NAMANYA mirip merk rokok. Tapi yang satu ini berwarna-warni dan bisa dibaca. Ini memang nama majalah dua mingguan baru yang terbit dua pekan lalu. X-tra diartikan "sesuatu yang lebih" atau "tambahan yang menguntungkan". "Ya, hampir sama dengan bonuslah," kata Widarti Goenawan, Pemimpin Redaksi Femina, yang dalam majalah baru itu menjabat wakil pemimpin umum. "Dengan membaca X-tra kita mendapatkan sesuatu yang lebih," tambahnya. Sesuatu yang lebih yang dijanjikan majalah ini, menurut pengasuhnya, adalah disodorkannya analisa dan kesimpulan, di samping fakta. Kecuali itu juga gambar atau foto yang bukan cuma "pemanis" atau ilustrasi. Ini memang bukan konsep baru, karena sebelumnya banyak majalah yang menggunakan resep ini. Hanya, di majalah baru ini, resep itu dikemas dalam istilah "berita plus". "Plus di sini berarti dua: penampilan yang menarik, dan kedua, menyajikan masalah secara lengkap, mulai latar belakang dan analisanya," ujar Hiang Marahimin, 45, Pemimpin Redaksi X-tra. Riwayat terbitnya majalah baru ini dimulai dari kerugian yang dialami majalah anak-anak Bimba, yang diterbitkan oleh kelompok Femina. Sebelum terjadi kerugian yang lebih banyak, ia dialihkan ke dalam majalah Ayahbunda, yang diterbitkan kelompok yang sama, berupa selipan 16 halaman. Akibatnya, SIT (Surat Izin Terbit)-nya menganggur. Sementara itu, ada beberapa tenaga senior dari grup Femina yang dianggap cukup potensial tapi tidak dapat terserap lagi tenaganya. "Maka, sekitar tiga setengah tahun yang lalu, muncul gagasan untuk membuat majalah feature. Kami melihat adanya potensi foto yang besar di sini, dan kami ingin mengawinkannya dengan potensi berita yang ada," tutur Hiang. Izin pertama majalah baru itu keluar dengan nama Khas. Tapi majalah itu tidak sempat terbit dan dipetieskan selama tiga tahun karena pemerintah sibuk membenahi SIT. Tahun ini SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) keluar, tapi nama Khas tidak boleh lagi digunakan, karena sudah ada dua terbitan yang menggunakan nama yang sama -- satu di antaranya buletin intern di kalangan Bakin. Lalu disodorkan nama Ekstra. "Tapi dipikir-pikir dari segi desain kok kurang gaya. Maka, kami mengusulkan penulisan yang seperti sekarang, dan pihak Deppen menerima," kata Hiang. Konsep dan embrio X-tra disiapkan oleh Hiang Marahimin. Lulusan Fakultas Sastra UI Jurusan Sastra Inggris ini mengadakan studi perbandingan ke beberapa negara Eropa untuk mencari bentuk majalah yang cocok. Akhirnya diputuskanlah untuk menerbitkan suatu majalah yang memproritaskan gambar, mirip majalah Stern, terbitan Jerman Barat. Terbitnya sekali dua minggu karena, untuk sebuah majalah feature, sebulan sekali dirasa terlalu lama, sedang seminggu sekali terlalu cepat. Yang menonjol pada X-tra adalah fotonya yang berwarna-warni, yang sering muncul dua halaman penuh. Pemilihan isi majalah ini tampaknya disesuaikan dengan sasaran pembaca yang tingkat pendidikannya minimal lulusan SMTA. Selain rubrik-rubrik Dalam Negeri, Luar Negeri, Masyarakat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, ada juga rubrik Omong-Omong yang berisi cerita tentang tokoh-tokoh terkenal. Meski isinya sebagian besar mengenai topik yang dianggap aktual, majalah ini -- seperti diakui oleh para pengasuhnya "bukan majalah berita". Begitu pula, walau gambar memperoleh prioritas, porsi berita dan gambar tetap sama, 50:50. Menurut pengakuan para pengasuhnya, nomor perdana X-tra, yang dicetak 40 ribu eksemplar, habis terjual, hingga dicetak lagi tambahan 20 ribu eksemplar. Ini membuat para pengasuhnya optimistis pada prospek majalah yang dijual dengan harga Rp 1.500 ini. "Kalau oplahnya bisa stabil seperti sekarang ini -- 60 ribu eksemplar -- dalam dua atau tiga kali penerbitan titik impas akan bisa tercapai," ujar Hiang. Sejumlah agen majalah berbeda pendapat. Menurut mereka, yang umumnya tajam dalam menganalisa dan memantau pasar, prospek X-tra kurang cerah, bila kualitas nomor-nomor berikutnya tetap sama dengan nomor pertama. "Meski desain dan tata perwajahannya lumayan, X-tra kalah dalam mutu isi dan warna bila dibanding dengan Jakarta-Jakarta," kata Mesri Pasaribu, seorang agen besar majalah di Jakarta Pusat. Agar prospek X-tra membaik, kata Mesri topik-topiknya harus diubah. Mesri mungkin benar. Nomor pertama X-tra memang kurang meyakinkan. "Berita plus" yang dijanjikan terasa belum terpenuhi. Berita dan gambar yang disajikan kurang khas dan eksklusif. Meski begitu, bukan tidak mungkin majalah baru ini akan bisa merebut pasar, bila nomor-nomor mendatang diperbaiki. Sebab, gaya penulisannya sebetulnya cukup baik, meski penyajiannya kurang menarik. Walau para pengasuh X-tra mengatakan bahwa majalah mereka tidak untuk menyaingi Jakarta-Jakarta, persaingan antara kedua majalah tengah bulanan ini pasti akan terjadi. Meski cara penyajian dan penulisannya berbeda, kedua majalah ini sama-sama memprioritaskan gambar. Bila X-tra mengatakan, "Gambar lebih berharga dari seribu kata", Jakarta-Jakarta mengatakan memilih gaya "dramatik jurnalistik" dengan menonjolkan foto-foto peristiwa dan gambar-gambar pembuat berita. Gaya jurnalisme Jakarta-Jakarta ini, meski di saat-saat awal terbitnya tahun silam mengagetkan banyak orang, kini tampaknya mulai bisa diterima terbukti dengan oplahnya yang mulai menaik lagi. Majalah yang diterbitkan kelompok Kompas ini memang kuat dalam segi foto, yang ternyata mendorong orang untuk membelinya. Yang jelas, terbitnya X-tra telah memperkaya jenis majalah berita di Indonesia, dan memberi alternatif bagi masyarakat untuk memilih gaya jurnalistik yang paling mencocoki selera. Bertambahnya saingan untuk memperebutkan pasar juga bisa menguntungkan masyarakat: majalah-majalah tersebut harus selalu menjaga dan meningkatkan mutunya agar bisa laku. Susanto Pudjomartono laporan Happy S (Bro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini