direksi BUMN maksimal 3 kali gaji. Komisaris BUMN yang terdiri atas para pejabat pemerintah juga tak efektifcontohnya Bacelius Ruru, yang menjadi Komisaris Utama PTP Nusantara IV.
Alvin Lie dari Komisi V menambahkan bahwa PTP Nusantara IV juga punya dua masalah besar yang bisa mengganggu kinerjanya di masa datang. Yang dimaksud Alvin adalah penyerobotan tanah dan pencurian tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Sampai saat ini, sudah 5.700 hektare yang dijarah penduduk dari 130 ribu hektare lahan milik PTP Nusantara IV. Tak terlalu besar, memang. Tapi ini menyangkut kepastian hukum dan ketenangan berusaha. Apalagi, hak guna usaha (HGU) lahan pertama milik PTP Nusantara IV akan habis masa berlakunya pada tahun 2004. Tak seperti zaman dulu, perpanjangan HGU harus mendapat persetujuan gubernur. Ini bisa menimbulkan masalah, apalagi jika otonomi daerah diberlakukan awal tahun depan.
Adapun pencurian TBS kelapa sawit ternyata lebih gila. Kerugian PTP Nusantara IV akibat pencurian itu bisa mencapai puluhan miliar rupiah per tahun. Jumlah ini sangat besar, mengingat keuntungan bersih perusahaan yang berdiri pada 1996 itu tahun lalu hanya sekitar Rp 110 miliar.
Jika semua soal tadi dibiarkan saja, jangan berharap penjualan sahamnya bakal sukses. Ditambah lagi, kepastian hukum masih merupakan tanda tanya besar di Indonesia. Celakanya, Presiden Abdurrahman Wahid justru memberi angin kepada rakyat yang merampas lahan milik PT Perkebunan Nusantara IV. "PTP-PTP itu memang banyak nyolong (tanah masyarakat). Enggak dibayar, langsung diambil. Saya tawarkan penyelesaian yang win-win (menguntungkan semua pihak). Tanah itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk 40 persen saham di perusahaan," kata Gus Dur ketika berbicara dalam konferensi nasional pengelolaan sumber daya alam, akhir Mei lalu.
Pernyataan Presiden itu bisa menjadi bumerang bagi penjualan saham PTP Nusantara IV. Analis SocGen Indonesia, Erwan Teguh, mengatakan bahwa investor asing sangat peduli terhadap kepastian hukum ini. Tidak bisa tidak, pernyataan Presiden Abdurrahman justru menambah ketidakpastian di dunia usaha. Bagaimana mengharapkan investor membeli saham perusahaan, terlebih bila perusahaan itu digayuti masalah lahan yang lumayan berat? Pengalaman menunjukkan, tidak mudah menyelesaikan masalah lahan tersebut. Lihat saja kasus PT Kelian Equatorial Mining, perusahaan pertambangan emas di Kalimantan Timur, yang sampai kini belum juga terselesaikan.
Celakanya, pasar modal kini sedang dilanda lesu berat. Investor begitu penuh perhitungan sebelum membeli saham. Kalaupun ada saham yang diburu investor asing, kebanyakan adalah saham consumer goods yang pergerakannya cepat. "Saham perkebunan yang pergerakannya lamban, ya, banyak ditinggal," kata Erwan kepada Lea Tanjung dari TEMPO. Menurut Erwan, melepas saham PTP Nusantara IV ke bursa saat ini memang sangat tidak tepat. "Jauh lebih tepat jika pemerintah menjual saham PTPN IV ini ke investor strategis," katanya. Namun, penjualan model begitu juga bukan berarti tanpa saingan. Badan Penyehatan Perbankan Nasional berencana menjual perkebunan kelapa sawit milik Grup Salim pada akhir tahun ini. Padahal, kinerjanya jauh lebih bagus ketimbang PTPN IV.
Semua masalah itu mengindikasikan bahwa pemerintah belum benar-benar siap menjual BUMN. Menurut bekas Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi, satu-satunya jalan untuk mengurangi ketidakpastian itu adalah membenahi dulu BUMN yang hendak dijual. Maksudnya, ya, dipermak dulu, diberi gincu agar lebih menarik, sehingga harga jualnya bisa lebih tinggi. Dia mencontohkan perusahaan minyak China Petroleum (Petro China), yang punya nilai tinggi karena, sebelum dijual, sudah diperbaiki kinerjanya oleh pemerintah Cina.
Pemerintah Cina memang lebih dulu merestrukturisasi BUMN sebelum menjual sahamnya di bursa. Yang dilakukan antara lain merampingkan tenaga kerja. Hasilnya luar biasa. Dengan hanya menjual 15 persen saham, pemerintah Cina bisa mendapatkan dana segar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 40 triliun. "Berarti value-nya sekitar US$ 35 miliar. Bandingkan dengan Pertamina. Cina tak punya LNG, kita punya. Mestinya nilai Pertamina bisa mencapai US$ 100 miliar," kata Laksamana yakin. Nah, tak ada salahnya Indonesia mengikuti jejak Cina. Setidaknya, kalau penawaran saham bisa ditunda, kenapa tidak? Ya, daripada harganya hancur dan Rozy terpaksa menjual BUMN dengan harga obralan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo