PEREMPUAN itu merebahkan kepalanya di pangkuan Rendra -- dialah Panji Reso, suami perempuan itu. Jiwa dan pikiran Nyi Reso keteter dan letih mengikuti arus kemauan suaminya yang hendak merebut tahta, di saat keadaan kacau. Nyi Reso tertidur, dan Panji Reso menyambung monolognya: ". . . Negara sedang merosot pamornya. Para senapati sekadar bisa malang-melintang memamerkan kekuasaan .... Mereka sudah puas asal bisa menakuti rakyat yang tidak pandai apa-apa. Para pangerannya tidak ada yang berbakat memerintah ...." Suksesi kepemimpinan di sebuah kerajaan antah berantah -- tema yang selalu menarik untuk pengarang epik di mana pun dipentaskan Rendra di Istora Senayan, Kamis dan Jumat pekan ini, dengan judul Panembahan Reso. Ini kisah tentang seorang kepala pemerintahan, Raja Tua, yang cuma percaya kepada bayangannya sendiri. Ia sudah berusia 85 tahun, tetap baik hati, hanya saja rakyat hidup dalam ketidakpastian. Para panji, jajaran penguasa pemerintah daerah, dikontrol secara ketat, bahkan dicurigai. Laporan-laporan mereka tentang kondisi daerah cenderung diabaikan penguasa pusat, kecuali jika laporan itu menyenangkan. Lakon itu, lengkap dengan cerita kelanjutannya, ditulis Rendra secara bertahap, dan rampung pertengahan Juli yang lalu. Latihan sudah dimulai pada awal Mei, dengan naskah yang masih terpenggal-penggal. Bahkan sejak Bengkel Teater Rendra menyatakan diri aktif kembali, Februari, latihan rutin berlangsung saban malam, meneruskan gaya Yogya -- apa yang disebut improvisasi, misalnya, atau observasi lingkungan, atau silat. Semuanya berlangsung di sebuah rumah kontrakan di Jalan Sarikaya, Depok Bogor, sekitar satu kilometer dari rumah tinggal Rendra. Tentu, kehidupan Jakarta mengharuskan pengubahan kebijaksanaan dari yang dilakukan di Yogya dulu. Uang saku, misalnya, juga uang transpor (dua-duanya berjumlah Rp 4.000) harus diberikan per hari. Di antara hampir 60 pemain dan awak, mereka yang sudah berkeluarga mendapat pula tunjangan Rp 50 ribu per bulan, sejak latihan awal. "Semua mendapat jatah yang sama, tidak ada perbedaan berdasarkan senioritas," tutur Adi Kurdi -- yang memerankan tokoh Raja Tua -- di sela-sela latihan. Pemain senior Bengkel Teater dengan akar Yogya merupakan 10% dari seluruh pendukung Panembahan Reso. Bagi mereka, terutama, besarnya uang tunjangan itu tak jadi soal -- menurut Adi Kurdi, yang sudah dikenal lewat penampilannya dalam beberapa film, dan yang kali ini tidak dapat uang transpor berhubung ia dijemput dan diantar. Latihan rutin yang berlangsung sejak Februari menjadi dasar casting, penentuan pemain. Dan bersama pemain dan segala kelengkapannya, Bengkel Teater memang tengah menyiapkan sebuah perhelatan besar -- paling tidak dari segi gagasan dan biaya yang diserap. Penanggung dana, seperti juga pada pembacaan puisi Rendra beberapa bulan lewat, adalah Kurnia Kartamuhari Direktur Utama Artha Saphala, perusahaan yang antara lain mengekspor pasir. "Saya sudah membayarkan ke Bengkel Rp 75 juta," katanya pekan lalu. Itu memang nilai kontrak Panembahan Reso -- dibayarkan secara bertahap sejak Februari. Kurnia, 39, masih punya beban tambahan: membayar sewa Istora Senayan Rp 35 juta untuk dua malam. Lalu biaya promosi dan pencetakan karcis. "Total saya mengeluarkan hampir Rp 150 juta," katanya. Semua itu ia tanggung sendiri. Menurut sumber TEMPO, perusahaan lain umumnya, sih, enggan berhubungan dengan kegiatan Rendra, baik oleh alasan keuntungan maupun lainnya. Toh Kurnia tetap optimistis, dari segi yang pertama. "Sebuah kerja yang telah disiapkan lima bulan tentu diharapkan membawa untung," katanya. "Kalau rugi juga, ya tak jadi soal. Untung rugi dalam bisnis 'kan biasa." Selama satu bulan terakhir ia mengerahkan 26 orang untuk untung-rugi itu. Termasuk mengkoordinasikan penjualan karcis. Sampai akhir pekan lalu, karcis VIP yang Rp 25 ribu sudah terjual lebih dari 60% (dari 3.000 lembar untuk dua malam). Sementara yang kelas I (Rp 10 ribu), II (Rp 5 ribu), dan III (Rp 3 ribu), masih agak seret. Sasaran penjualan mereka ternyata sampai ke Bogor dan Bandung. Dengan dukungan keuangan seperti itu manajemen organisasi Bengkel memang tampak ada kemajuan. Menyangkut makan siang, umpamanya, ada kontrol dan pemenuhan gizi -- ada sebutir telur, sepotong ayam, plus sayur. Sejak pertengahan Agustus lalu, gedung pertemuan yang disebut Balai Rakyat, di Perumnas Depok I -- bangunan sekitar 400 m2 sudah pula disewa dengan harga Rp 25 ribu per hari. Di gedung beratap asbes yang terletak hampir dua kilometer dari rumah Rendra ini latihan berlangsung. Sunarti, bekas istri Rendra, yang bertanggung jawab pada musik, juga sudah bergabung di situ, setelah mengerjakan tahap persiapan secara terpisah di Pasar Minggu. Perlengkapannya meliputi gong, gendang, beduk, suling bambu, genta sapi, dan gamelan. Kok tidak terlibat dalam dramanya? "Ehm. Bagaimana, ya? Saya merasa, di musik saya bisa berekspresi secara lebih total, tu? Tidak harus tergantung, gitu." Dulu, pada pementasan Rendra yang lain, Lysistrata, penanggung jawab musik juga Sunarti Rendra (waktu itu) dengan peralatan sama. Sementara itu, urusan penataan panggung dipercayakan pada Ken Zuraida, istri Rendra sekarang -- dengan supervisi Rudjito, yang sering dibilang penata panggung tak tercela. Bayangkanlah, Anda menonton cerita sandiwara sepanjang tujuh jam. Menyaksikan 41 adegan. Para pemain berseliweran dengan kostum dan peralatan, seperti tombak dan tameng, yang mengingatkan pada ketoprak. Betahkah Anda? "Kenapa tidak?" jawab Rendra sendiri. "Di nite club saja orang kerasan berjam-jam. Di sini, setiap adegan akan menggoda bayangan penonton, karena masih misteri dan jawabannya baru muncul di akhir cerita. Yang meninggalkan kursi di tengah cerita tidak akan tahu juntrungannya secara utuh." Dengan kata lain, ini bukan menonton lenong atau wayang orang semalam suntuk, yang bisa ditinggal pergi berjajan atau jalan-jalan untuk menghilangkan pegal-pegal di badan. (Mau jalan-jalan ke mana, di kompleks Istora Senayan?). Bah ! Bagaimanapun, ini ujian bagi Rendra -- yang pada 1970-an pernah mengikat penonton dengan Mastodon dan Burung Kondor selama empat jam di tempat yang sama. Paling tidak, para pembeli karcis tentunya boleh menguji diri mereka. Dan, andai pun pementasan "kurang ada apa-apanya, paling tidak Rendra sudah memecahkan rekor dari segi jam itu. Barangkali ini drama terpanjang di dunia, lho! Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini