Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Jangan Cupu Menjerat Alun

KPK mungkin hanya menjerat Rafael Alun Trisambodo dengan pasal gratifikasi. Tidak menyeret pemberi suap.

19 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK memilah-memilah jenis pidana untuk Rafael Alun Trisambodo.

  • Jika gratifikasi, pemberi suap kemungkinan tak terjerat.

  • Ada usaha memutus mata rantai suap pajak.

KASUS dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh Rafael Alun Trisambodo boleh jadi menuju akhir antiklimaks. Setelah heboh berhari-hari, Komisi Pemberantasan Korupsi ada kemungkinan hanya akan menetapkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan kekayaan tak wajar itu sebagai tersangka penerima gratifikasi. Meski ancaman maksimal tuduhan itu hukuman seumur hidup, tanpa pengenaan pasal suap, peluang komisi antikorupsi menyeret pihak lain yang terlibat menjadi kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan kini masih menelusuri asal-usul duit Rp 38 miliar yang disimpan Alun di kotak penyimpanan Bank Mandiri. Dua pejabat di KPK, yaitu Deputi Penindakan dan Eksekusi Karyoto serta Direktur Penyelidikan Endar Priantoro, disebut-sebut berkeras menetapkan kasus itu sebagai gratifikasi atau pemberian hadiah. Adapun pimpinan komisi antirasuah menginginkan Alun menjadi tersangka kasus suap. 

Arah Karyoto dan Endar bakal menjauhkan penyelidikan dari tujuan mengusut tuntas kasus ini. Terlalu dini untuk memutuskan duit yang disimpan Alun hanya sebagai hadiah. Asumsi ini menempatkan Alun bersikap pasif dan tidak bersepakat dengan pihak yang memberi duit atau barang. Apalagi ada informasi bahwa duit puluhan miliar rupiah yang disimpan Alun hasil dari pengurusan pajak berbagai perusahaan melalui sejumlah konsultan yang bekerja sama dengannya. Kemungkinan lain, bisa jadi Alun memeras wajib pajak untuk memberi duit. 

Baca: Asal-Usul Harta Rafael Alun Trisambodo

KPK tidak boleh menutup mata terhadap berbagai kemungkinan itu dan buru-buru memutuskan kasus tersebut sebagai gratifikasi belaka. Kecil kemungkinan wajib pajak memberikan hadiah kepada pegawai belasting tanpa berharap mendapatkan keuntungan apa pun. Sudah menjadi rahasia umum, penyuapan dilakukan wajib pajak untuk mengurangi semaksimal mungkin kewajiban yang harus dibayar ke negara.

Memang, hukuman bagi penyelenggara negara yang mendapat gratifikasi bisa jadi lebih berat ketimbang menerima suap. Ia bisa dipenjara minimal empat tahun hingga seumur hidup serta denda Rp 200 juta-1 miliar. Adapun dalam kasus suap penerima gratifikasi divonis maksimal lima tahun bui dan denda hingga Rp 250 juta. Namun KPK tetap tidak boleh mengabaikan wajib pajak yang kongkalikong dengan Alun.

Mengenakan pasal gratifikasi saja untuk Alun jelas berdampak negatif dan tidak memberi efek jera. Tanpa pengenaan pasal suap, wajib pajak yang bermain mata dengan Alun bakal melenggang bebas. Mereka pun bisa mengulangi lagi kejahatannya dengan menyuap pegawai pajak lain. Ujungnya, penerimaan negara dari sektor pajak ikut berkurang. Tanpa menjerat pihak pemberi hadiah, KPK ikut memelihara kebobrokan di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Baca: Jejak Moge Pegawai Pajak

Selama ini, pengusutan berbagai kasus korupsi yang melibatkan pegawai pajak tidak membuka terang-benderang pelaku suap yang sebenarnya. Dalam kasus yang menjerat Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak Angin Prayitno Aji, misalnya, KPK berhenti sampai konsultan pajak. Adapun wajib pajaknya, yaitu PT Jhonlin Baratama, tidak tersentuh pidana. KPK tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama dalam kasus Alun.


Baca liputannya:

Di belakang Rafael Alun Trisambodo kini mengantre 69 pegawai pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan kekayaan tidak wajar yang harus diperiksa KPK. Publik tentu berharap KPK bisa mengungkap semua dugaan penyelewengan perpajakan secara terang-benderang, bahkan hingga ke pengadilan pajak. Jika KPK terlalu cupu–takut atau culun–untuk mengungkap kasus Alun, lebih baik segeralah mundur ketimbang menyakiti hati jutaan pembayar pajak yang taat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus