Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan bakal mengubah pola belanja masyarakat. Direktur Eksekutif Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan ada tiga skenario perubahan konsumsi yang bakal terjadi imbas penerapan PPN 12 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), PPN naik bertahap satu persen. Mulai dari 11 persen sejak 2022 dan akan naik lagi jadi 12 persen pada 2025. Pajak pertambahan nilai dibebankan kepada konsumen sehingga penerapannya akan menyebabkan harga barang dan jasa ikut naik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan itu kata dia, dikhawatirkan bakal menyebabkan perubahan pola belanja. Skenario perubahan pertama, masyarakat tidak mengurangi konsumsi tapi beralih ke barang dengan kualitas lebih rendah. “Tetap belanja di retail, tapi belanja barang dengan kualitas lebih rendah dan harga lebih murah,” kata dia kepada Tempo, Senin 19 November 2024.
Kedua, kecenderungan menahan belanja. Masyarakat jadi lebih berhemat atau menahan tabungannya. Menurut Bhima ekonomi bisa terancam kalau skenario kedua ini terjadi. Karena selama ini sumbangan konsumsi cukup besar ke perekonomian. Badan Pusat Statistik mencatat konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada kuartal III tahun 2024, konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 53,08 persen terhadap PDB.
Jika konsumsi rumah tangga terganggu, kata dia, pertumbuhan ekonomi bisa rendah. Rasio pajak yang ditargetkan naik dengan menaikkan PPN justru bisa turun, karena masyarakat menahan belanja. “Jadi blunder,” kata Bhima.
Kemungkinan perubahan konsumsi yang ketiga adalah belanja barang di pasar ilegal yang murah. Reaksi konsumen yang beralih belanja ke barang ilegal dapat meningkatkan perputaran underground economy. “Artinya ada potential loss perpajakan. Akhirnya enggak ada efek kenaikan tarif PPN dengan penerimaan pajak,” ujarnya.
Pergeseran pola belanja imbas kenaikan tarif pajak pertambahan nilai juga diprediksi oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin. Beberapa merek barang, menurut dia bisa kehilangan pelanggannya. Konsumen Indonesia masih banyak yang setia terhadap merek tertentu, tapi mereka juga sensitif terhadap harga. “Karena ada kenaikan yang signifikan, mungkin nanti kita lihat dia pasti mengubah loyalitasnya kepada merek tersebut dan menyesuaikan dengan kebutuhannya,” kata dia.
Pilihan editor: Mengapa Skema Program Makan Siang Gratis Berubah