Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kisruh Lagi di KPC

Sejumlah 31 persen saham Kaltim Prima Coal jatuh ke tangan PT Melati Intan Bhakti Setya. Prosedur transaksi ini dianggap janggal dan mencurigakan.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH petinggi Kaltim Prima Coal (KPC) terperanjat bukan kepalang membaca berita ini: 31 persen saham KPC dijual ke PT Melati Intan Bhakti Setya. Berita yang dilansir sejumlah koran Selasa pekan lalu itu sungguh mengejutkan. Sebab, "Kami baru tahu keputusan itu setelah membaca media massa," kata Anang Riskani Noor, deputi direktur perusahaan itu. Merasa disepelekan, KPC mendesak pemerintah pusat agar memberikan klarifikasi. Surat dikirim Kamis pekan lalu, dan kini mereka tinggal menunggu balasan. Sementara petinggi KPC dirundung gundah-gulana, para pejabat Kalimantan Timur justru bersukacita. "Ini adalah hasil maksimal yang kami dapat," kata Syaiful Tetang, sekretaris pemerintah Kalimantan Timur. PT Melati Intan Bhakti Setya adalah perusahaan yang dibentuk pemerintah Kal-Tim bersama PT Intan Bumi Inti Pradana, perusahaan swasta yang bergerak dalam bisnis batu bara. Penjualan 31 persen saham itu disepakati akhir Oktober lalu antara pemerintah pusat dan pemerintah Kal-Tim. Sekretaris Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral, Djoko Darmono, lalu meminta para pembeli itu berunding langsung dengan KPC. "Jadi, sekarang bukan urusan pemerintah lagi," kata Djoko, Senin pekan lalu Penjualan saham itu merupakan bagian dari perjanjian kontrak antara pemerintah pusat dan KPC sejak 1982. Perusahan patungan Beyond Petroleum (Inggris) dan Rio Tinto (Australia) ini berjanji membagi kepemilikan dengan pemerintah Indonesia, yang dilakukan bertahap sejak 1996 sampai 2002, hingga pemerintah memiliki 51 persen. Kontrak itu sendiri baru berakhir 2022 nanti. Malangnya, pada saat jatuh tempo tahun 1996, kantong pemerintah sedang cekak, padahal untuk memborong 51 persen saham diperlukan US$ 400 juta atau sekitar Rp 10 triliun menurut kurs saat itu (Rp 2.500 per dolar AS). Peluang untuk memperoleh saham KPC pun lenyap dan pemerintah harus puas menerima laba Rp 340 miliar dari total keuntungan KPC yang mencapai Rp 2,5 triliun per tahun. Setelah krisis moneter pada 1997, kian reduplah harapan pemerintah untuk membeli saham KPC. Kuntoro Mangkusubroto—Menteri Pertambangan dan Energi era Presiden B.J. Habibie—angkat tangan dan mempersilakan pemerintah Kal-Tim membeli saham KPC. Isyarat itu bak kartu truf. Pemerintah Kal-Tim dengan getol mendesak KPC agar menjual saham ke pihaknya. Tapi uangnya dari mana? Beredarlah kabar bahwa di belakang pemerintah Kal-Tim ada penyandang dana yang bernama David Salim. Dia adalah keponakan Sudono Salim alias Liem Sioe Liong, yang kini menetap di Singapura tapi sejumlah usahanya tersangkut utang dengan pemerintah Indonesia. Dalam investigasi TEMPO Juni lalu, salah seorang komisaris PT Intan Bumi Inti Pradana, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Moetojib, membantah bahwa David Salim berada di belakang perusahaan itu. "Kalaupun ada dan walaupun dia keponakan Sudono Salim, apa dosanya?" tanya Moetojib. "David tidak sepeser pun memakai uang pamannya itu," kata Moetojib lagi. Benarkah? Masih gelap memang. Dan di kegelapan itulah pemerintah pusat merestui penjualan saham tersebut. Komposisi saham berubah menjadi 49 persen milik Beyond Petroleum dan Rio Tinto, 20 persen milik PT Batubara Bukit Asam (BUMN), dan 31 persen milik PT Melati Intan Bhakti Setya. Namun KPC memprotes. Penjualan itu dituding tidak transparan, berbeda dengan penjualan 20 persen kepada PT Batubara Bukit Asam, yang melewati due diligence cukup panjang. "La, kok, penjualan 31 persen itu main tunjuk saja?" tanya Anang. Langkah itu, ujarnya, menyalahi prosedur penjualan saham antara KPC dan pemerintah Indonesia. Tapi pemerintah Kal-Tim tenang saja, bahkan kabarnya kini mengincar 20 persen saham jatah PT Batubara Bukit Asam. Kompensasinya, pemerintah pusat diberi jatah saham kosong 5 persen. Tapi, lagi-lagi, duitnya dari mana? Yang diandalkan tetap saja PT Intan Bumi Inti Pradana. Menurut Syaiful, perusahaan itu memberikan kompensasi yang lebih baik. Dari 31 persen saham, pemerintah Kal-Tim mendapat 6 persen saham kosong, ditambah dana pengembangan masyarakat sebesar US$ 7 juta setiap tahun dan beberapa fasilitas pendidikan. Jumlah itu memang jauh lebih besar dari pemberian KPC, yang cuma US$ 4 juta per tahun. Tapi perlawanan lebih sengit justru datang dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur—tempat KPC beroperasi. Mereka menolak menjual sahamnya kepada PT Intan Bumi Inti Pradana. Kutai Timur memang menguasai 60 persen dari 31 persen saham, sementara 40 persen sisanya jatah pemerintah Kal-Tim. "PT Intan itu urusan pemerintah Kalimantan Timur, bukan kami," kata Awang Farouk, Bupati Kutai Timur. Naga-naganya, urusan saham KPC ini kelak bisa lebih seru. Wenseslaus Manggut, Redy M.Z. (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus