CALTEX tiba-tiba saja diisukan. Perusahaan minyak Amerika yang paling besar produksinya di Indonesia itu, oleh harian Jakarta Post, diberitakan memanipulasi laporan. Sebenarnya tidak hanya Caltex. Tuduhan manipulasi juga ditudingkan kepada investor asing (pertambangan) di Indonesia secara umum. Kebetulan, Caltex disebut secara spesifik. Menurut koran berbahasa Inggris itu, Caltex memberikan laporan bohong kepada Biro Pusat Statistik (BPS). Di situ disebutkan, perusahaan minyak ini membuat laporan berbeda kepada pemerintah RI atau ke kantor pusatnya di AS. Dua pekan sejak tuduhan itu, Caltex cuma sekadar membantah, tanpa membeberkan data. Sikap ini agaknya terkait pada BPS, yang menuduh tanpa data. Sumber "polemik" adalah Ketua Biro Neraca Nasional BPS, Kusmadi Saleh. Pada sebuah seminar lingkungan hidup di Jakarta, Kusmadi dengan gamblang menyatakan, angka produksi dari beberapa kontraktor asing di Indonesia, di antaranya Caltex, tidak benar. "Kami sulit minta penjelasan, karena pihak Caltex sulit dihubungi," ujar Kusmadi, yang kemudian dikutip Jakarta Post. Ketika dikonfirmasikan, Kusmadi enggan bicara. "Apakah wartawan itu benar mengutipnya?" Kusmadi balik bertanya. Tapi Wakil ketua BPS, Soetjipto Wirosardjono, bersedia angkat suara. Menurut Soetjipto, ketidakakuratan laporan Caltex ditemui BPS melalui sistem consistency check, dengan membandingkan data perkembangan produksi Caltex daritahun ke tahun. Data itu lalu dibandingkan dengan data lain yang relevan."Dari situ kan bisa bisa terlihat, apakah akurat atau tidak," katanya. Pihak Caltex bicara lain. "Kami memberikan laporan detail dan akurat kepada Pemerintah maupun induk perusahaan di Amerika," kata I Made Surya Kusuma, Industrial Affairs Divison Manager PT Caltex Pacific Indonesia. Sanggahan ini tidak dilengkapi penjelasan yang lebih transparan dalam perkara data kekayaan alam Indonesia yang mereka gali. Sedangkan hak BPS untuk memperoleh data memang didukung oleh UU Statistik. Persoalannya, bagaimana jika data itu tidak benar, seperti ditudingkan Kusmadi. "Kami tidak berwenang memberi sanksi jika ada data yang tidak benar," kata Soetjipto. Menurut ahli statistik yang pandai mendalang ini, BPS mengenal tiga kategori data: yang diterima, yang diterima dengan syarat, dan tidak diterima. Terhadap data yang tidak diterima, BPS akan mengajukan surat pemberitahuan. Jika data akurat masih sulit didapat, BPS menerjunkan pasukannya ke lapangan. Jika belum berhasil juga, BPS melakukan estimasi sebagai jalan terakhir. Kecurigaan pada ketidakjujuran kontraktor bagi hasil (production sharing) sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam rapat kerja Komisi APBN DPR empat pekan lalu, juga pernah dipertanyakan soal biaya produksi minyak per barel yang dianggap terlalu mahal. Dalam pemantauan DPR, biaya produksi per barel yang ditetapkan kontraktor bagi hasil (US$ 4,39/bbl) jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Iran, Irak, dan Kuwait hanya menghabiskan biaya US$ 1,45 sampai 1,97 untuk setiap barel minyak yang disedot. Ada memang biaya produksi yang tinggi, yakni di Dubai. Tapi itu pun tidak melebihi US$ 4/bbl. Tentang ini, Menteri Keuangan Sumarlin rupanya siap menjawab. Katanya, produksi minyak di Indonesia mahal karena sebagian besar lapangan minyak di sini sudah tua dan kapasitas produksinya kecil. Akan halnya angka biaya produksi yang US$ 4,39/bbl, itu merupakan biaya rata-rata bagi hasil. Sedangkan Caltex sendiri menetapkan biaya yang jauh di bawah, yakni US$ 2,17/bbl. "Mereka kan di gurun, sedangkan kita di hutan. Dan itu terpencar-pencar," kata Sumarlin. Bambang Aji dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini