ZAMAN terang Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini "ditengok" kembali, ketika lembaga ulama itu lama terbawa arus zaman gelap Orde Baru. Dalam Kongres Umat Islam (KUI) yang berlangsung di Jakarta, 3-7 November lalu, betapa organisasi yang dianggap meluntur kredibilitasnya sebagai wadah "para ahli waris nabi" itu menjadi sasaran kritik banyak orang.
Tgk. H. Soufyan Hamzah misalnya. Ketua MUI Aceh itu memprihatinkan kedekatan MUI selama ini dengan kekuasaan. Ia secara bersoloroh menyebut, "MUI telah berubah menjadi Majelis Ulama Istana." K.H. Sahal Mahfudz, Ketua MUI Jawa Tengah, menganjurkan agar mekanisme pengambilan fatwa hukum diluruskan. "Agar fatwa yang dihasilkan lebih memperhatikan kemaslahatan umat," kata Kiai Sahal.
Suara miring terhadap MUI sebetulnya sudah lama terdengar. Itu bisa dilihat sejak Profesor Hamka meninggalkan kursi ketua umumnya pada 1981. Saat itu MUI didesak pemerintah agar mengeluarkan fatwa Natal. Tapi Hamka menolak. "Karena Hamka tak ingin MUI dikooptasi pemerintah," ujar Azyumardi, Rektor IAIN Jakarta. Belum lagi disetujui oleh semua ulama, fatwa itu "bocor" ke pers.
Pada dua periode Hamka (1975-1981), MUI bisa diibaratkan "macan" yang berani "mengaum" di depan kekuasaan. Contohnya, ya, ketika Hamka memilih mengundurkan diri itu. Fatwa lain yang cukup penting misalnya yang menyangkut aliran kepercayaan, rekomendasi penyebarluasan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dengan tekanan pada pengamalan dan partisipasi yang nyata.
Juga ada fatwa menyangkut politik, misalnya mempercayai mandataris MPR untuk melanjutkan kepresidenannya, sekaligus meminta perhatian pada berbagai akibat sampingan pembangunan. Pendek kata, pada "zaman terang" itu, fungsi MUI sebagai "jembatan" tampak bisa tegak di tengah. Namun, pada masa-masa awal pascakepemimpinan Hamka, yang menurut Azyumardi adalah "zaman gelap", MUI beberapa kali menelurkan fatwa yang berkesan untuk memenuhi pesanan pemerintah. Fatwa itu misalnya penghalalan budi daya kodok dan keluarga berencana.
Bergesernya citra MUI dari waktu ke waktu itu karena posisinya yang unik. Diprakarsai pembentukannya oleh Presiden Soeharto pada 26 Juli 1975, fungsi MUI--sesuai dengan bunyi pedoman dasarnya--adalah "penghubung antara ulama dan pemerintah serta penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat". Artinya, gerombolan ulama di sini diangkat oleh pemerintah. Menteri Agama sebagai ketua dewan pertimbangan. Karena itu, lembaga ini sejak awal dikhawatirkan tak bisa independen.
Sejarah membuktikan, ketika kekuasaan rezim Soeharto begitu kuat, "jembatan" antara umat dan pemerintah itu dirasakan lebih "doyong" ke pemerintah. Menjelang Sidang Umum MPR 1997, MUI mendukung pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Bahkan, ironisnya, Ketua Umum MUI ikut-ikutan berpolitik praktis. Ia harus bersedia menjadi juru kampanye Golongan Karya pada Pemilu 1997. Lalu, ketika gerakan reformasi bergema melawan rezim Orde Baru pada Mei 1998, fatwa MUI tak terdengar.
Maka wajar bila di dalam Kongres, angin aspirasi untuk memperbaiki citra MUI begitu kencang. Ada yang mengusulkan agar MUI diubah menjadi Lembaga Fatwa Negara. Tokoh lain menawarkan gagasan pembentukan Majelis Umat Islam Indonesia, pengganti MUI. Namun, ada juga yang realistis dan rasional dengan keinginan tetap mempertahankan lembaga MUI. Hanya, independensinya tetap terjaga.
K.H. Ma’ruf Amin, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, secara umum sepakat dengan pendapat-pendapat yang bernapaskan pembaruan itu. Menurut Rais Syuriah PB NU ini, MUI memang seharusnya menjadi lembaga yang independen. Sayangnya, usulan itu tidak dimasukkan dalam salah satu butir deklarasi KUI. "Itu menjadi semacam aspirasi yang nanti akan dibawa ke muktamar MUI tahun 2000," kata Amidhan, ketua panitia KUI, kepada TEMPO.
Azyumardi urun rembuk untuk memperbaiki citra "jembatan" itu. Caranya, struktur MUI mesti dibersihkan dari unsur birokrasi dan pendanaannya dicarikan dari umat. Lalu, untuk membentuk independensi, ulama yang dipilih mestilah mereka yang kredibel dan memiliki integritas tinggi. Azyumardi memberikan contoh Prof. Hamka yang "mau menjadi ketua MUI asalkan tidak digaji dan diberi mobil." Zaman terang MUI itu relevan untuk ditengok kembali, agar "jembatan" yang doyong itu bisa ditegakkan.
Kelik M. Nugroho, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini