Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menegaskan bahwa keuangan haji dikelola dengan berbasis syariah. Hal itu merupakan prinsip dasar bagi lembaga tersebut. Sesuai dengan Pasal 2 UU No. 34 Tahun 2014.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita (BPKH) selama ini menjalankan pengelolaan keuangan berbasis syariah. Kita tidak punya nyali untuk mengelola keuangan yang tidak berbasis syariah. Bahkan setiap ada investasi instrumen baru yang ditawarkan oleh banyak pihak, itu selalu kita konsultasikan dulu dengan MUI," ujar Anggota Badan Pelaksana BPKH, Amri Yusuf, pada acara BPKH di Muamalat Tower, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun sebelumnya MUI dalam Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima'Ulama/VIII/2024 mengeluarkan keputusan untuk mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain.
Amri menjelaskan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI itu bersifat prospektif bukan retrospektif. "Nah kalo ada fatwa haram dari MUI, itu bersifat prospektif ke depan, bukan retrospektif ke belakang," ujarnya.
Perihal penyelesaiannya, fatwa tersebut nantinya akan diformulasikan bersama dengan pemerintah dan DPR. "Saya dengar Kementerian Agama akan segera melakukan Mukernas, mengundang pihak DPR dan Majelis Ulama untuk memformulasikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang tepat untuk tahun 2025," katanya.
Sebelumnya MUI mengharamkan pemanfaatan hasil investasi setoran awal biaya haji calon jemaah untuk membiayai anggota jemaah lain. Penetapan fatwa ini berawal dari temuan bahwa tak semua hasil investasi dari dana setoran haji kembali kepada pemilik dana.
Dalam temuan MUI, Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) menggunakan dana hasil investasi untuk keperluan lain alih-alih masuk ke rekening calon anggota jemaah. "Bahkan, berdasarkan penjelasan BPKH, ada manfaat investasi calon jemaah haji yang digunakan untuk menutupi kebutuhan jemaah haji yang berangkat di tahun berjalan," begitu tertulis dalam buku Himpunan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa VIII 2024 yang diterbitkan Komisi Fatwa MUI.
Padahal Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji menetapkan saldo setoran beserta nilai manfaatnya merupakan milik jemaah. Jika dana tersebut lebih besar dari penetapan biaya perjalanan ibadah haji, BPKH wajib mengembalikan selisihnya kepada jemaah.
Namun, dengan praktik yang berlangsung selama ini, MUI menilai hak jemaah haji menjadi berkurang. Di sisi lain, ada anggota jemaah haji yang memakan hak orang lain. "Dalam jangka panjang, jika tidak dibenahi, pasti akan menimbulkan masalah yang serius dalam hal likuiditas." Majelis merekomendasikan BPKH memperbaiki tata kelola keuangan haji.
Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.