SIAPA bilang becak terserempet mobil bukan berita? Ini terjadi di Vancouver, Kanada. Becak itu becak Singapura, riksaw, yang ditarik mahasiswa dan mahasiswi Kanada dan berkeliling di sekitar lapangan tempat Expo '86. Becak lain lagi, yang juga jadi berita, bernama Ngupoyo Upo. Ini asal Yogyakarta. Tidak keserempet mobil, memang, tapi dipajang untuk melengkapi salah satu pameran yang bertema "Komunikasi dan Telekomunikasi" -- World in Motion -- World in Touch. Bukan cuma becak yang dibanggakan Indonesia di Kanada. Selama seminggu pekan lalu, acara ekspo (dibuka 2 Mei dan ditutup 13 Oktober) ini disemarakkan dengan berbagai acara memperingati HUT Proklamasi. Tentu saja, khusus di anjungan Indonesia. Ada pengerekan bendera merah putih, ada terjun payung, arak-arakan drum band Akabri, pameran KRI Dewaruci, juga pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Panitia Expo '86 memang memuji anjungan Indonesia sebagai peserta yang paling aktif menyelenggarakan acara kesenian. Menurut Robby Sularto, manajer anjungan Indonesia, pihaknya di samping menyelenggarakan pameran tetap juga mempersiapkan lebih dari 50 mata acara kesenian berbagai daerah. Semuanya dipentaskan setiap pagi, siang, dan sore. Belum terhitung konser gamelan di berbagai arena dan pementasan sendratari monyet alias kecak Bali. Grup kecak itu diboyong dari Desa Teges, Gianyar, Bali -- yang dulu juga diboyong Sardono W. Kusumo ke Iran. Di luar anjungan Indonesia, grup kecak ini juga dipentaskan tiga hari berturut-turut di Xerox International Theater dalam ekspo itu disejajarkan dengan grup kaliber dunia versi Barat seperti La Scala dari Italia. Selama tiga hari itu tepuk tangan ribuan penonton seperti tak kunjung reda. "Tahun depan liburan ke Bali, yuk," kata seorang penonton. Ini memang promosi luar biasa. Sudah empat bulan Expo '86 berlangsung, "jualan" paling laris anjungan Indonesia memang acara kesenian. Habis, kita punya apa lagi? Pengunjung harus antre panjang untuk bisa menonton. "Kami memang harus berebut perhatian di antara acara-acara negara maju yang serba mengagumkan," ujar Robby Sularto, arsitek yang sudah lama tinggal di Bali. Semua kegiatan ini memerlukan biaya tak sedikit -- konon sampai Rp 4 milyar. Walau itu sudah sangat ditekan -- misalnya para seniman bekerja serabutan: penari Bali dengan cepat ganti baju menjadi penari Jawa, atau ganti baju biasa menabuh gamelan. Biaya itu belum termasuk untuk proyek kapal layar tradisional Bugis, Phinisi Nusantara, yang kini tengah berlayar menuju Vancouver. Phinisi, yang pekan ini berada di sekitar perairan Hawaii, itu ditunggu di Expo pada pertengahan September.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini