Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marilah kita mulai dengan sebuah tamsil. Suku bunga itu ibarat sarung yang terlampau cekak: ditarik ke atas, kaki kedinginan, dilorot ke bawah, kulit muka diserbu nyamuk.
Itulah yang dihadapi perekonomian kita, hari-hari ini, ketika suku bunga rupiah tiba-tiba meroket. Lelang rutin sertifikat Bank Indonesia (SBI), Rabu lalu, menunjukkan bahwa suku bunga SBI (satu bulan) menanjak hingga 12,33 persen, tertinggi selama enam bulan terakhir (lihat grafik). SBI merupakan simpanan bank ke bank sentral yang menjadi cermin tingkat suku bunga pinjaman antarbank.
Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution, membantah kenaikan itu merupakan respons bank sentral untuk menegakkan nilai tukar rupiah yang terus merosot. Kenaikan suku bunga rupiah, katanya, terjadi karena sejumlah bank tiba-tiba kesulitan likuiditas dan menyerbu pasar uang. ”Jadi,” katanya enteng, ”tak perlu khawatir.”
Mungkin Anwar benar. Tapi tak bisa dibantah, dalam enam bulan terakhir, daya tahan rupiah terus merosot. Sementara itu, suku bunga dolar Amerika Serikat terus menanjak sehingga selisihnya terhadap rupiah makin tipis. Akibatnya, daya tarik rupiah memudar dan para pecinta uang lebih mencintai dolar ketimbang rupiah. Salah satu jurus instan untuk mengatasi pudarnya rupiah adalah dengan menaikkan suku bunga SBI.
Namun, di atas kertas, kenaikan suku bunga juga bukan tanpa risiko. Sekitar 40 persen dari Rp 425 triliun surat utang pemerintah dibiayai kupon bunga mengambang (floating rate mengikuti SBI). Akibatnya, kenaikan suku bunga SBI akan mendorong naik pos cicilan utang lokal (domestic debt). Satu persen kenaikan suku bunga SBI akan mendongkrak pos pengeluaran bujet Rp 3 triliun lebih besar. Jelas, ini satu pilihan yang cukup sulit.
Tapi jika suku bunga tak naik, ancamannya juga tak kalah besar. Harga dolar bisa makin mahal. Akibatnya, pos cicilan utang luar negeri (external debt) jadi menggelembung. Juga jangan keliru, kenaikan dolar bukan cuma menambah beban utang tapi juga mendorong inflasi. Pengalaman pada masa krisis mengajarkan, jika harga dolar sampai belasan ribu, inflasi bisa kembali ke posisi puluhan persen. Sebaliknya, kenaikan suku bunga juga tak menjamin terdongkraknya daya tahan rupiah. Rangsangan suku bunga sulit bereaksi jika stabilitas politik tak dibenahi. Pada zaman ketika kepercayaan terhadap pemerintah merosot seperti sekarang, analis Indonesia di BNP Prime Peregrine Singapura, Harry Su, memperkirakan daya tahan rupiah baru meningkat secara nyata jika suku bunga SBI naik 4 persen sekaligus. Hanya, lagi-lagi mesti diingat, risiko jurus ini juga tidak kecil: beban bunga utang domestik akan naik 25 persen atau sekitar Rp 12 triliun.
Tampaknya, perkara suku bunga memang bisa menggiring pemerintah ke pojok ring—setidaknya bagi Kepala Riset SocGen Jakarta, Lin Che Wei. Didongkrak salah, dikempiskan juga keliru. Tapi, menurut Che Wei, pilihan menaikkan suku bunga sekaligus lebih tepat ketimbang mendongkraknya pelan-pelan. ”Tak ada gunanya,” katanya. Daya tahan nilai tukar tak bertambah tapi beban bunga tetap naik.
Begitu repotkah? Direktur Jardine Fleming Nusantara, Rizal Bambang Prasetijo, merasa tak harus sepusing itu. Bagi Rizal, likuiditas perbankan Indonesia amat encer, sehingga suku bunga rupiah justru harus turun. Apakah tak mendorong pelarian modal? Rizal tak yakin. ”Ini zaman tak normal,” katanya. Maksudnya, modal sudah keburu lari ke luar.
Bahwa suku bunga rupiah harus naik, itu lebih demi menjaga nilai tukar. Apakah efektif? Rizal sependapat dengan Che Wei: memang tidak. Penyakit rupiah ada di politik, bukan suku bunga. Gontok-gontokan elite politik dan kacaunya penegakan hukum telah memupus minat investasi. Karena itu, kenaikan suku bunga bertahap, alon-alon, perlu untuk memperlambat laju penurunan itu.
Lalu bagaimana dengan beban utang domestik yang bakalan naik? ”Tak perlu khawatir,” kata Rizal, ”bujet kita aman.” Pos pengeluaran memang bisa bengkak, sedikit, tapi itu tak akan mengancam karena pemasukan juga meledak. Jika harga minyak tetap seperti sekarang, pemerintah diperkirakan mendapatkan pemasukan ekstra sampai Rp 10 triliun.
Jadi? Memang mirip sarung yang cekak….
Dwi Setyo, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo