KALANGAN yang sangat gembira menyambut devaluasi adalah eksportir rotan -- tapi tak sampai sebulan. Sebab apartemen Perdagangan, belum lama ini, mengubah tata niaga rotan. Dengan pertimbangan memperluas kesempatan kerja, serta untuk mendapatkan devisa yang sebesar-besarnya, rotan tidak boleh lagi diekspor dalam keadaan mentah. Yang telah diolah setengah jadi pun harus dihentikan mulai 1 Januari 1989. Praktis, dua tahun dua bulan mendatang, yang boleh diekspor hanyalah yang sudah dalam bentuk kerajinan. Hal itu sebenarnya sudah diusulkan sejak beberapa tahun lalu oleh beberapa pengusaha. Bos PT Pasaraya Sarinah, Abdul Latief, antara lain, menyatakan bahwa bila rotan diekspor dalam bentuk jadi, bisa menghasilkan devisa milyaran dolar. Selama ini, Indonesia adalah eksportir rotan terbesar di dunia, tapi hanya bisa meraih devisa sekitar US$ 80 juta per tahun. Sedangkan negara-negara yang mengimpor rotan mentah dari Indonesia bisa mengolahnya kembali untuk diekspor dengan nilai 4-5 kali lipat. Mereka pun mampu menjual bersaing dengan hasil kerajinan rotan dari sini. "Untuk memukul saingan, seperti Taiwan, sebenarnya, gampang saja: hentikan ekspor rotan mentah," kata pengusaha rotan dari CV Hariza di Medan, Zainal Abidin. Tapi ada yang gusar. "Dulu 'kan kami didorong membangun industri di daerah, kok sekarang disetop?" kata Eddy Hardono, Direktur CV Multi Rotan Sari di Samarinda. Pabriknya, yang menyerap Rp 600 juta dan mempekerjakan 120 karyawan, setiap bulan mengekspor rotan setengah jadi 30 ton-50 ton ke Singapura, Taiwan, dan Jepang. Untuk ditingkatkan lagi menjadi pabrik barang jadi rotan belum bisa, mengingat ekspor barang jadi itu harus dilakukan dengan peti kemas. Fasilitas pelabuhan peti kemas baru ada di Jakarta, Surabaya, dan secara terbatas di Medan. Wajarlah kalau para pengusaha rotan setengah jadi di daerah menganggap tata niaga baru rotan itu tidak adil. Eddy Hardono mengaku bahwa modal pabriknya diperhitungkan baru bisa kembali paling cepat tiga tahun lagi. Bila ekspor barang setengah jadi itu harus dihentikan 1 Januari 1989, "bisa-bisa kami cuma harus mengembalikan kunci pabrik untuk disita bank," kata Hardono. Hartono, Direktur PT Arvenaya, juga berpendapat serupa. Perusahaannya sudah lebih maju: mengolah rotan setengah jadi di Padang, kemudian memproses sampai barang jadi rotan di Jakarta. Berkat bantuan JETRO (organisasi perdagangan luar negeri Jepang) Jakarta, sejak April lalu, Arvenaya mulai menjalin hubungan dengan importir barang jadi rotan di Jepang. Tapi, sejauh ini, importir Jepang baru berani memesan dua kali, bernilai US$ 5.000. "Tidaklah mudah mencari importir barang jadi rotan seperti dugaan orang," kata Hartono. Namun, Soedjito, Direktur CV Ratalia di Jakarta, termasuk salah satu pengusaha yang menanggapi tata niaga baru rotan itu dengan gairah. "Dalam jangka pendek memang akan ada korban -- terutama pengekspor rotan mentah. Tapi dalam jangka panjang hal itu baik," katanya. Ia memperkirakan bahwa nilai ekspor barang jadi rotan, seperti mebel, tikar, dan keranJang, yang sekarang baru menghasilkan sekitar US$ 12 juta, dalam 3-4 tahun mendatang sudah akan meningkat banyak. Perusahaannya sendiri baru bisa mengekspor sekitar 60 peti kemas dengan nilai US$ 300.000 per tahun. Tapi ia yakin bisa meningkatkan ekspor sampai sekitar 360 peti dengan nilai US$ 3,5 juta per tahun. Toh, ia mengakui bahwa sekarang ini Indonesia masih ketinggalan dalam soal teknologi. Jalan keluarnya ada: ada pihak asing yang ingin bekerja sama. Menurut Direktur JETRO Jakarta, Hiroshi Oshima, ada investor Jepang yang mau terjun ke industri mebel rotan, bila pemerintah membolehkan mereka menanam modal US$ 100.000-US$ 500.000. Apa lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini