Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bisnis Wartawan, Jenis Lain

Penyalahgunaan profesi wartawan, a.l: memeras dalam bisnis dan menggertak pejabat supaya dapat proyek. kartu pers dimanfaatkan pula, mereka bersedia membeli.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB keempatnya memang sedang sial. Hari itu, mereka--Akmal Atatrik (koresponden majalah Detik), Marjunis Zen (majalah Detektif & Romantika), Abdurrahman (koran Bharata) dan Rokana Soma (koran Sinar Pagi) datang ke rumah Sutikno alias Tikia. Kepada tamunya, tuan rumah berjanji akan menyelesaikan suatu tuduhan penyelundupan secara kekeluargaan. Tapi kemudian, ketika Tikia menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Marjunis, tiga anggota Polisi Militer ABRI mendadak menyergap dengan pistol terhunus. Amplop itu, menurut Tikia, berisi uang S$ 2.000 (sekitar Rp 600.000) seperti yang diminta Marjunis dkk. Dan sejak 22 September, mereka diseret ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang dengan tuduhan (berusaha) memeras Tikia. Kendati kelak tuduhan tersebut tidak terbukti, perbuatan menerima imbalan semacarn itu dari sumber berita tetap tidak dibenarkan Kode Etik Jurnalistik PWI. Namun benarkah tuduhan tadi? Menurut Mardjunis, Tikia sengaja menjebaknya. Rupanya Marjunis dkk mencium usaha penyelundupan, yang antara lain dimotori Tikia, di Pelabuhan Batu VI, Tanjungpinang, Riau. Pengawasan terhadap arus barang impor (dari Singapura) sesudah Operasi Halilintar berakhir, menurut keempat wartawan tadi, ternyata semakin kendur--petugas bea dan cukai setempat tidak lagi memeriksanya dengan cermat. "Begitu masuk lori, (barang) langsung bisa keluar pelabuhan," ujar Marjunis. Keempatnya, yang mewawancarai berbagai sumber di Pelabuhan Batu VI, sempat bertengkar mulut dengan aparat Bea Cukai setempat. Tikia, yang barang-barangnya dianggap melanggar prosedur impor, berusaha menyogok Rp 300 ribu. "Tapi kami tolak," tutur Akmal. Sejak itu Tikia, demikian Akmal, berusaha membujuk mereka agar tidak membeberkan kebusukannya di pers. Dan akhirnya komplotan wartawan tersebut tergelincir. Wartawan Ares Tairas, anggota redaksi mingguan Warta Utara, Manado, juga pernah berbuat serupa. Pekan lalu, dia dijatuhi hukuman penjara satu bulan karena terbukti bersalah memeras Lam Kie alias Ketty Sompi, 44 tahun, seorang janda. Sebelum berkelahi di pengadilan, Tairas merupakan partner bisnis Lam Kie sejak 1974. Untuk melancarkan tagihan, Lam Kie sengaja menggunakan profesi Tairas. Entah apa sebabnya, mendadak hubungan keduanya renggang. Toh suatu hari menjelang Natal 1980, Lam Kie datang ke rumah Tairas menyerahkan "kado Natal" berupa lembaran cek bernilai Rp 200 ribu dan Rp 100 ribu. Belakangan ketahuan cek tersebut kosong. Sebagai pengganti, Lam Kie menyerahkan Rp 100 ribu tunai kepada Tairasdi kantor Warta Utara. Seminggu kemudian tersebar berita bahwa wartawan itu memeras partner bisnisnya. Di pengadilan, Tairas semula menyanggah, sekalipun korbannya menunjukkan sebuah copy berita (tulisan tertuduh) yang membeberkan kejelekan Lam Kie dan siap dimuat. Korban akhirnya menunjukkan bekas sobekan (strook) cek yang diberikan kepada terdakwa. Di situ terdapat tandatangan Tairas disertai catatan "atas berita batal." Memang sesudah menerima cek, berita kejelekan Lam Kie tak sempat muncul di Warta Utara. Penyalahgunaan profesi wartawan tidak terjadi di Tanjungpinang dan Manado saja. Di Palu, misalnya, sejumlah wartawan, yang jarang menulis berita dan tak tentu medianya, merangkap sebagai pengusaha. Berusaha membantu pengusaha tersebut, Bupati Donggala Yan Mohammad Kaleb pernah memberikan jatah borongan pembangunan II SD Inpres. Tapi pekerjaan tersebut ternyata tidak beres. Akhirnya pemda setempat kapok, tak memberikan borongan lagi. Di kota yang kecil itu secara resmi terdaftar 36 wartawan--20 di antaranya jadi anggota PWI Cabang Palu. Mereka umumnya pembantu lepas atau koresponden berbagai penerbitan di Ujungpandang dan Jakarta. Mungkin karena sibuk bisnis, mereka jarang menghasilkan tulisan. Bolehkah wartawan merangkap sebagai pengusaha? Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966 tidak melarang wartawan merangkap profesi -- sebagai pengusaha maupun pelawak. "Menjadi wartawan atau pengusaha adalah sangat terpuji dan baik," kata Sekjen PWI D.H. Assegaff. "Tapi paduan antara wartawan dan pengusaha jelas tidak baik dan terkutuk." Ada pula kisah empat wartawan koran mingguan Bharata (Jakarta). Mereka dituduh memeras (Maret 1980) kocek Ir. Nana, Kepala Dinas Tata Kota Kotamadya Bandung, sebanyak Rp 200 ribu. Juga mereka memeras (September 1980) pemborong Ir. B. Sianturi sebanyak Rp 7,2 juta. Pada mulanya, Sianturi menggunakan jasa keempatnya untuk menagih piutang. Dari seseorang, uang tagihan pertama Rp 1,1 juta selamat diterima Sianturi. Tapi uang tagihan berikutnya ternyata masuk saku keempatnya. Karena jengkel, Sianturi mengadu ke pengadilan. Yan Sinambela, Eddy Simorangkir dan M. Silaban, setelah disidang sebulan, dijatuhi hukuman enam bulan dalam masa percobaan setahun. A.C. Husen dibebaskan. Perkara keempatnya dengan Ir. Nana belum pernah disidangkan. Di Sumatera Utara, sejumlah wartawan memanfaatkan kartu pers. Di Simalungun dan Pematangsiantar, misalnya, kartu pers tadi sering mereka pakai menggertak pejabat daerah untuk memperoleh proyek. Kartu pers itu adakalanya mereka beli--selembar Rp 10 ribu. Maka PWI Cabang Sumatera Utara tahun lalu mengeluarkan edaran ke berbagai instansi pemerintah. Mereka dimintanya agar tidak meladeni wartawan pemegang kartu pers yang tidak bertandatangan pemimpin redaksinya langsung. PWI Pusat, Departemen Penerangan dan Dewan Kehormatan PWI 27 Mei 1980) juga mengeluarkan edaran serupa. Selain mengantungi kartu pers penerbitannya masing-masing, wartawan juga diwajibkan melengkapi dirinya dengan kartu PWI. Tapi sejumlah pemerasan justru dilakukan wartawan anggota PWI. Dan penyelewengan juga terjadi dengan kartu pers yang diterbitkan PWI Cabang. Sesungguhnya, kata Assegaff, "PWI Cabang tak berhak mengeluarkan kartu pers."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus