Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Cerita Harris Hartanto Tan Bangun Coffeenatics, Terinspirasi dari Budaya Kopi Australia

Coffeenatics memiliki visi menghasilkan produk kopi Indonesia dengan kualitas tinggi tapi affordable dan available.

28 Juni 2023 | 20.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kopi Coffeenatics

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia merupakan penghasil kopi keempat terbesar di dunia, tetapi yang mendapat julukan coffee capital of the World adalah Melbourne, Australia. Di Melbourne, masyarakatnya bisa ngopi tiga kali sehari padahal harga kopi di sana tidak murah. Mereka minum kopi bukan untuk menikmati tempatnya, melainkan kopinya. Jadi kebanyakan orang membeli kopi express.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fakta lain, dia kesulitan menemukan kopi dari Indonesia. Kebanyakan, kopi yang dia temukan di sana berasal dari Amerika Tengah seperti Kolombia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari situlah muncul ide untuk memulai usaha kopi Indonesia di bawah brand Coffeenatics. Menurut dia, sebagai negara penghasil kopi, Indonesia masih bisa menggali potensi yang sangat besar untuk menghasilkan kopi lokal berkualitas tinggi yang bisa diekspor. 

Sebagai permulaan, Harris mendirikan kafe pada 2015 untuk mempelajari lebih jauh bisnis kopi di Indonesia. Brand ini sebenarnya lahir di Surabaya, tetapi Harris memilih Medan untuk membuka kafe pertamanya karena kota ini dekat dengan sumber kopi, terutama kopi Aceh. Sekitar 90 persen kopi di Coffeenatics adalah kopi Sumatra. Ta[i dengan pengetahuan dan modal yang terbatas, awalnya dia merasa kesulitan menjalin hubungan langsung dengan petani kopi. 

Harris Hartanto Tan, pendiri Coffeenatics

Kafe hanya permulaan untuk mewujudkan visinya. “Visi kami adalah bagaimana menghasilkan produk kopi Indonesia dengan kualitas tinggi tapi affordable dan available,” kata dia dalam workshop media Tokopedia di Medan, pekan lalu.

Modal Rp1,2 Miliar

Coffeenatics tidak besar secara instan. Dengan modal awal Rp1,2 miliar, lulusan Monash University itu mengatakan bahwa tahun-tahun pertamanya sangat berat. Modal yang dia siapkan habis dalam waktu tiga tahun, sampai kesulitan membayar sewa tempat.

“Modal Rp1,2 miliar terpakai buat renovasi, training, operasional sehari-hari, dan beli bahan. Dulu kami mulainya kafe, simpel banget, beli bahan, produksi, jual, bayar payroll, gitu aja,” kata dia.

Tapi keberuntungan membuat mereka bisa bertahan, bahkan bertambah besar.  Pemilik tempat yang disewa kafe itu berbaik hati memberi keringanan membayar sewa dengan cara dicicil.

Kafe Coffeenatics di Medan

Dari situ mereka pelan-pelan membesarkan usaha. Kini mereka memiliki 50 karyawan dan omzet sekitar Rp300-400 juta per bulan. Produk pun lebih beragam, selain biji kopi dan kopi siap minum, mereka juga memiiki kopi kapsul dan single-serve pourover. 

Ini pun tidak mudah karena sebenarnya kopi bukan hal baru, tapi mereka ingin punya hal istimewa yang membedakan dengan kopi lainnya. Di Coffeenatics, pembeli akan mendapatkan cerita tentang asal usul kopi yang diminum. Karena itulah mereka membangun hubungan baik dengan petani, prosesor, dan pengepul. Bahkan beberapa nama kopi diambil dari petaninya, seperti Ladang Munte dan Ladang Pele.

Harris mengaku awalnya kesulitan membangun hubungan yang saling percaya dengan para petani. Dia ingin membina petani dan memperkenalkannya ke pasar, tetapi khawatir nanti hasil panennya tidak dijual ke Coffeenatics. Sementara petani juga belum yakin bahwa Coffeenatics benar-benar akan menyerap produk mereka. Butuh waktu sampai akhirnya Harris menemukan cara yang membuat nyaman kedua belah pihak. Selain lewat koperasi, Harris juga memiliki hubungan langsung dengan beberapa petani.

Ada satu program unggulan yang dijalankan Coffeenatics ke petani yang disebut dengan program Adopsi Ladang di Aceh, Simalungun, Karo, hingga Bali. Dengan program ini, Cofeenatics membayar terlebih dahulu ke petani dengan harga kopi grade 1 meskipun nanti hasil panennya mungkin juga ada yang grade 2.

“Program ini dilakukan untuk membantu petani mengontrol kualitas biji kopi sekaligus membantu meningkatkan perekonomian petani kopi lokal,” kata Harris.

Mereka juga menerapkan harga kopi yang tinggi untuk lahan yang dekat dengan habitat siamang, dengan harapan petani kopi tidak akan mengekspansi lahan agar siamang bisa hidup dengan tenang.

Coffeenatics saat ini memiliki kebutuhan biji kopi sekitar satu ton per bulan. Itu tidak hanya untuk kafe sendiri yang saat ini ada dua, mereka juga memasok untuk kafe-kafe lain di Kota Medan dan sekitarnya dan menjualnya langsung ke pembeli lewat toko offline dan online. Mereka juga tengah menjajaki ekspor roasted coffee ke beberapa negara. Tahun ini Cofeenatics bakal membuka cabang ketiganya di Medan dan tengah mengincar Jakarta.

Kopi Gayo paling laris

Medan berada tak jauh dari daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, Aceh. Salah satu kopi Aceh yang paling diminati di kota ini adalah Gayo. Berdasarkan data internal Tokopedia pada Mei 2023 dibandingkan rata-rata Januari-April 2023, kopi Gayo mengalami kenaikan jumlah transaksi hampir 1,5 kali lipat.

“Kopi lokal memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Di sisi lain, sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan jumlah pelaku usaha di Indonesia, Tokopedia terus menggencarkan inisiatif Hyperlocal agar lebih banyak pelaku usaha–termasuk UMKM kopi di Medan–bisa menciptakan peluang lewat pemanfaatan kanal digital,” ujar Corporate Affairs Senior Lead Tokopedia, Rizky Juanita Azuz.

Salah satu manifestasi Hyperlocal Tokopedia adalah layanan pemenuhan pesanan (fulfillment) Dilayani Tokopedia yang memungkinkan penjual menitipkan produk di gudang pintar Tokopedia pada wilayah dengan permintaan tinggi. Penjual tidak perlu pindah kota untuk menjangkau pasar yang luas, dan pembeli bisa mendapatkan produk tersebut dengan lebih cepat dan efisien.

Harris juga memanfaatkan inisiatif ini untuk menjual produknya. Menurut dia, ini sangat membantu karena menjawab kebutuhan pelanggannya akan ongkos kirim yang minim. “Secara psikologi ongkos kirim itu bukan value,” kata dia. “Katakana produk harganya Rp110 ribu, dinaikkan jadi Rp125 ribu, mereka mau bayar. Tapi kalau produk Rp110 ribu dan kena ongkir Rp15 ribu, mereka nggak mau.”

Selain itu, inisiatif ini membantu mewujudkan bisi avaibility Coffeenatics.  “Kami pengin sedekat mungkin ke customer,  kami juga  nggak mau bebani ongkir ke konsumen. Di sanalah Coffenatics masuk Dilayani, ada di Bandung, Surabaya, dan Jakarta,” ujar Harris yang mengatakan bahwa penjualan kopi rata-ratanya naik 350 persen setelah bergabung dengan Tokopedia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus