Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Vietnam memberlakukan moratorium PLTS atap.
Perusahaan listrik merugi karena ekspor impor listrik surya.
Pemerintah akan mengubah aturan PLTS atap.
PANEL surya seluas 6.000 meter persegi dengan daya 1,2 megawatt terhampar di atap pabrik tekstil Song Hong Garment JSC di Provinsi Nam Dinh, sekitar 90 kilometer arah tenggara Kota Hanoi, Vietnam. Di tengah cuaca mendung pada Rabu siang, 15 Maret lalu, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap tersebut hanya mampu memenuhi sekitar 30 persen kebutuhan pabrik Song Hong Garment. "Sedang tidak optimal,” kata Direktur Pengembangan Bisnis Copper Mountain Energy (CME) Le Hong Anh. CME adalah perusahaan energi terbarukan terbesar di Vietnam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CME, yang berdiri pada 2018, melayani lebih dari 100 klien yang bergerak dalam 20 sektor industri. Tiga tahun sejak didirikan, perusahaan itu memasang panel surya hingga 200 juta megawatt-peak. Panel surya itu menghasilkan listrik 2 gigawatt-jam setiap tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CME mendapat dukungan pendanaan dari Vietnam-Oman Investment Fund, lembaga sovereign wealth fund yang didirikan Oman Investment Authority dan State Capital Investment Corporation of Vietnam. Perusahaan ini membiayai salah satu proyek PLTS di Provinsi Long An, Vietnam, pada Juni 2019 dengan investasi US$ 46 juta. PLTS ini menghasilkan listrik 40,6 megawatt-peak yang masuk jaringan listrik (on-grid) Vietnam Electricity (EVN), perusahaan milik pemerintah Vietnam.
Pemerintah Vietnam sedang gencar membangun pembangkit listrik energi terbarukan seperti PLTS. Mereka memberikan insentif fiskal untuk mendorong pengembangan sektor ini. Pemerintah negara itu juga mengeluarkan kebijakan yang memerintahkan EVN membeli listrik dengan harga tinggi melalui sistem yang disebut feed-in-tariff.
Tapi skema ini membuat sistem kelistrikan Vietnam mengalami kelebihan pasokan. Kondisinya sama seperti di Indonesia, yang mengalami kelebihan pasokan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali. Kondisi ini diperburuk oleh susutnya angka permintaan listrik pada akhir 2022. Berdasarkan data EVN, pada 2022 kapasitas terpasangnya mencapai 79,5 gigawatt, tapi beban puncaknya hanya 45,5 gigawatt.
Sebaliknya, jumlah produksi listrik dari energi terbarukan meningkat dari 25.435 megawatt pada 2021 menjadi 26.224 megawatt pada 2022. Dari total kapasitas terpasang tahun lalu sebesar 79,587 gigawatt, sebanyak 33 persen berupa energi terbarukan. Angka produksi listrik dari ladang pembangkit surya atau solar farm melonjak hampir dua kali lipat, dari 4,696 gigawatt pada 2019 menjadi 8,852 gigawatt setahun kemudian. Jumlah listrik dari PLTS atap juga naik dari 0,320 gigawatt menjadi 7,785 gigawatt.
EVN lantas mengambil tindakan. Untuk mengatasi kelebihan suplai, EVN memberlakukan moratorium atau penghentian sementara proyek solar farm dan PLTS atap baru. Sejak Januari 2021, EVN tidak lagi membeli kelebihan daya dari PLTS atap on-grid.
Kantor pusat perusahaan listrik negara, Vietnam Electricity (EVN), Rabu, 15 Maret 2023. Tempo/Retno Sulistyowati
Karena itu, Le Hong Anh mengatakan, PLTS atap harus dibangun sesuai dengan daya yang diperlukan. Seperti PLTS atap di pabrik tekstil Song Hong, yang baru selesai dibangun pada Agustus 2022. CME menjual listrik surya atap kepada Song Hong Garment 8 persen lebih murah ketimbang harga listrik EVN yang rata-rata US$ 8-9 sen per kilowatt-jam.
Kekhawatiran seperti yang terjadi di Vietnam merembet ke Indonesia. Kebijakan feed-in-tariff telah hilang dari Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022. Tapi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 yang memberi insentif untuk ekspor-impor listrik malah mendorong pengembangan PLTS secara masif. Menurut Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Evy Haryadi, hal itu akan berdampak terhadap kondisi keuangan perseroan. “Skema feed-in-tariff juga berdampak pada tarif listrik karena harganya di atas harga tender,” ujarnya.
Masifnya pengembangan PLTS atap, menurut Evy, mengakibatkan efek lain. PLN tidak memperoleh apa-apa dari investasi pembangunan infrastruktur energi itu dan pendapatannya hilang karena pelanggan memenuhi kebutuhan listrik sendiri. Dia memberi contoh pengalaman EVN. Perusahaan listrik milik pemerintah Vietnam itu tidak mendapat subsidi atas kewajiban menyerap listrik energi terbarukan dengan tarif yang lebih mahal. Namun EVN tetap terbebani oleh kenaikan harga batu bara untuk produksi listriknya meski tak terserap.
Kabar yang dilansir Viet Nam News pada akhir Desember 2022 menyebutkan EVN telah menyurati pemerintah Vietnam, meminta penyesuaian harga listrik untuk mengimbangi kenaikan biaya produksi. Wakil Direktur Umum EVN Nguyễn Tài Anh mengatakan tarif listrik tak berubah hampir empat tahun. Padahal harga bahan bakar untuk memproduksi listrik dan nilai tukar mata uang meningkat tajam. Akibatnya, EVN merugi hingga VNĐ 31,36 triliun (Rp 20,4 triliun). EVN pun meminta persetujuan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik dan tidak membayar listrik dari PLTS.
Pada Selasa, 14 Maret lalu, Financialpost.com menayangkan berita tentang perusahaan energi terbarukan yang mendesak pemerintah Vietnam mengubah tarif listrik. Sebanyak 36 perusahaan meneken surat untuk Perdana Menteri Phạm Minh Chính. Dalam surat itu mereka mengeluhkan kebijakan tarif listrik seraya mendesak pemerintah agar membuat kebijakan harga yang lebih menguntungkan.
Di Indonesia, pemerintah pun mengubah regulasi tentang PLTS atap demi mencegah kerugian bagi PLN. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menggelar audiensi publik pada 6 Januari lalu untuk menjaring masukan dari masyarakat. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah segera merevisi Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap.
Dua poin utama yang disorot publik dalam ketentuan baru itu adalah penghapusan net metering alias skema ekspor-impor dan rencana penerapan kuota pada sistem atau subsistem kelistrikan. Artinya, pengguna PLTS on-grid atap tak bisa lagi menjual kelebihan listriknya kepada PLN.
Tapi, sebelum revisi aturan ini terbit, kritik sudah melayang. Pelaku industri yang tergabung dalam Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (Perplatsi) melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo serta sejumlah pejabat pada 12 Januari lalu. Perplatsi menolak penghapusan ekspor-impor listrik dari PLTS atap karena hal itu menghilangkan insentif bagi penggunaan energi terbarukan. Perplatsi juga mempersoalkan sistem kuota pemasangan PLTS atap yang mereka sebut membingungkan.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Fabby Tumiwa mengusulkan skema net metering tetap berlaku bagi pelanggan rumah tangga, kelompok pelanggan sosial, dan industri kecil-menengah. Sebab, skema ekspor-impor listrik itu menjadi salah satu daya tarik, terutama bagi konsumen kelas rumah tangga. Dengan terbukanya akses ekspor-impor, pengembalian investasi PLTS atap akan lebih cepat.
Menanggapi permintaan ini, Dadan Kusdiana mengatakan tujuan penggunaan PLTS atap adalah memenuhi kebutuhan sendiri, bukan untuk ekspor atau dijual kepada PLN. Dengan aturan yang baru, dia menjelaskan, pelanggan akan berhitung dan memasang PLTS atap sesuai dengan kebutuhan. PLN pun terhindar dari kerugian. Adapun skema kuota di sistem atau subsistem kelistrikan, menurut Dadan, akan diterapkan bersamaan dengan penghapusan pembatasan kapasitas PLTS atap per pelanggan. Dia menilai hal ini menjadi jalan tengah untuk memberi kepastian kepada pelanggan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo