Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bayar Kembali, Dong

Pemerintah menunggak pembayaran kembali restitusi MPO kepada sejumlah perusahaan, yang jumlahnya milyaran rupiah. (eb)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH hari-hari ini tampaknya harus mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk membayar restitusi MPO (Menghitung Pajak Orang) kepada sejumlah perusahaan. Jika segalanya lancar, restitusi itu, yang merupakan selisih antara kelebihan pembayaran MPO dengan PPs (Pajak Perseroan), biasanya dibayarkan kembali tiap bulan Maret. "Tapi hingga kini restitusi kami selama dua tahun, meliputi Rp 2 milyar belum juga dibayar," kata Jim Wiryawan, direktur pemasaran sebuah perusahaan distribusi terkemuka di Jakarta. Tunggakan restitusi yang diminta itu, menurut dia, jumlahnya sama dengan 10% kebutuhan modal kerja tiap bulan. Tidak besar memang. Tapi di saat kredit modal kerja dari pelbagai bank kini mahal, dana sebesar itu "berharga sekali," katanya. Distributor itu baru saja dapat kredit modal kerja dengan bunga 25% dari Bank Central Asia. Dengan modal inilah, distributor itu -- yang bertanggung jawab mengedarkan 28 macam produk dari kembang gula sampai komputer -- antara lain menggaji karyawan, dan mengadakan stok barang untuk masa 2 sampai 3 bulan. PT Southern Cross Textile Industry (SCTI), yang antara lain menghasilkan tekstil Caterina, juga sedang menunggu pengembalian restitusi MPO yang berasa dari tiga tahun anggaran, sebesar Rp 400 juta. Kyohei Nishimi, manajer SCTI, secara terus terang mengkritik lamanya jangka pengembalian restitusi itu. Sebabnya "saya kira sistem birokrasi yang harus dijalani untuk mendapatkan kembali restitusi itu," katanya kepada wartawan TEMPO Minuk Sastrowardoyo. Benarkah karena birokrasi? "Yang jelas ketika saya masih menjabat menteri keuangan tidak ada instruksi untuk menghambat pengembalian restitusi itu," kata Ali Wardhana, yang kini Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan, pekan lalu. Dia menolak anggapan keterlambatan itu sengaja dilakukan karena pemerintah membutuhkan banyak dana rupiah (kekurangan likuiditas). "Nanti saya akan bicarahn soal ini dengan Pak Salamun (Dirjen Pajak)," tambahnya. Kabar dari Ditjen Pajak memang sedang ditunggu. Sebuah perusahaan pekan ini sudah dijanjikan akan mendapatkan jawaban mengenai pengembalian restitusi MPO itu dari kantor inspeksi pajak setempat. "Tapi mungkin saja akan mulur, saya tidak tahu pasti, sebab minggu ini banyak hari libur," kata salah seorang direktur perusahaan yang berkantor di Gunung Sahari, Jakarta. Pada hakikatnya memang MPO merupakan bagian dari PPs, yang dibayar di muka. Jika penghitungan PPs baru bisa dilakukan sesudah akhir tahun buku, yang jatuh Desember, maka MPO biasanya dikutip bersamaan dengan saat penyerahan barang. Sebuah perusahaan distribusi, yang mengambil barang dari produsen biasanya dikenai jenis MPO wajib bayar. Besarnya MPO tersebut untuk perusahaan dagang macam ini, sejak 1 Maret naik dari 2% jadi 3%. Kenaikan tarif itu dilakukan pula terhadap MPO impor dan ekspor untuk impor bahan baku dan ekspor hasil produksi. PT Unilever, misalnya, berhadapan dengan MPO pada dua proses dalam usahanya. Pertama, dalam kedudukan sebagai wajib pungut, perusahaan ini memungut MPO dari distributor ketika penyerahan barang, yang kemudian disetorkan ke kantor pajak atas nama distributor bersangkutan. Kedua, Unilever membayar MPO atas bahan baku yang diimpornya. Jumlah MPO impor yang dibayar perusahaan multinasional penghasil pelbagai barang kebutuhan rumah tangga itu, rata-rata setiap tahun antara Rp 1,2 - 1,3 milyar. MPO impor inilah sesungguhnya merupakan sebagian pembayaran di muka PPs Unilever. Tahun 1981, PPs yang harus dibayarnya mencapai Rp 12 milyar. Karena jumlah PPs ini lebih besar dari pada MPO impor "maka pada kami tak ada soal restitusi," kata Yamani Hasan, dirut Unilever. Sebaliknya perusahaan ini setiap akhir tahun tentu harus membayar kekurangan PPs, yang sudah dicicilnya dengan MPO. "Walaupun kami jelas menghadapi MPO pada dua tahap usaha, menurut saya, itu bukan merupakan pajak berganda," tambah Yamani. Yang sering jadi perdebatan antara pengusaha dan pihak pajak adalah mengenai besarnya PPs, yang harus dibayar wajib pajak. Pihak pajak yang berpikir kritis, lazimnya menghendaki pemeriksaan keuangan suatu perusahaan dilakukan oleh akuntan publik, yang diakui pemerintah, misalnya, SGV Utomo. Tapi pengusaha yang sengaja berusaha mengelakkan petugas pajak, biasanya menghindari pemeriksaan itu dilakukan oleh akuntan publik. Kalaupun petugas menghendaki koreksi atas laporan keuangan itu, pengusaha macam ini lebih suka 'tahu sama tahu' dengan memperkecil perolehan laba untuk menekan PPs yang harus dibayarnya. Bagi perusahaan seperti Unilever, yang sudah go public, karena pembukuan terbuka, penghitungan PPs itu tidak sering menimbulkan persoalan. Tapi bagi perusahaan yang belum go public, koreksi kadang diminta pula oleh petugas pajak sekalipun pemeriksaan keuangan sudah dilakukan akuntan publik. "Kami sudah memakai jasa SGV Utomo, tapi pihak pajak ternyata masih juga meminta laporan keuangan kami (ikhtisar rugi-laba, dan neraca tahunan) dikoreksi," kata seorang direktur perusahaan distribusi. Cara. demikian, kalau benar sungguh memperlambat proses pemasukkan pajak ke kas negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus