SABENI, petugas pompa bensin di Jalan A. Yani, Jakarta Timur, seperti biasa melayani mobil-mobil yang antre ingin mengisi bahan bakar. Sehari setelah pekan lalu Menteri Pertambangan dan Energi Subroto mengumumkan turunnya lima komponen BBM sejak 10 Juli, seorang pengendara mobil Kijang menanyakan benarkah bensin turun. Si petugas menjawab, "Di sini cuma solar yang turun, Be." Cuma solar, memang. Harga bensin super dan premium memang masih tetap Rp 440 dan Rp 385 setiap liter. Begitu pula minyak tanah yang resminya berharga Rp 165 per liter, tapi oleh tukang minyak dan di kios-kios biasa dijual Rp 200-Rp 250 seliter. Maka, lumrah bila para pemilik mobil, dan ibu rumah tangga yang biasa memasak dengan minyak tanah, tak terlalu gembira dengan turunnya harga BBM, yang baru pertama kalinya terjadi di Republik kita itu. (Lihat: Harga Naik Terus, Kini Turun). Tapi tindakan pemerintah yang tak disangka-sangka, rupanya, bukan bertujuan untuk menyenangkan mereka. Sasaran Keppres No. 28 tahun 1986 ini, seperti dikatakan Menteri Subroto, adalah untuk merangsang sektor industri dan perdagangan yang rupanya belum cukup didongkrak lewat Paket 6 Mei. Alkisah, setelah mendengar pendapat para wakil rakyat, pengusaha yang tergabung dalam Kadin, dan terutama para ahli dalam dan luar negeri, para teknokrat akhirnya menyetujui untuk memotong sekitar separuh dari laba bersih minyak (LBM) yang diperkirakan akan mencapai Rp 1 trilyun lebih dalam tahun anggaran 1986-1987. Tadinya pemerintah masih menyisihkan Rp 142 milyar untuk subsidi BBM. Ternyata, dengan merosotnya harga minyak di pasaran internasional sejak tahun lalu, pemerintah beranggapan patokan harga minyak yang US$ 25 per barel bisa diturunkan jadi 20 dolar saja. Penurunan harga patokan dengan lima dolar itu membuat kalkulasi biaya pokok rata-rata BBM turun dari Rp 223 menjadi Rp 189 per liter. Makin rendah harga patokan minyak mentah, makin rendah pula perhitungan harga pokok BBM. Maka, bisa dimengerti kalau sementara pengamat bertanya-tanya, kenapa pemerintah mengambil harga patokan 20 dolar, dan bukan 15 dolar misalnya, yang lebih mewakili harga rata-rata minyak sekarang? Jawab Menteri Subroto: Angka 20 dolar itu diambil dengan harapan akan terjadi perbaikan harga minyak dalam kuartal keempat tahun ini, berkisar dari 17 dolar sampai 19 dolar per barel. "Dan tahun depan, mudah-mudahan akan naik lagi" katanya. "Kami memandang angka 20 dolar barangkali akan bisa tercapai, dan cukup stabil untuk masa satu sampai dua tahun lagi." Ramalan Subroto agak optimistis, kalau saja dilihat suasana harga minyak di pasaran dunia. Harga kini sudah bergerak sekitar 10 dolar per barel. Bank Dunia dalam Laporan Tahun 1985, yang diedarkan secara amat terbatas awal Juni lalu, memperkirakan harga rata-rata minyak dunia mencapai US$ 13,50 per barel dalam tahun 1986. Tapi mungkin Subroto punya kitab: Laporan rahasia yang dikeluarkan Bank Dunia juga, menjelang sidang kelompok negara-negara kreditor yang tergabung dalam IGGI di Amsterdam, pertengahan Juni lalu, bicara lebih sedap: harga minyak akan naik jadi US$ 17 dalam 1987, lalu naik lagi menjadi US$ 19,50 pada tahun berikutnya. Wakil Ketua Komisi VI dari FKP, Djoko Soedjatmiko yang suka menghitung-hitung, sejak enam bulan silam, agaknya sudah mensinyalir agar harga patokan yang 25 dolar bisa diturunkan. Sesungguhnya selama itu pemerintah telah menikmati surplus, berupa laba bersih minyak. Padahal, dulu 'kan terkenal malah harus menomboki dengan subsidi. (Lihat Antara Konsumsi dan Subsidi). Ambil saja konsumsi minyak di dalam negeri yang sekitar 500.000 barel sehari. Kemudian itu dikalkulasikan dengan harga patokan minyak yang 25 dolar. Dengan turunnya harga pokok jadi 20 dolar, menurut Djoko, ada penghematan atau laba bersih minyak sebanyak 2,5 juta dolar setiap hari, atau kurang lebih 1 milyar dolar setahun. Dihitung-hitung, setelah dipotong subsidi Rp 142 milyar, "masih terkumpul laba bersih minyak sebesar Rp 1 trilyun," katanya. Hadi Soesastro, dengan cara perhitungan yang lain, memperkirakan penerimaan nyata dari minyak dan gas bumi akan mencapai Rp 910 milyar. Dari jumlah tersebut, menurut ekonom yang terkemuka di bidang energi itu, pemerintah telah menyisihkan Rp 470 milyar untuk penurunan paket harga BBM yang baru (lihat Berhitung setelah BBM Turun). Masing-masing untuk komponen avigas dan avtur dari Rp 330 menjadi Rp 250, solar dari Rp 240 menjadi Rp 200, lalu minyak diesel dan minyak bakar dari Rp 220 menjadi Rp 200 -- semuanya per liter eceran. Tapi apakah tindakan kali ini akan bisa menggerakkan mesin industri dan dunia perdagangan, termasuk angkutan, seperti yang diharap? Beberapa pengusaha, misalnya di bidang angkutan udara, agak skeptis. Harga baru BBM, dalam hal ini avtur dan avigas, mungkin tak akan bisa menurunkan tarif di udara (lihat Laporan Utama II). Turunnya avtur dan avigas menjadi Rp 250 per liter itu kabarnya hanya untuk lebih menghindarkan pesawat Garuda mengisi bahan bakar di luar negeri, seperti di Singapura. Tapi, kabarnya, Singapura menawarkan harga khusus untuk pesawat Garuda, yang jatuhnya sekitar Rp 210 per liter. Kalau benar demikian, bisa diduga armada Garuda masih lebih suka mengisi bahan bakarnya di Singapura, kalau sedang singgah di bandar udara internasional Changi (lihat Harga Minyak di Pelbagai Negara Akhir 1986). Tapi pemerintah memang ingin menundukkan ekonomi biaya tinggi -- suatu hal yang hampir selalu dikeluhkan para pengusaha swasta. Dan salah satu faktor yang membuat ekonomi menjadi mahal adalah harga BBM yang dianggap tinggi. Barangkali harga BBM di sini masih bisa ditekan lagi kalau nanti pengilangan di Indonesia sudah berjalan lancar benar. Sayangnya, tidak 100% begitu. Dari tiga pengilangan yang diperluas -- Cilacap, Balikpapan, dan proyek hydrocracker Dumai yang disebut terakhir itulah yang agaknya paling memusingkan kepala para pejabat di Pertamina. Selain konstruksi proyek yang menelan lebih dari semilyar dolar itu tertunda penyelesaiannya, problem utama Dumai adalah bagaimana menghasilkan produk yang paling belakang dari rantai produksi: calcine cokes. Produk tersebut sulit bersaing di pasaran luar negeri, antara lain karena soal mutu juga. Sedang pembeli pertamanya, proyek peleburan aluminium Asahan di Sumatera Utara, lebih suka mengimpor dari luar negeri, dengan alasan lebih murah dari bikinan Dumai. Pengilangan di Balikpapan, yang selesai pada November 1984, ternyata juga menelan pembiayaan lebih dari yang direncanakan. Dan pengilangan itu sampai sekarang kabarnya masih bekerja di bawah kapasitas. Hanya proyek Cilacap yang boleh dibilang mulai berjalan baik. Ketiga proyek yang menghabiskan lebih dari US$ 4 milyar itu, demikian menurut laporan tahunan yang dikeluarkan Kedubes AS di Jakarta bulan Juli ini, memang berhasil membuat minyak mentah dari Indonesia tak lagi disuling di proyek pengilangan Pulau Bukom, Singapura. Sejak Oktober tahun lalu minyak Indonesia yang dikilang di Singapura cuma tinggal 12.500 barel sehari. Tadinya mencapai 100.000 barel sehari. Tapi, pada umumnya, pengilangan di Indonesia belum boleh dikata menggembirakan Dan harga BBM, ya, hanya sampai sebegitu. Bagaimana suara pengusaha? Umumnya mereka masih menunggu. Mereka ingin melihat siapa yang berani menjadi pelopor penurunan harga. PLN, yang paling banyak memakai minyak diesel dan solar, sedikit banyak diharapkan menyesuaikan tarifnya bagi kalangan industri. Beranikah? Kalaupun berani -- atau bisa -- ada yang bilang tarif PLN cuma bisa turun 3 persen, meskipun ada juga yang mengatakan bisa turun sampai 10 persen. Itu pun, seperti kata Tawang Alun, doktor ekonomi yang bekerja di LPEM-FE UI, Salemba, "Harus ada yang memimpin di depan." Dan bagi Tawang, badan usaha milik negara (BUMN)-lah yang harus memulai gerakan penurunan harga. Pesero Garuda, sekalipun masih ditindih utang, bisa saja melakukan berbagai variasi tarif yang menarik bagi penumpang, misalnya dengan sistem discount yang masih bisa diperluas. Begitu juga PJKA dan angkutan laut. Kalau satu-dua BUMN sudah menyeberang jembatan, bisa jadi "kambing-kambing yang lain akan ikut", bak kata sebuah pepatah. Dan "kambing-kambing" itu, umumnya swasta, jangan diharap untuk menjadi perintis penurunan harga. Atau barangkali pemerintah perlu mengumumkan gebrakan lagi, yang memang sangat ditunggu-tunggu orang banyak: menurunkan harga premium dan minyak tanah kembali ke harga Januari 1984: masing-masing Rp 350 dan Rp 150 per liter. Si Super yang tak banyak produksinya, dan umumnya dipakai oleh mobil sedan kelas mewah, boleh saja bertahan harganya. Sebaliknya, jenis premium dan minyak tanah, seperti dikatakan juga oleh Djoko Soedjatmiko, banyak juga digunakan untuk tujuan produktif. Menurut hitungan di atas kertas, penurunan premium dan minyak tanah yang cuma 50 perak memang akan mengurangi lagi pajak perseroan minyak, yang dengan harga BBM yang baru akan berkurang dengan Rp 2,7 trilyun dari sasaran semula yang Rp 9,7 trilyun. Jadi, penerimaan pemerintah akan lebih sedikit. Tapi, apa salahnya itu bagi pemerintah, jika ternyata kemudian biaya tinggi dunia usaha Indonesia bisa lebih tidak mencekik, dan bisnis pun maju, dan lowongan kerja bertambah, dan ekonomi bergerak lagi? Fikri Jufri, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini