PT Tambang Batubara Bukit Asam akan masuk bursa lebih dulu, meloncati beberapa perusahaan negara yang sebenarnya sudah diprioritaskan untuk go public. Tampaknya, kebijakan ini agak berbau spekulasi. Pasar tentu tahu bahwa Bukit Asam adalah barang bagus, tapi pasar itu sendiri sedang tak bergairah. Wajar bila ada kekhawatiran, jangan-jangan sahamnya tak habis terjual.
Tapi pasar memang perlu digugah. Di pihak lain, pemerintah sendiri terdesak untuk memenuhi target privatisasi tahun ini senilai Rp 6,5 triliun. Soalnya, pemerintah baru mengantongi Rp 3,5 triliun, di antaranya Rp 1 triliun dari divestasi 8 persen saham Indosat. Di bawah dampak tragedi Bali, kekurangan itu harus segera ditutupi.
Sesuai dengan rencana, perusahaan pertambangan batu bara ini akan menjual 16 persen saham (346,5 juta lembar) pada awal Desember depan. Saham Bukit Asam dijual dengan nilai nominal Rp 500 per lembar. Sebagai pemanis, Bukit Asam juga menawarkan waran sebanyak 173,25 juta lembar—kelak, pemegang waran bisa menukar setiap lembar waran dengan satu lembar saham Bukit Asam. Menurut prospektus ringkas yang diterbitkan Senin pekan lalu, diketahui bahwa dari 346,5 juta lembar saham yang dilepas, 315 juta lembar adalah saham pemerintah, sehingga hasilnya akan masuk APBN. Adapun sisanya masuk ke kas Bukit Asam dan digunakan untuk menambah modal kerja, yang antara lain akan dipakai untuk menambah sarana perkeretapian. Seperti diketahui, salah satu kendala peningkatan penjualan Bukit Asam adalah keterbatasan PT Kereta Api Indonesia dalam menyediakan angkutan.
Masalahnya, apakah saat ini tepat untuk menjual saham Bukit Asam? Menurut analis pertambangan Erwan Teguh, dilihat dari bisnis batu bara, posisi Bukit Asam cukup bagus. Perusahaan ini punya pasar tetap (captive) di PLTU Suralaya. Dengan produksi 10,2 juta ton, 60 persennya dijual kepada pembangkit listrik di Jawa Barat itu. Sisanya dijual ke sejumlah pabrik semen. Selain itu, pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 8-12 persen per tahun membuat prospek usaha batu bara sangat bagus. "Pertumbuhan permintaan batu bara di Indonesia rata-rata 15-20 persen," kata Erwan. Lebih dari itu, cadangan yang 5,7 miliar ton masih bisa beroperasi ratusan tahun," kata Munandar, juru bicara Bukit Asam.
Langkah pemerintah yang memberikan hak pembelian 20 persen saham Kaltim Prima Coal (KPC) kepada Bukit Asam juga membuat perusahaan yang bermarkas di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, ini makin berkilau. Bayangkan, sebagian besar (90 persen) produksi KPC saat ini dijual di pasar ekspor. Dengan kalori yang paling tinggi, batu bara produksi KPC memang laku dijual di pasar ekspor dengan harga bagus. Sementara itu, produksi Bukit Asam memiliki kalori yang lebih rendah tapi sudah cukup untuk pembangkit listrik. "Akan ada sinergi antara Bukit Asam dan Kaltim," kata Erwan. Masuknya 20 persen saham KPC ke dalam portofolio Bukit Asam tentu akan membuat skala usaha BUMN ini membesar. Saat ini produksi KPC rata-rata mencapai 15 juta ton per tahun.
Di sisi lain, kinerja Bukit Asam juga cukup meyakinkan. Per Juni 2002, Bukit Asam membukukan laba Rp 112 miliar, naik hampir dua kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Utangnya juga relatif kecil. Rasio utang terhadap modalnya hanya 56 persen. Dengan kondisi seperti itu, mestinya saham Bukit Asam menarik. Cuma, kata Erwan, momentum go public yang dipilih BUMN ini tidak terlalu mendukung. Soalnya, bursa Jakarta tengah gonjang-ganjing akibat bursa dunia yang juga naik-turun. Sementara itu, kondisi dalam negeri kian payah, terutama gara-gara tragedi Bali. Padahal penjualan saham Indosat dan Indofarma juga sedang menunggu giliran.
Kini, selain penerimaan pajak turun, defisit anggaran meningkat. Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo memperkirakan pemerintah akan kehilangan potensi pendapatan pajak sekitar Rp 10,8 triliun. Kehilangan inilah yang harus ditutup oleh sektor lain. Salah satu di antaranya dari privatisasi.
Tapi, karena pasar lesu, pemerintah tak berani menggenjot penjualan saham Bukit Asam. Sedianya, pemerintah akan melepas 35 persen saham BUMN ini, tapi kemudian dikoreksi menjadi hanya separuhnya. Ini berarti hasilnya separuh lebih kecil dari rencana semula. Erwan memperkirakan Bukit Asam akan dijual pada kisaran Rp 550-600 per saham, sementara nilai wajarnya sekitar Rp 670 per lembar. Dari situ, pemerintah akan memperoleh dana Rp 173 miliar-189 miliar, sementara Bukit Asam akan mendapatkan 10 persennya. Menurut Erwan, dilihat dari price earning ratio-nya dan dibandingkan dengan perusahaan batu bara di Thailand dan Cina, harga Bukit Asam cukup murah. Jadi, masih ada peluang.
M. Taufiqurohman, Arif Ardiansyah (Tanjung Enim)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini