Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam adegan awal film Inherit the Wind itu, kita tercekam sejak adegan awal: dengan langkah yang pelan tapi angker, tiga orang petugas dan seorang pendeta Kristen mendatangi sebuah ruang kelas di sebuah sekolah menengah di kota kecil itu. Mereka hendak menangkap seorang guru.
Di kelas biologi itu mengajar John Scopes. Kepada para muridnya sang guru memperkenalkan teori evolusi Charles Darwin. Itulah sebabnya ia harus dicegah. Pendeta Bryan--diperankan oleh aktor terkenal Fredric March--telah memutuskan untuk memenjarakan seseorang yang dianggapnya meracuni iman anak-anak dengan ajaran yang bertentangan dengan Kitab Injil yang suci.
Dalam film itu, Bryan terjungkal mati di tengah pidatonya menjelang pengadilan berakhir. Serangan jantung mungkin memotong nyawanya. Guru Scopes dinyatakan salah oleh hakim, tapi perdebatan dalam sidang itu menunjukkan bagaimana keyakinan agama Bryan terpojok. Clarence Darrow (dimainkan oleh Spencer Tracy), sang pembela si terdakwa, dengan tanya jawab yang gigih dan menukik, dengan kefasihan yang tajam, berhasil menunjukkan betapa piciknya pandangan Bryan--contoh pandangan kaum Kristen Fundamentalis yang menafsirkan Injil secara keras dan harfiah. Juga tanpa toleransi.
Tapi yang picik tak dengan sendirinya akan kian terbuka oleh progresi waktu. Apa pun tendensi film Kramer, dalam hidup yang nyata, kaum Fundamentalis tak mati-mati. Pendeta Bryan yang sebenarnya meninggal lima hari setelah pengadilan Scopes yang termashur itu berakhir. Ia bukan saja menjadi syuhada bagi jemaatnya; keyakinan yang dianutnya bahkan makin berkibar. Tak lama setelah Bryan meninggal dunia, di bagian selatan Amerika, pengajaran teori evolusi Darwin dilarang oleh undang-undang. Di Mississippi para wakil rakyat mengharamkannya, di Arkansas referendum rakyat melarangnya, dan di Texas pada musim gugur 1925 seorang gubernur menginstruksikan agar teori ilmiah itu dicoret dari buku pelajaran sekolah menengah. Pelarangan itu berlangsung terus hingga tahun 1950-an--satu hal yang mengherankan mengingat bahwa sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, teori evolusi diajarkan tanpa hambatan di sekolah-sekolah di Amerika.
Dalam Inherit the Wind yang tampak berhadapan adalah ajaran modernis dengan para penafsir Fundamentalis. Dalam Summer of the Gods, sebuah buku yang baru saja dibahas dalam majalah The New York Review of Books, ditunjukkan bahwa ada hal lain yang juga menjadi masalah: siapa yang sebenarnya berhak menentukan apa yang boleh dan tak boleh diajarkan di sekolah.
Itulah memang yang dikemukakan dengan meyakinkan oleh Pendeta Bryan. "Persoalan sebenarnya bukanlah ‘apa’ yang dapat diajarkan di sekolah, melainkan ‘siapa’ yang seharusnya mengontrol sistem pendidikan". Para guru di sekolah negeri, bagi Bryan, harus mengajarkan apa yang dikehendaki oleh para pembayar pajak. Tangan yang menandatangani cek harus tangan yang mengatur sekolah.
Tangan itu akhirnya tentu saja tangan rakyat banyak. Dan ketika rakyat disebut dengan "R" besar, orang memang bisa gemetar. Orang bisa terharu atau takut. Pengertian itu menjadi sesuatu yang agung dan kuat, dan banyak hal pun menjadi sangat sederhana. Tetapi pada saat yang sama, huruf besar itu bisa menyilaukan sebagaimana ia juga menyesatkan--terutama ketika orang ramai, suara terbanyak, sekaligus dianggap menjadi penjamin apa yang terbaik dan yang benar dalam sebuah sejarah.
Tetapi benarkah demikian--agaknya itulah pertanyaan yang tak selamanya dikemukakan oleh sebuah demokrasi kepada dirinya sendiri. Memang sebuah pertanyaan yang merisaukan. Seperti telah kita lihat, di Amerika Serikat, negeri tempat demokrasi berumur lebih dari 200 tahun--dan itu berarti demokrasi paling lama bertahan dalam sejarah manusia--pertanyaan itu juga baru menyergap pada sebuah Juni yang amat panas di tahun 1925.
Rakyat dengan "R" besar, rakyat sebagai suara mayoritas, ternyata bisa membungkam sebuah hasil dari proses pencarian ilmu pengetahuan: dapatkah hal ini dibiarkan tanpa merugikan peradaban manusia? Namun sejauh mana apa yang diajarkan kepada anak-anak bisa ditentukan begitu saja oleh apa yang disebut oleh Bryan sebagai sebuah "soviet keilmuan"? Apa yang menjamin bahwa sang mayoritas benar, dengan kepicikan dan ketakutannya, dan apa yang mengukuhkan bahwa sebuah teori benar tanpa cacat, dengan segala penjelajahannya?
Di sini tiba-tiba kita bertemu dengan dilema demokrasi yang telah dicemaskan orang sejak zaman Yunani Kuno, terutama yang dikhawatirkan oleh Socrates, seorang antidemokrat. Bagi Socrates, sang pemikir, sebuah negeri akan celaka bila si bodoh sama haknya untuk bicara dengan si piawai. Tetapi tanpa persamaan hak, tanpa persamaan kesempatan, kita tahu bahwa kehidupan bersama bisa terancam sewenang-wenang. Lalu? Di abad ini dilema ini dicoba dipecahkan dengan asumsi lain tentang "demokrasi". Demokrasi adalah sebuah sistem di mana siapa saja bisa khilaf. Bahkan bisa keji. Sebab itu pemecahannya juga harus menggunakan jawaban yang sementara, dan setiap kali harus dilakukan kembali--tanpa resep yang mutlak.
Di Amerika Serikat, sejak Perang Dunia I, sejumlah orang mendirikan sebuah organisasi yang disebut American Civil Liberty Union (ACLU). Dengan itu mereka membela siapa saja, satu atau segelintir orang, untuk bicara, dengan sebuah keyakinan: demokrasi mayoritas bisa berbahaya bagi kemerdekaan orang-seorang. Kemerdekaan di sini bukan saja hak, tetapi juga sebuah "suasana" yang harus ada agar kita tak terlampau panjang dalam kesalahan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo