Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman RI Hery Susanto buka suara soal usulan kenaikan harga tiket pesawat. Sebelumnya, usulan tersebut disampaikan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dengan dalih biaya operasional pesawat yang mahal. "Kalau bisa murah, kenapa harus naik?" ucap Hery ketika ditemui di Ombudsman, Senin, 27 Mei 2024. "Itu akan memberatkan masyarakat, ya."
Terlebih, kata Hery, Garuda Indonesia merupakan maskapai milik badan usaha milik negara alias BUMN. Menurutnya, maskapai pelat merah ini mesti memberi pelayanan terbaik, termasuk dari sisi tarif. Apalagi, BUMN disokong anggaran negara. "Swasta pun, saya pernah dapat keluhan, BUMN di-back up APBN, swasta tidak. Tapi (harga tiket maskapai penerbangan swasta) relatif di bawah BUMN," ujar Hery.
Namun, Hery tidak menampik harga mahal yang ditawarkan Garuda Indonesia juga menyaingi pelayanan maskapai penerbangan swasta. Ia menilai, pelayanan maskapai pelat merah relatif lebih baik jika dilihat dari ketepatan waktu keberangkatan pesawat. Ia juga memaklumi soal kebutuhan biaya operasional, seperti untuk bahan bakar avtur. "Tapi, ya, apakah sebanding (kenaikan harga tiket dengan pelayanannya)?" ucap Hery. "Ini menarik juga untuk terus kami kaji sebagai suatu bentuk pencegahan maladministrasi."
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merevisi kebijakan tarif batas (TBA) atas tiket pesawat. Salah satu alasannya, besarannya belum berubah sejak 2019. "Walaupun kami tahu enggak mudah, tapi akan tetap kami sampaikan kondisi nyatanya saja bahwa semua (harga) naik," ucapnya di Gedung Manajemen Garuda Indonesia, Tangerang, Rabu, 22 Mei 2024.
Irfan menyadari kenaikan TBA tiket pesawat berpotensi menuai protes dari masyarakat. Ia pun meminta tidak membandingkan harga tiket penerbangan domestik dengan penerbangan internasional. Irfan menjelaskan, pesawat bukan moda transportasi utama karena digunakan kalangan tertentu. Irfan berharap masyarakat dapat memahami kenapa pesawat membutuhkan ongkos yang mahal. "Tiga puluh persen dari biaya kita tuh avtur, 30 persen sewa 20 sampai 30 persen maintenance. "Mau dibikin maintenance nol? bisa," ucapnya.
Menurutnya, perusahaaan perlu memastikan hitungan tersebut. Jika terjadi kerusakan, pesawat tidak akan bisa terbang, sedangkan jadwal penerbangan harus tetap terlaksana. Ia juga mengatakan pengoperasian pesawat tidak bisa langsung bertanggung jawab dengan hanya mengucap maaf, lalu menyuruh penumpang untuk mencari jalan lain ke tempat tujuan. "Ini bisnis yang mahal dan ini bisnis yang single digit," ujarnya.
Usulan tersebut ditolak Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). "Biaya operasional mahal adalah alasan klasik untuk mencari cara menaikkan harga tiket pesawat," kata Ketua BPKN Mufti Mubarok kepada Tempo, Sabtu, 25 Mei 2024. Mufti menilai kenaikan harga tiket pesawat akan memberatkan masyarakat. "Harga tiket selangit, konsumen menjerit.
Alih-alih menaikkan harga tiket, menurut Mufti, maskapai penerbangan mestinya justru mendesak pemerintah mengurangi pajak-pajak yang memberatkan maskapai. Sebab, kata dia, pada akhirnya konsumen yang menjadi korban dengan beban harga tiket selangit. "Terutama Garuda," ujarnya.
Mufti juga tidak setuju kalau harga tiket pesawat naik karena menurutnya saat ini harga tiket sudah tinggi, namun kerap mengabaikan hak konsumen. Mufti menilai, layanan maskapai penerbangan di tanah air masih kurang prima dibanding layanan maskapai pesawat luar negeri. "Pesawat delay cukup lama masih menjadi hal biasa bagi penerbangan di Indonesia," kata Mufti. "
Pilihan editor: Kontroversi Garuda Indonesia: Keterlambatan Penerbangan Haji hingga Mahalnya Harga Tiket
RIRI RAHAYU | AISYAH AMIRA WAKANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini