WARTAWAN Bambang Eka Wijaya, 35 tahun, mencoba mendirikan
semacam sindikat kolumnis. Dari Medan dia sudah menyebarkan
hampir 330 formulir daftar isian kepada penulis terkenal di
seluruh Indonesia. Sesudah sebulan, hanya 12 orang -- termasuk
M. Natsir, Ayip Bakar dan Mulyana W. Kesuma-yang menyatakan
bersedia mensuplai tulisan.
Kepada penulis dijanjikannya imbalan Rp 25 ribu--dengan potongan
10% sebagai ganti biaya administrasi dan pelayanan--untuk setiap
naskah yang disetujuinya. Menurut dia, artikel (800 sampai 2.000
kata) itu akan diedarkannya ke berbagai koran yang diminta
menerbitkannya secara serentak pada tanggal yang ditetapkannya.
Koran yang memuatnya cuma akan membayar Rp2.500. Tapi dari koran
besar dimintanya imbalan lebih besar, tapi masih akan terhitung
murah.
Terutama pers daerah jadi sasaran pemasarannya. Jika upaya
semacam itu tak ditempuh, "sampai kiamat koran seperti Aceb Post
(Banda Aceh) dan Mercu Suar (Medan) tak akan menerima tulisan
Mahbub Junaidi," katanya, "kecuali mengutipnya dari koran
ibukota yang sudah memuatnya."
Bambang menganggap kolom yang baik akan membantu meningkatkan
kualitas suatu penerbitan. "Kalau rencana saya itu sudah
berjalan, gengsi koran daerah, sekalipun beroplah kecil, akan
naik," katanya lagi.
Tapi beberapa koran di Medan itu sendiri tak tertarik. Ammary
Irabi, Wakil Pemimpin Redaksi Waspada mengatakan korannya sudah
memiliki penulis tetap, "tak mungkin menerima tulisan yang
terbit bersamaan (di berbagai media)." Syamsudin Manan, Pemimpin
Redaksi Mimbar Umum menganggap tulisan berbobot seperti
dikemukakan Bambang belum tentu cocok dimuat di korannya. "Bukan
dari kolom saja mutu suatu koran bisa dinilai," tambah Sofyan,
Pemimpin Redaksi Analisa.
Sempat Dibreidel
Namun Bambang tampaknya mau mengedarkan artikel sebagai suatu
"produk kaleng" (canned product), yang bermutu tapi tidak mahal
bagi pengisi halaman. The New York Times, misalnya, memuat kolom
Art Buchwald yang terbit juga di banyak koran lainnya.
Melebarkan pasaran bagi para penulis Indonesia usaha Barnbang
bisa dianggap baik. Tapi siapa Bambang? Ayah dari empat anak ini
sekarang bekerja di koran Sinar Indonesia Baru (Medan) sebagai
redaktur pelaksana. Gara-gara sajak karangannya (Bulan Anggur),
yang dianggap menghina Islam setelah dimuat di SIB, koran itu
sempat dibreidel selama 36 hari di tahun 1978.
Sindikat kolomnis Indonesia juga pernah dirintis orang atau
kelompok lain. Umumnya usaha begitu tak berusia lama. Yang tanpa
editor, tapi masih bertahan setelah dua tahun, ialah Cbarade di
Bandung. Sekelompok mahasiswa ITB mendirikannya. Dari tangan
mereka ini sudah lahir 105 judul tulisan ilmiah populer-- 102 di
antaranya dimuat di koran Pikiran Rakyat (Bandung). Hanya
sekitar Rp 10 ribu per tulisan.
Buat sementara hanya PR yang selalu menampung produk Charade.
"Kami ingin memajukan koran daerah," kata Djadjat Suhardja,
koordinatornya. "Bukan duit yang menjadi tujuan," tambah Roy
Indarsyah, anggotanya. Namun kini mereka mulai mencari editor.
Kalau tanpa duit, siapa mau?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini