Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah pertanggungjawaban dan pelaporan yang terkait dengan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Dalam program yang berjalan sejak 2020 hingga kini tersebut, BPK menemukan pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan 2021 senilai Rp 15,31 triliun yang belum sepenuhnya memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari nilai itu, kata BPK, ada potensi penerimaan pajak yang belum terealisasi senilai Rp 1,31 triliun atas pemberian fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) non-PC-PEN kepada pihak yang tidak berhak. Lalu, BPK menemukan bahwa realisasi fasilitas PPN non-PC-PEN insentif senilai Rp 390,47 miliar tidak valid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, terdapat pula realisasi pemanfaatan fasilitas PPN ditanggung pemerintah (DTP) senilai Rp 3,55 triliun yang tidak andal. BPK menemukan adanya potensi pemberian fasilitas PPN DTP kepada yang tidak berhak senilai Rp 154,82 miliar, lalu potensi penerimaan pajak dari penyelesaian mekanisme verifikasi tagihan pajak DTP 2020 senilai Rp 2,06 triliun.
Ada juga belanja subsidi pajak DTP dan penerimaan pajak DTP yang belum dapat dicatat senilai Rp 4,66 triliun. Kemudian, ada realisasi insentif dan fasilitas pajak PC-PEN senilai Rp 2,57 triliun yang terindikasi tidak valid.
Atas berbagai temuan itu, BPK merekomendasikan Menteri Keuangan agar menginstruksikan Direktur Jenderal Pajak untuk memutakhirkan sistem pengajuan insentif wajib pajak. Caranya dengan menambahkan persyaratan kelayakan penerima insentif dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan pada laman resmi DJP Online.
"Menguji kembali kebenaran pengajuan insentif dan fasilitas 36 BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat IHPS I Tahun 2022 perpajakan yang telah diajukan WP dan disetujui, selanjutnya menagih kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya untuk pemberian insentif dan fasilitas yang tidak sesuai," tertulis dalam IHPS I/2022, dikutip pada Rabu, 5 Oktober 2022.
BPK pun menemukan adanya kebijakan akuntansi yang belum mengatur pelaporan secara akrual atas transaksi pajak terkait dengan penyajian hak negara minimal senilai Rp 11,11 triliun dan kewajiban negara minimal senilai Rp 21,83 triliun. Pemerintah pun belum memaksimalkan tindakan penagihan sehingga terdapat piutang pajak kedaluwarsa Rp 710,15 miliar.
Menurut BPK, masalah itu mengakibatkan pemerintah tidak dapat menyajikan sepenuhnya hak negara minimal Rp 11,11 triliun dan kewajiban negara minimal Rp 21,83 triliun dari beberapa transaksi perpajakan. Terdapat piutang pajak yang berpotensi tidak dapat ditagih lagi senilai Rp 940,96 juta.
Selanjutnya: BPK juga menemukan piutang pajak macet Rp 20,84 triliun yang belum ditagih secara memadai.
Selain itu, pemerintah kehilangan hak untuk menagih piutang pajak bumi dan bangunan (PBB) yang kedaluwarsa senilai Rp 709,21 miliar. BPK kemudian menemukan adanya piutang pajak macet senilai Rp 20,84 triliun yang belum mendapatkan tindakan penagihan secara memadai.
"Akibatnya, terdapat potensi kehilangan penerimaan pajak minimal sebesar Rp 20,84 triliun apabila Kementerian Keuangan tidak segera melakukan tindakan penagihan secara aktif dan piutang pajak menjadi kedaluwarsa penagihan," tertulis dalam IHPS I/2022.
BPK lalu merekomendasikan agar Menteri Keuangan melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum kedaluwarsa penagihan per 30 Juni 2022 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai dengan ketentuan.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Keuangan menyatakan akan menindaklanjuti berbagai temuan BPK mengenai perpajakan.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyatakan bahwa temuan itu sebenarnya memuat banyak jenis perpajakan. Ia menjamin bahwa pemerintah dapat mempertanggungjawabkan temuan Rp 15,31 triliun itu.
"Pada prinsipnya kami sampaikan adalah dari keseluruhan temuan kami pilah-pilah, dan tentu kami harus tindak lanjuti. Dalam Rp15,3 triliun tadi mudah-mudahan seluruh rekomendasinya bisa kami tuntaskan," ujar Yon pada Selasa, 4 Oktober 2022.
Dari total nilai itu, Rp 6,74 triliun di antaranya merupakan realisasi insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) yang belum cair pada 2021. Hal itu karena masih terdapat proses pemeriksaan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Yon juga menyebutkan nilai temuan insentif pajak Rp 3,7 triliun yang muncul karena masalah cara membaca faktur. Pemerintah menyatakan telah membahasnya dengan tim BPK dan menyerahkan penjelasan tertulis, tetapi belum masuk ke dalam laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP). "Jadi, bukan berarti Rp 15 triliun itu jumlah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
BISNIS
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.