Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Meski berprofesi sebagai dokter, Tirta Mandira Hudhi, atau dokter Tirta lebih memilih fokus pada bisnis sepatu. Dokter Tirta yang sejak 2019 lalu memutuskan berhenti praktek untuk melanjutkan rencananya kulaih S2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok yang juga dikenal sebagai relawan penanganan Covid-19 ini menekuni bisnis sepatu tersebut lewat gerai yang diberi nama Shoes and Care.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerai tersebut dokter Tirta dirikan di Yogyakarta 12 Oktober 2013 silam. Shoes and Care ini merupakan jasa perawatan sepatu berbasis media sosial (waktu itu dipromosikan melalui forum komunikasi Kaskus) pertama di Yogyakarta dan Indonesia.
Tidak muluk-muluk, dalam video yang diunggah kanal Youtube Ninjaxpressid berjudul Belajar Bisnis Bersama Dr. Tirta di Shoes and Care, Berguru (Belajar Ragam Usaha Baru) Ep. 10, ketika ditanya mengenai alasannya memulai usaha sepatu ini, “Ya, karena kepepet butuh duit, ya lakuin,” jawab pria yang akrab disapa dokter Tirta itu.
Ide usaha perawatan alas kaki itu didapat saat dokter Tirta yang senang mengkoleksi sepatu merasa kesulitan melakukan perawatan untuk sepatu-sepatunya.
Dokter Tirta juga khawatir apakah sepatu-sepatunya akan dicuci dan dirawat dengan baik di tempat cuci sepatu biasa, apalagi tidak ada jaminannya.
Berangkat dari pemikiran itu lantas dokter Tirta mencari informasi melalui internet untuk mengetahui bagaimana cara mencuci sepatu, bahan-bahan pembersih apa yang cocok untuk jenis-jenis sepatu tertentu.
Kemudian pria kelahiran Surakarta, 31 Juli 1991 itu membeli sebuah cairan pembersih sepatu premium bermerek Jason Mark, langsung dari luar negeri, seharga Rp 400 ribu per botol.
Mulanya ia merasa harga sebesar itu ditambah ongkos kirimnya terlalu mahal. Dokter Tirta pun menawarkan kepada teman-temannya sesama pengoleksi sepatu untuk menggunakan produk pembersih itu, dengan syarat mereka bersedia menanggung sebagian harga belinya.
Gayung bersambut, teman-temannya bersedia patungan menggunakan produk pembersih itu. Saat itulah terbersit di pikiran dokter Tirta untuk mengkomersialkan jasanya tersebut. Namun ide itu belum terealisasi lantaran ia masih disibukkan dengan aktivitas kuliahnya.
Sejak kali pertama berdiri 6 tahun lalu, dokter Tirta sudah mempromosikan usaha jasanya itu melalui internet. Awalnya, Shoes and Care belum memiliki akun media sosial @shoesandcare seperti sekarang. Bentuk promosi dan pemesanan masih ia tawarkan melalui Kaskus yang merupakan situs forum komunikasi terbesar di Indonesia saat itu.
Dikutip dari website resmi Shoes and Care, barulah pada pada 14 Februari 2014 Shoes and Care dibuatkan akun media sosial dan melayani perawatan sepatu secara online.
Sejak saat itu sampai saat ini, lebih dari 500.000 pasang sepatu telah ditangani. Selain dari Yogyakarta dan Indonesia, ada juga pelanggan yang berasal dari Australia, Singapura, Malaysia, dan Amsterdam.
Di Indonesia sendiri, Shoes and Care sudah memiliki puluhan outlet di beberapa kota di Indonesia, dimana sebanyak 75 persen outlet tersebut adalah milik Tirta dan sisanya adalah milik kemitraan dengan sistem bagi hasil.
Kini Shoes and Care termasuk dalam 50 Usaha yang paling banyak dicari di Indonesia (dari Google Singapore, Google ID, dan Mitra Google Indonesia).
Atas prestasi itu, dokter Tirta pun mengungkapkan rahasia sukses berbisnis. Salah satunya dengan merangkul pegawai yang 50 persen di antaranya merupakan anak jalanan.
Ia mengaku senang ketika anak jalanan yang diperkerjakannya itu mendapat uang dari hasil jerih payah mereka. “Saya menemukan kesenangan tersendiri ketika pegawai dapat duit dari situ (usaha yang dimilikinya), apalagi sebagian dari mereka sebelumnya merupakan kaum marginal,” katanya saat menjadi salah satu narasumber pada acara bincang bisnis sebagai rangkaian kegiatan “UKM Virtual Expo” yang diselenggarakan Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Tengah di Semarang, Senin, 26 Oktober 2020 lalu.
Menurutn dokter Tirta karyawan merupakan mitra paling kuat dalam perusahaan. “Selama ini kesalahan paling besar pebisnis muda adalah mengambil laba terlalu besar lalu dibuat profit pribadi, sebetulnya ini salah. Ini menimbulkan kecemburuan sosial antara ‘owner’ (pemilik) dengan pegawai. Misalnya pegawai gaji Rp 2,5 juta, padahal dia sudah totalitas tapi gaji tidak naik-naik, besoknya ‘owner’ beli mobil mewah. Ini membuat pekerja marah, akhirnya terjadi boikot, frontal,” katanya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID