Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Indosat Ooredoo Chris Kanter menilai tarif sewa tower di jaringan Mass Rapid Transit atau MRT yang ditawarkan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk terlalu tinggi. "Harusnya tidak seperti itu," ujar dia selepas jumpa pers di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Senin, 25 Maret 2019.
Baca juga: MRT Beroperasi, Harga Properti di Sekitar Stasiun Diprediksi Naik 10 Persen
Menurut Chris, tarif sewa tersebut semestinya tidak begitu tinggi lantaran dipergunakan untuk pelayanan publik. Walau, ia sepakat bahwa perlu ada investasi untuk jaringan dalam transportasi di bawah tanah itu. "Boleh, jelas lah, masak dirugikan, kan mesti sama-sama untung, tapi tidak seperti itu."
Misalnya saja, kata Chris, perusahaannya ditawarkan untuk membayar tarif sekitar Rp 600 juta sebulan. Padahal, menurut dia, tarif tersebut semestinya tidak mencapai nominal tersebut untuk satu tahun. Kendati demikian, Chris belum menyebut berapa tarif yang wajar untuk biaya sewa jaringan itu.
"Itu mesti dihitung, kan panjangnya hanya untuk yang di bawah tanah," ujar Chris. Ia berujar perusahaannya tidak bakal memasang jaringan di fasilitas anyar itu kalau tarif yang ditawarkan sangat tidak wajar. "Yang terganggu tentu konsumen."
Meski demikian, Chris mengatakan perihal tarif itu juga tengah dikomunikasikan bersama rekan-rekan operator lain di Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) dan pihak terkait.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah mengatakan, operator seluler enggan memasang perangkat di jalur MRT karena ada selisih yang tinggi antara harga sewa perangkat pasif yang diminta operator dengan harga sewa yang ditawarkan oleh PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) sebagai selaku mitra strategis penyedia konektivitas seluler dan jaringan internet nirkabel di kawasan operasional MRT fase I.
TBIG menetapkan tarif sewa berdasarkan jumlah investasi yang dikucurkan ke MRT dan kewajibannya untuk berbagi pendapatan dengan PT MRT Jakarta. “Dari sisi operator seluler, MRT ini tidak atau [hanya] sedikit menambah trafik baru untuk voice dan data, karena pada dasarnya hanya menambahkan trafik yang ada dari jalur lain ke jalur MRT,” kata Ririek.
Perbedaaan perspektif tersebut membuat ada perbedaan perhitungan yang cukup lebar antara operator seluler dan TBIG. Dari dokumen yang didapatkan Bisnis, TBIG menawarkan harga Rp3,5 miliar hingga Rp4 miliar per operator untuk sewa perangkat pasif berkapasitas 600 Mbps di 6 stasiun bawah tanah MRT sepanjang 2 tahun pertama. Operator seluler meminta harga sewa Rp1 miliar per tahun.
PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) menampik kabar yang menyatakan tarif sewa perangkat pasif di kawasan operasional MRT Jakarta terlampau mahal. Tarif yang ditawarkan TBIG sebagai mitra strategis pengelola moda transportasi tersebut diklaim setara dengan tarif serupa di beberapa bandara.
Helmy Yusman Santoso, Direktur & Chief Financial Officer Tower Bersama Infrastructure mengatakan bahwa TBIG hingga saat ini terus mendiskusikan tarif sewa perangkat pasif di MRT Jakarta dengan para operator seluler. Harga yang tertera di dokumen yang didapatkan Bisnis, menurutnya, tidak bisa dijadikan rujukan. "Tabel harga itu [yang tertera di dokumen yang didapatkan Bisnis] bukan penawaran dari kami sehingga tidak bisa dipakai sebagai rujukan," kata Helmi kepada Bisnis, Minggu (24/3/2019).
BISNIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini