Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, begitu Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Asia Pasifik, Hubert Neiss, mengirimkan surat protes, Habibie langsung berganti skenario. Kasbon yang dipinjam perbankan dari BI itu tak perlu lagi harus dibayar tunai dalam setahun, tapi bertahap empat tahun dengan tingkat suku bunga 30 persen. "Pemerintah Indonesia harus rasional," kata Neiss. Maksudnya, dalam situasi ekonomi terjepit seperti sekarang, sulit mengharapkan para bankir itu mendapat duit serba cepat.
Pada tahun pertama, para bankir penerima BLBI cuma membayar tunai cicilan pokok 27 persen dari total utang plus beban bunga 22 persen (73 persen sisa utang kali tingkat suku bunga 30 persen). Karena itu, dari bantuan likuiditas yang kini senilai Rp 111 triliun itu--berkurang dari jumlah sebelumnya, Rp 140 triliun--pada akhir tahun depan, pemerintah akan menerima sedikitnya Rp 54 triliun.
Cukup berat memang. Dengan beban sebesar itu, sejumlah analis meragukan kemampuan para bankir melunasi kewajibannya. "Saya kok skeptis," kata Tjandra Lienandjaja, analis dari GK Goh Ometraco. Bagi bankir yang banknya masih boleh terus beroperasi, mungkin persoalannya tak begitu parah. Salim, pemegang kendali BCA, misalnya, bisa saja membayar kasbon BI dari dana simpanan publik yang terus mengalir ke BCA. Tapi bagaimana dengan Sjamsul Nursalim (Bank BDNI) dan Bob Hasan (Bank Umum Nasional), yang banknya sudah ditutup?
Namun, kendati dirasa cukup berat, aturan baru pengembalian BLBI "versi" IMF tadi jelas amat melegakan para pengusaha pemilik bank. Yang paling nyata, kini para bankir penunggak kasbon BI itu tak lagi diancam hukuman penjara. Asalkan mereka menyusun proposal pelunasan dengan tepat waktu, cukuplah. Kalaupun sampai akhir tahun keempat kelak utang itu belum juga lunas, masih bisa dijadwal ulang. Jadi, "Cincai sajalah," kata seorang bankir.
Tentu saja kelonggaran IMF ini memicu pelbagai spekulasi. Mengapa IMF, dokter spesialis kanker ekonomi yang biasanya terkenal keras dan pelit itu, kini begitu longgar? Kalaupun ya, mengapa Habibie juga tak berdaya membendung desakan IMF? Apakah ada pembicaraan di bawah meja hasil lobi para bankir?
Keberatan Neiss kepada skenario pengembalian BLBI gaya Habibie bersumber dari tenggang waktu setahun, yang dinilainya kelewat singkat. Menjual ratusan aset perusahaan dalam tempo secepat itu pada situasi ekonomi sesulit ini bukan perkara sepele. Kalau mau nekat mengobral sekarang, IMF khawatir bakal terjadi oversold. Perekonomian malah terancam guncang. Menimbang hal tersebut, IMF menyarankan pengembalian BLBI diperpanjang sampai lima tahun. Belakangan, kata akhir yang dicapai adalah empat tahun.
Sepintas, keberatan Neiss masuk akal. Di tengah kondisi perekonomian yang loyo, nilai aset perusahaan tinggal 40 persen. Namun, bila dihitung dengan laju inflasi, menerima 40 persen tunai dalam setahun lebih menguntungkan ketimbang 100 persen tapi empat tahun lagi. La, apakah Neiss tak memahami perhitungan ini?
Tunggu dulu. Neiss agaknya punya perhitungan sendiri. Sumber TEMPO menyebut, sebenarnya IMF tak keberatan dengan pola pembayaran tunai dalam setahun. Skema semacam ini diterapkan di Thailand, pasien lain IMF. Tahun lalu, 59 lembaga keuangan, termasuk bank, di Negeri Gajah itu ditutup. Untuk melindungi kepentingan nasabah, Financial Institution Development Fund (FIDF) mengucurkan dana 830 miliar baht atau sekitar US$ 22,6 miliar. Sesuai dengan kesepakan dengan IMF, dana FIDF ini harus dikembalikan Juni 1998. Caranya? Aset lembaga keuangan itu dijual dengan diskon sampai 50 persen.
Lalu, mengapa IMF seperti tak rela skenario FIDF diberlakukan di sini? Sayang, sampai kini belum ada penjelasan yang gamblang dari pejabat terkait. Menteri Keuangan Bambang Subianto hanya menyatakan, pola baru ini adalah hasil negosiasi ketat antara IMF, pemerintah, dan bankir. "Istilahnya nyang-nyangan (tawar-menawar)," katanya. Tawar-menawar macam apa? Tak ada yang tahu pasti.
Tapi, menurut seorang analis perbankan regional untuk kawasan Asia Tenggara, desakan IMF sebenarnya lebih bernuansa politik ketimbang ekonomi. Menurut analis yang berpangkalan di Singapura ini, syarat utama agar skenario ala Thailand efektif adalah pemerintahan yang bersih dan dipercaya semua pihak. Dengan syarat ini, penjualan aset bisa terkendali dan tak "dijarah" kelompok tertentu. Dana yang terkumpul bisa sepenuhnya diarahkan untuk pemulihan ekonomi.
Nah, kondisi Indonesia berbeda. Sampai kini, kredibilitas Habibie masih belum kukuh. Rupanya, menurut analis tadi, "IMF takut obral aset hanya dimanfaatkan untuk dana politik." Indikasi ke arah ini bukannya tak ada. Sejak kasus BLBI bergulir, beberapa pengusaha nasional serentak mengajukan konsep redistribusi aset. Tujuannya apa lagi kalau bukan: agar bisa kecipratan aset gemuk tanpa keluar duit. Untuk mencegah hal yang tak sehat ini, IMF konon memilih skenario lain yang, konon, tak gampang diselewengkan--meskipun skema yang melegakan para bankir ini, ujung-ujungnya, merugikan rakyat.
Setidaknya ada tiga hal yang membuat rakyat akhirnya terpaksa menanggung dampak BLBI. Pertama, suku bunga yang diterapkan hanya 30 persen. Padahal, menurut ketentuan semula, BLBI merupakan pinjaman komersial, yang bunganya 200 persen dari suku bunga antarbank di Jakarta (JIBOR) berjangka seminggu. Bila bunga JIBOR 48 persen, bunga BLBI harusnya 96 persen. Jadi, dengan skema baru ini, pemerintah memberikan subsidi bunga sampai 66 persen.
Kedua, skema versi IMF ini semata bersandar pada niat baik para bankir pengutang. Pemerintah tak menyiapkan tindakan tegas bila bankir ternyata mengabaikan kesepakatan. Mengenai hal ini, dengan enteng Menteri Bambang berkomentar, "Itu bisa dipikir nanti." Padahal, seperti diketahui, yang jelas sudah ada ketentuannya saja masih banyak dilanggar, apalagi aturan yang tidak ketahuan pagar-pagarnya.
Celah ketiga adalah tiadanya sanksi hukum bagi pelanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Poin ini tak sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Perbankan, tentang prinsip kehati-hatian bank. Menurut UU ini, bank tak dibolehkan memberikan kredit lebih dari 20 persen modal untuk kelompok sendiri. Kalau itu dilanggar, sanksinya jelas: denda Rp 15 miliar dan penjara maksimal enam tahun.
Eh, ternyata skema baru IMF tadi agaknya menggugurkan ketentuan ini. Kalau BMPK yang dilanggar sudah terbayar lunas, perkara dianggap tamat. Bagi Pradjoto, pengamat hukum perbankan, soal ini bisa menjadi preseden buruk. Penyelewengan dana BLBI untuk menggemukkan grup sendiri seolah-olah dibenarkan. "Kok bisa pencoleng-pencoleng masih diberi kesempatan lolos dari hukum," katanya dengan nada tinggi.
Tiga poin di atas memang mengusik rasa keadilan. Untuk itu, Lin Che Wei, analis perbankan dari SocGen Global Equities, menyarankan agar penyelesaian BLBI tak disamaratakan. Harus ada pendekatan kasus per kasus. Bank yang masih bisa menghimpun dana publik, misalnya BCA, harus dipaksa mengembalikan BLBI secara tunai. Sementara itu, untuk bank yang sudah dibekukan, yang asetnya kurang dari beban BLBI, harus dicarikan alternatif lain.
Bagiamana kalau misalnya bank-bank ini ternyata terbukti menyelewengkan dana BLBI? Kalau ini yang terjadi, kata Lin Che Wei, tak ada pilihan lain kecuali pidana. Sebab hanya dengan sikap tegaslah kredibilitas pemerintah akan terbangun. Tanpa kredibilitas, kita harus bertekuk lutut kepada IMF.
Mardiyah Chamim, Agus Hidayat, Dewi Rina Cahyani
Plintat-Plintut BLBI |
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo