Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dampak Sinyal Penurunan Bunga The Fed pada Indonesia

The Fed mengeluarkan sinyal penurunan bunga. Indonesia tak bisa menikmati karena terjegal defisit neraca transaksi berjalan.

 

17 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • The Fed memberi sinyal penurunan bunga pada 2024.

  • Mata uang negara berkembang menguat.

  • Indonesia terjegal defisit neraca transaksi berjalan.

PESTA di pasar finansial global datang lebih cepat. Tahun baru masih dua pekan lagi, tapi pasar sudah ingar-bingar. Investor girang karena harga-harga aset finansial naik. Semua menikmati sentimen positif lantaran The Federal Reserve atau The Fed akhirnya mengeluarkan juga sinyal penurunan suku bunga yang sudah berbulan-bulan ditunggu investor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pertemuan terakhir tahun ini, yang berlangsung pada 13 Desember 2023, The Fed memang masih menahan suku bunga rujukannya. Namun bukan itu yang membuat harga aset di pasar finansial tersengat. Dalam pertemuan itu, The Fed membuka dot plot yang menunjukkan estimasi pergerakan suku bunga para anggota The Federal Open Market Committee, badan penentu naik-turunnya bunga dalam sidang-sidang bulanannya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari dot plot itulah terbaca sinyal kemungkinan bunga The Fed akan turun hingga tiga kali sepanjang 2024. Jika bunga turun, ekonomi akan bergerak lebih cepat. Pasar makin yakin bahwa resesi global yang selama ini menimbulkan kecemasan tidak jadi datang. Optimisme yang merebak dalam beberapa pekan terakhir langsung meledak. 

Di New York, Amerika Serikat, indeks S&P 500 pada 14 Desember 2023 langsung melambung tinggi ke level 4.719,55, mencapai rekor dalam setahun terakhir. Bukan tak mungkin reli kenaikan S&P 500 akan berlanjut hingga melampaui rekor tertingginya sepanjang sejarah, yaitu 4.796,56 pada Januari 2022.

Kemungkinan turunnya bunga The Fed juga membuat mata uang banyak negara menguat terhadap dolar Amerika Serikat. Indeks Dolar, yang mencerminkan efek pergerakan dolar Amerika terhadap enam mata uang utama dunia, turun 2 persen sepanjang pekan lalu. 

Mata uang negara-negara berkembang juga menguat. Baht Thailand, misalnya, melesat 2,27 persen dalam tiga bulan terakhir. Renminbi Cina pun menguat 2,21 persen.

Sayangnya, pasar keuangan Indonesia seperti tertinggal, tak ikut berpesta-pora. Sentimen positif hanya singgah di bursa saham. Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia memang menyentuh rekor tertinggi tahun ini, yaitu 7.190,988 pada penutupan perdagangan 15 Desember 2023.

Sedangkan kurs rupiah tak banyak beranjak dari level 15.500 per dolar Amerika Serikat. Dalam periode tiga bulan terakhir, alih-alih menguat, nilai rupiah malah turun 0,91 persen terhadap dolar Amerika. 

Investor rupanya menilai ekonomi Indonesia masih akan menghadapi tantangan berat pada 2024, meski bunga The Fed kemungkinan besar bakal turun. Salah satu masalahnya adalah makin lemahnya permintaan berbagai komoditas sehingga harganya tak akan beranjak naik. Pelaku pasar pun memperkirakan surplus perdagangan Indonesia terus menurun dan bukan tak mungkin kembali terjadi defisit. 

Padahal aliran masuk devisa yang amat besar dari surplus neraca perdagangan tiga tahun terakhir menjadi bantalan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi global. Jika bantalan ini menipis, pukulan sekecil apa pun tentu akan lebih terasa dampaknya pada ekonomi Indonesia. 

Memang, data terakhir yang terbit pada 15 Desember 2023 menunjukkan neraca perdagangan Indonesia per November 2023 masih berada di posisi surplus US$ 2,41 miliar. Namun angka itu tak sampai separuh dari surplus pada November 2022 yang mencapai US$ 5,1 miliar. Pelaku pasar membaca kecenderungan bahwa surplus akan terus menurun. Pada kenyataannya, angka yang terbaru memang surplus terkecil sejak Juli 2023.

Yang juga menjadi perhatian investor adalah posisi neraca transaksi berjalan Indonesia. Jika dihitung sejak Januari hingga September 2023, neraca itu sudah mengalami defisit sebesar US$ 106 juta. Angka ini sungguh bertolak belakang dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu, ketika terjadi surplus US$ 9,13 miliar. 

Neraca transaksi berjalan menggambarkan aliran valuta asing yang keluar-masuk negeri ini lewat transaksi perdagangan barang dan jasa. Jika neraca ini minus, artinya devisa yang mengalir keluar lebih banyak ketimbang yang masuk. Konsekuensi defisit transaksi berjalan adalah kurs rupiah akan cenderung melemah. Pasar melihat tren ini bakal terus berlanjut, bahkan mungkin memburuk pada 2024. Pasar pun belum melihat obatnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tertinggal Pesta Sinyal Penurunan Bunga".

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus