Semen Gresik tidak mulus dalam penawaran perdana sahamnya. Petani memprotes ekspansi pabriknya. SUKSES Semen Gresik, yang masuk bursa saham pekan ini, sudah bisa dilihat dari sekarang. Sejak 23 Mei sampai 7 Juni 1991, BUMN pertama yang go public itu melaksanakan penawaran perdana 40 juta lembar sahamnya. Ini merupakan 26,9% dari modal disetor. Jika terbukti bahwa harga perdana sahamnya Rp 7.000 per lembar, Semen Gresik mestinya akan memperoleh dana masyarakat Rp 280 milyar. Dana sebesar itu jelas akan memperkuat modal Semen Gresik, mengingat penghasil 1,5 juta ton semen per tahun ini telah memperoleh laba bersih Rp 135,6 milyar tahun lalu. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin pernah mengatakan bahwa Pemerintah, sebagai pemilik BUMN, tidak akan mengambil dana go public. Alasannya: uang masyarakat tersebut diutamakan untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan, baik berupa pengembangan usaha (ekspansi) maupun rehabilitasi. Pilihan direksi Semen Gresik jatuh pada alternatif pertama, yakni pengembangan usaha. Kongkretnya, mereka akan membangun pabrik semen baru di Tuban, Jawa Timur, dengan kapasitas 2,3 juta ton per tahun. Apakah ekspansi itu perlu? Jawabnya, ya. Selama ini Semen Gresik belum mampu memenuhi permintaan pasar di Jawa Timur, yang setiap tahunnya menyedot 1,7 juta ton. Tiap tahun, permintaan naik rata-rata 15%. Dengan pabrik baru, Semen Gresik, selain akan mengisi permintaan pasar Jawa Timur, juga akan melempar produksinya ke Jawa Tengah, Bali, Kalimantan, dan ke luar negeri. Namun, pembuatan pabrik di Tuban terhalang sandungan lokal. Sebagian anggota masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pembebasan Tanah Rakyat Tuban (FKPTRT) pekan lalu datang ke Departemen Dalam Negeri, hendak mengadukan rencana pembuatan pabrik yang dinilai akan merugikan mereka. Di Jakarta, delegasi yang terdiri dari 60-an warga Tuban itu sempat pula menyampaikan petisi ke DPR. Mereka mengatasnamakan 2.064 keluarga pemilik tanah di Kecamatan Jenu, Merakurak, dan Kerek. Berdasarkan data yang mereka peroleh, pembangunan pabrik semen di Tuban akan melenyapkan 330 hektare sawah karena lahannya diperlukan untuk penambangan lempung. Lebih dari itu, 1.160 hektare tegalan juga akan habis, untuk keperluan penggalian batu gamping, tapak industri, dan perumahan karyawan. Plus 10 hektare sawah lagi untuk pembuatan jalan dan 15 hektare sawah berikut 5 hektare hutan pantai untuk dermaga laut. Akibatnya, akan lenyap pula kemampuan produksi pangan di wilayah itu. Yang akan hilang sekitar 2.200 ton padi, 562 ton kacang tanah, 2.682 ton jagung, 284 ton kacang hijau, 2.100 ton ubi kayu, 128 ton kedelai, 284 ton lombok, 6 ton kapas, dan 50 ton tembakau. Delegasi tersebut, Sabtu pagi lalu, tiba di Tuban dengan dua bis DAMRI. Setelah gagal menemui Mendagri Rudini, mereka, bersama sekitar 50 mahasiswa yang tergabung dalam Komite Pembebasan Tanah Rakyat Tuban, pagi itu bertemu dengan Muspida di Pendopo Kabupaten Tuban. Ketua LKMD Sukorejo, Muhammad Sahid, mengatakan bahwa tanahnya yang jauh dari jalan desa dihargai Rp 4 juta per hektare. Sementara itu, "Kuitansi yang harus dicap jempol dan ditandatangani menyebutkan, harga Rp 1.000 per meter alias Rp 10 juta per hektare." Kalau tanah yang dibebaskan ada 17 hektare, maka ada selisih harga Rp 102 juta. Tapi Semen Gresik tenang-tenang saja. Seperti dikatakan oleh Urip Trimuryono tanah yang dibebaskan sudah ada 870 hektare dan itu cukup untuk pabrik yang direncanakan. Sekarang proses pemerataan tanah sudah jalan. "Kalau pemilik tanah tidak bersedia menjual lahannya, ya tidak apa-apa. Kami tetap jalan," katanya. MC. Supriyantho Khalid (Biro Jawa Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini