Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saling Menyalip Sesama Pelat Merah

Hutama Karya dan Jasa Marga berebut ruas tol Taman Mini Indonesia Indah-Pondok Pinang, yang merupakan bagian dari Jakarta Outer Ring Road alias JORR. Bagaimana penyelesaiannya?

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UTANG-piutang ternyata bisa membuat dua perusahaan negara (BUMN) saling sikut. Itulah yang terjadi pada Hutama Karya dan Jasa Marga. Kedua perusahaan pelat merah ini sekarang berebut jalan tol yang menghubungkan Taman Mini Indonesia Indah-Pondok Pinang (ruas S) dan menjadi bagian dari jalan tol lingkar luar Jakarta (JORR). Ruas sepanjang 14,3 kilometer inilah satu-satunya bagian JORR (69,3 kilometer) yang sudah selesai dan menghasilkan uang. Sedangkan yang lain masih terkatung-katung dan baru sebagian kecil yang tengah diselesaikan Jasa Marga. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno, sudah membantu membereskan masalah itu, tapi belum juga berhasil. Mahkamah Agunglah yang mula-mula membuat kedua BUMN tersebut berebut aset yang menghasilkan Rp 300 juta per hari itu. Mahkamah Agung, melalui keputusannya pada 11 Oktober 2001, memberikan hak pengelolaan ruas S kepada Hutama. Semua ini bermula pada 1996, ketika Hutama berpatungan dengan Yala Perkasa Internasional (Siti Hardijanti Rukmana) untuk menerbitkan surat utang senilai Rp 209,35 miliar dan US$ 105 juta. Dana itu akan dipakai untuk membiayai pembangunan ruas S yang dikelola Marga Nurindo Bhakti (Siti Hardijanti-Djoko Ramiadji). Perusahaan patungan ini bertindak sebagai kontraktor ruas S. Ternyata surat utang yang dirancang Tjokorda Raka Sukawati—ketika itu Direktur Utama Hutama Karya—dan anak buahnya, Thamrin Tanjung, tak diketahui komisaris Hutama. "Itu akal-akalannya Marga Nurindo yang tak punya modal dan namanya tak bisa dijual untuk pinjam duit. Karena itu, nama Hutama yang dijual," kata sumber TEMPO yang dekat dengan masalah itu. Utang itu kemudian macet. Hutama tak mau membayar karena merasa itu bukan utangnya, meskipun sempat mencicilnya Rp 28 miliar semasa Thamrin masih di sana. Celakanya, para pemegang surat utang tetap menuntut Hutama agar membayarnya. Kini kewajiban yang mesti dibayar masih US$ 105 juta plus Rp 180 miliar. Tak cuma itu. Duit hasil penerbitan surat utang itu ternyata tak semuanya dipakai untuk membangun ruas S. Kasus ini lalu disidik Kejaksaan Agung dan diajukan ke pengadilan. Thamrin dihukum dua tahun dan Tjokorda setahun. Selain itu, ruas S disita oleh negara dan oleh Mahkamah Agung diserahkan kepada Hutama. Tapi keputusan Mahkamah Agung ini bertentangan dengan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Juli lalu, KKSK memberikan hak pengelolaan seluruh jalan tol lingkar luar kepada Jasa Marga. Penyerahan ini bermula dari macetnya utang pengelola JORR, salah satunya Marga Nurindo Bhakti, kepada bank-bank yang diambil alih dan dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Nilainya Rp 2,6 triliun. BPPN kemudian mengambil alih utang tersebut. Setelah gagal menjual aset itu melalui tender, BPPN akhirnya setuju aset kredit tersebut dijual kepada Jasa Marga senilai Rp 1,07 triliun. Ini adalah nilai aset JORR yang sudah terbangun. Tiba-tiba Mahkamah Agung memutuskan lain. Menurut Direktur Utama Jasa Marga, Syarifuddin Alambai, pihaknya sudah beberapa kali bertemu dengan Hutama Karya untuk mencari penyelesaian damai. Terakhir, Syarifuddin bertemu dengan Direktur Utama Hutama Karya, Sudarsono Hardjosoeratno, Jumat pekan lalu. "Wong, kita ini kan sama-sama punya negara, masa harus bertengkar," kata Syarifuddin. Namun kedua belah pihak sulit mencari titik temu. "Hutama Karya tetap berpegang teguh pada keputusan Mahkamah Agung. Semua orang harus taat hukum, tidak ada perkecualian," kata Nur Wahyudi, Manajer Hukum Hutama Karya. Sementara itu, Jasa Marga berkukuh pada beberapa peraturan pemerintah yang menetapkannya sebagai satu-satunya perusahaan negara pengelola jalan tol. "Aturannya jelas. Jasa Margalah yang berhak mengelola jalan tol itu," kata Syarifuddin. Menteri Soenarno juga bingung menyelesaikan sengketa ini. Dia mengusulkan agar ruas S dikeluarkan dari jalan lingkar luar Jakarta dan diserahkan kepada Hutama Karya sebagaimana diputuskan Mahkamah Agung. "Jika usulan ini disetujui, Jasa Marga tak perlu membayar Rp 1,07 triliun," kata Soenarno. Tapi usul itu bakal ditolak Jasa Marga karena BUMN ini akan kehilangan pendapatan Rp 110 miliar per tahun. Karena itu, tak ada pilihan bagi Jasa Marga kecuali mengajukan peninjauan hukum ke Mahkamah Agung. "Pekan-pekan ini akan kita ajukan ke MA," kata Syarifuddin. Dan lagi, katanya, mengapa Jasa Marga yang tidak tersangkut-paut dengan urusan korupsi di Hutama Karya harus menanggung akibatnya. Agaknya memang tak mudah menyelesakan sisa-sisa kasus yang ditinggalkan Keluarga Cendana. M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Levi Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus