NASIB keempatnya memang sedang sial. Hari itu, mereka--Akmal
Atatrik (koresponden majalah Detik), Marjunis Zen (majalah
Detektif & Romantika), Abdurrahman (koran Bharata) dan Rokana
Soma (koran Sinar Pagi) datang ke rumah Sutikno alias Tikia.
Kepada tamunya, tuan rumah berjanji akan menyelesaikan suatu
tuduhan penyelundupan secara kekeluargaan. Tapi kemudian, ketika
Tikia menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Marjunis, tiga
anggota Polisi Militer ABRI mendadak menyergap dengan pistol
terhunus.
Amplop itu, menurut Tikia, berisi uang S$ 2.000 (sekitar Rp
600.000) seperti yang diminta Marjunis dkk. Dan sejak 22
September, mereka diseret ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang
dengan tuduhan (berusaha) memeras Tikia. Kendati kelak tuduhan
tersebut tidak terbukti, perbuatan menerima imbalan semacarn itu
dari sumber berita tetap tidak dibenarkan Kode Etik Jurnalistik
PWI.
Namun benarkah tuduhan tadi? Menurut Mardjunis, Tikia sengaja
menjebaknya. Rupanya Marjunis dkk mencium usaha penyelundupan,
yang antara lain dimotori Tikia, di Pelabuhan Batu VI,
Tanjungpinang, Riau. Pengawasan terhadap arus barang impor (dari
Singapura) sesudah Operasi Halilintar berakhir, menurut keempat
wartawan tadi, ternyata semakin kendur--petugas bea dan cukai
setempat tidak lagi memeriksanya dengan cermat. "Begitu masuk
lori, (barang) langsung bisa keluar pelabuhan," ujar Marjunis.
Keempatnya, yang mewawancarai berbagai sumber di Pelabuhan Batu
VI, sempat bertengkar mulut dengan aparat Bea Cukai setempat.
Tikia, yang barang-barangnya dianggap melanggar prosedur impor,
berusaha menyogok Rp 300 ribu. "Tapi kami tolak," tutur Akmal.
Sejak itu Tikia, demikian Akmal, berusaha membujuk mereka agar
tidak membeberkan kebusukannya di pers. Dan akhirnya komplotan
wartawan tersebut tergelincir.
Wartawan Ares Tairas, anggota redaksi mingguan Warta Utara,
Manado, juga pernah berbuat serupa. Pekan lalu, dia dijatuhi
hukuman penjara satu bulan karena terbukti bersalah memeras Lam
Kie alias Ketty Sompi, 44 tahun, seorang janda.
Sebelum berkelahi di pengadilan, Tairas merupakan partner bisnis
Lam Kie sejak 1974. Untuk melancarkan tagihan, Lam Kie sengaja
menggunakan profesi Tairas. Entah apa sebabnya, mendadak
hubungan keduanya renggang. Toh suatu hari menjelang Natal 1980,
Lam Kie datang ke rumah Tairas menyerahkan "kado Natal" berupa
lembaran cek bernilai Rp 200 ribu dan Rp 100 ribu. Belakangan
ketahuan cek tersebut kosong.
Sebagai pengganti, Lam Kie menyerahkan Rp 100 ribu tunai kepada
Tairasdi kantor Warta Utara. Seminggu kemudian tersebar berita
bahwa wartawan itu memeras partner bisnisnya. Di pengadilan,
Tairas semula menyanggah, sekalipun korbannya menunjukkan sebuah
copy berita (tulisan tertuduh) yang membeberkan kejelekan Lam
Kie dan siap dimuat. Korban akhirnya menunjukkan bekas sobekan
(strook) cek yang diberikan kepada terdakwa. Di situ terdapat
tandatangan Tairas disertai catatan "atas berita batal." Memang
sesudah menerima cek, berita kejelekan Lam Kie tak sempat muncul
di Warta Utara.
Penyalahgunaan profesi wartawan tidak terjadi di Tanjungpinang
dan Manado saja. Di Palu, misalnya, sejumlah wartawan, yang
jarang menulis berita dan tak tentu medianya, merangkap sebagai
pengusaha. Berusaha membantu pengusaha tersebut, Bupati Donggala
Yan Mohammad Kaleb pernah memberikan jatah borongan pembangunan
II SD Inpres. Tapi pekerjaan tersebut ternyata tidak beres.
Akhirnya pemda setempat kapok, tak memberikan borongan lagi.
Di kota yang kecil itu secara resmi terdaftar 36 wartawan--20 di
antaranya jadi anggota PWI Cabang Palu. Mereka umumnya pembantu
lepas atau koresponden berbagai penerbitan di Ujungpandang dan
Jakarta. Mungkin karena sibuk bisnis, mereka jarang menghasilkan
tulisan.
Bolehkah wartawan merangkap sebagai pengusaha? Kode Etik
Jurnalistik dan UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966 tidak melarang
wartawan merangkap profesi -- sebagai pengusaha maupun pelawak.
"Menjadi wartawan atau pengusaha adalah sangat terpuji dan
baik," kata Sekjen PWI D.H. Assegaff. "Tapi paduan antara
wartawan dan pengusaha jelas tidak baik dan terkutuk."
Ada pula kisah empat wartawan koran mingguan Bharata (Jakarta).
Mereka dituduh memeras (Maret 1980) kocek Ir. Nana, Kepala Dinas
Tata Kota Kotamadya Bandung, sebanyak Rp 200 ribu. Juga mereka
memeras (September 1980) pemborong Ir. B. Sianturi sebanyak Rp
7,2 juta. Pada mulanya, Sianturi menggunakan jasa keempatnya
untuk menagih piutang. Dari seseorang, uang tagihan pertama Rp
1,1 juta selamat diterima Sianturi. Tapi uang tagihan berikutnya
ternyata masuk saku keempatnya.
Karena jengkel, Sianturi mengadu ke pengadilan. Yan Sinambela,
Eddy Simorangkir dan M. Silaban, setelah disidang sebulan,
dijatuhi hukuman enam bulan dalam masa percobaan setahun. A.C.
Husen dibebaskan. Perkara keempatnya dengan Ir. Nana belum
pernah disidangkan.
Di Sumatera Utara, sejumlah wartawan memanfaatkan kartu pers. Di
Simalungun dan Pematangsiantar, misalnya, kartu pers tadi sering
mereka pakai menggertak pejabat daerah untuk memperoleh proyek.
Kartu pers itu adakalanya mereka beli--selembar Rp 10 ribu.
Maka PWI Cabang Sumatera Utara tahun lalu mengeluarkan edaran ke
berbagai instansi pemerintah. Mereka dimintanya agar tidak
meladeni wartawan pemegang kartu pers yang tidak bertandatangan
pemimpin redaksinya langsung. PWI Pusat, Departemen Penerangan
dan Dewan Kehormatan PWI 27 Mei 1980) juga mengeluarkan edaran
serupa. Selain mengantungi kartu pers penerbitannya
masing-masing, wartawan juga diwajibkan melengkapi dirinya
dengan kartu PWI.
Tapi sejumlah pemerasan justru dilakukan wartawan anggota PWI.
Dan penyelewengan juga terjadi dengan kartu pers yang
diterbitkan PWI Cabang. Sesungguhnya, kata Assegaff, "PWI Cabang
tak berhak mengeluarkan kartu pers."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini