KEPUTUSAN pemerintah menurunkan harga beberapa jenis KBBM ditanggapi berbagai kalangan -- politisi, ekonom, pengamat, dan praktisi -- sebagai "tindakan berani dan patut dipuji". Tentunya masing-masing mempunyai alasannya sendiri dalam memberikan penilaiannya itu. Penjelasan resmi pemerintah menyatakan bahwa penyesuaian harga BBM itu dimaksudkan untuk "mendorong kegiatan perdagangan dan industri serta menjadikan barang-barang ekspor mampu bersaing di pasaran internasional, sekaligus membuka kesempatan bagi lapangan kerja baru". Memang, keputusan ini harus dilihat sebagai bagian dari serangkaian tindakan dan kebijaksanaan pemerintah untuk memerangi "ekonomi biaya tinggi", yang masih saja menghantui perekonomian Indonesia. Sebab, jelas kiranya bahwa keputusan itu diambil sesuai dengan tuntutan kalangan DPR dan para pengusaha (Kadin) beberapa waktu lalu. Tetapi kalangan pengusaha, yang dinihari sudah bersorak-sorai hanya akan kecewa apabila beranggapan bahwa penurunan harga BBM ini secara otomatis akan merangsang kegiatan perdagangan dan industri. Boleh dikatakan bahwa "bola" sekarang berada di tangan dunia usaha yang harus membuktikan bahwa penurunan harga BBM itu benar-benar akan menggairahkan sektor produksi. Artinya, dunia usahalah yang kini harus berupaya lebih keras. Ditinjau dari sudut pemerintah, penurunan harga BBM ini jelas merupakan pengorbanan. Secara implisit ada pengandaian bahwa berkurangnya penerimaan pemerintah (cost) akan dikompensasikan oleh peningkatan kegairahan usaha di sektor industri (benefit) atau dengan perkataan lain, sejumlah uang tertentu itU lebih baik hasilnya bila dirasakan langsung oleh dunia usaha daripada dikelola dan disalurkan ke masyarakat melalui anggaran pemerintah. Dengan sedikit berhitung dapat kita ketahui bahwa apabila harga BBM tidak diturunkan, sementara harga minyak mentah telah merosot dari perkiraan semula, pemerintah akan memperoleh laba bersih minyak (LBM) sebesar sekitar Rp 770 milyar di samping PPN dari penjualan BBM sebesar Rp 560 milyar. Dibandingkan dengan perkiraan APBN 1986/1987 -- yang melibatkan subsidi BBM sebesar Rp 140 milyar -- sebenarnya penerimaan riil pemerintah dapat meningkat dengan Rp 910 milyar. Jumlah ini tidak kecil, sebab mungkin berarti sekitar 15 persen dari penerimaan pemerintah dari pajak minyak dan gas bumi. Yang digeserkan pemerintah kepada masyarakat pemakai avigas, avtur, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar memang bukan keseluruhan dari Rp 910 milyar itu, tetapi sejumlah Rp 470 milyar saja -- ini sudah termasuk pengurangan penerimaan PPN sebesar Rp 40 milyar. Bagi pemerintah jumlah itu berarti 10 persen dari besarnya pembiayaan rupiah bagi pembangunan dalam APBN 1986/1987. Ini juga bukan jumlah yang tidak berarti dalam kondisi keuangan pemerintah dewasa ini. Ada pertanyaan, mengapa pemerintah tidak menggeserkan keseluruhan dari Rp 910 milyar itu kepada masyarakat, yaitu dengan menurunkan lebih jauh harga BBM tersebut, termasuk harga minyak tanah dan mungkin pula harga premium. Perkara penurunan lebih jauh harga beberapa jenis BBM tersebut memang selalu bisa diperdebatkan. Tetapi soal penurunan harga minyak tanah bisa dianggap bukan masalah yang relevan. Sebab, sesuai dengan tujuannya, penurunan harga BBM ini berorientasi pada sektor produksi, dan bukan pada sektor konsumsi. Ada pula pertanyaan mengapa dasar perhitungan ongkos produksi BBM itu US$ 20 per barel minyak mentah, dan bukan lebih rendah dari itu. Soal ini pun masih bisa diperdebatkan. Tetapi, dalam kondisi ketidakpastian pasar minyak internasional seperti sekarang ini, penggunaan harga "patokan" itu cukup rasional ditinjau dari sudut planning. Andaikan US$ 17 per barel yang digunakan, kiranya penurunan harga lebih jauh hanyalah Rp 20 per liter. Tambahan ini mungkin dianggap kurang sepadan dengan "kekacauan" yang bisa ditimbulkan bagi usaha perencanaan. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah besarnya pengaruh dari penurunan harga BBM ini terhadap sektor produksi, khususnya industri. Untuk menjawabnya diperlukan sedikit berhitung. Ambil saja 24 cabang utama industri. Menurut Tabel I/O (input-output) tahun 1980, sebesar 55 persen dari keseluruhan BBM yang dikonsumsikan oleh sektor industri terdapat pada hanya empat cabang industri, yaitu industri semen dan kapur (19 persen), industri barang-barang mineral bukan logam -- seperti keramik (13 persen), industri pengolahan makanan lainnya (12 persen), dan industri tekstil (11 persen). Selebihnya sebesar 45 persen konsumsi tersebut tersebar pada 20 cabang industri. Di antara empat canang utama industri tersebut hanya industri semen dapat dianggap yang paling padat energi. Dalam hal ini pun secara rata-rata untuk semua pabrik semen komponen BBM-nya hanyalah sekitar 12 persen dari keseluruhan ongkos produksi. Untuk industri barang-barang mineral bukan logam, komponen BBM-nya sekitar 7 persen. Komponen biaya listrik untuk kedua cabang industri ini juga di bawah 3 persen dari keseluruhan ongkos produksi. Bagaimana dengan sektor listrik? Komponen BBM dalam keseluruhan nilai input sektor listrik kira-kira 27 persen. Artinya, penurunan harga BBM (minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar) rata-rata 12 persen secara teoretis berarti penurunan tarif listrik 3 persen saja. Untuk industri semen penurunan harga BBM dan harga listrik itu, pada akhirnya, hanyalah berarti kurang dari 2 persen, ceterisparibus. Mungkin penurunan tarif angkutan ada pengaruhnya juga, tetapi tidak akan besar bila dilihat bahwa komponen BBM dalam ongkos angkutan darat berkisar pada 11 sampai 14 persen. Dengan kenaikan-kenaikan harga BBM sejak 1982, komponen BBM dalam ongkos produksi memang lebih tinggi daripada yang dinyatakan Tabel I/O tahun 1980 itu, tetapi tidak jauh lebih tinggi. Di sektor listrik komponen BBM ini tidak lebih dari 35 persen, dan pada industri semen mungkin tidak lebih dari 20 persen. Dengan perkiraan yang lebih tinggi ini pun penurunan harga BBM tanggal 10 Juli 1986 ini mempunyai pengaruh penurunan ongkos produksi semen yang tidak lebih dari 4 persen. Semua perhitungan di atas itu hanyalah menunjukkan akibat pada putaran pertama. Tetapi sukar untuk dibayangkan bahwa pengaruhnya pada putaran-putaran berikutnya akan sangat berarti. Jadi, apa artinya semua itu? Masalah yang pokok adalah yang menyangkut penggunaan Rp 910 milyar itu. Apabila saya ditanya, saya akan cenderung menyarankan agar jumlah itu tetap dikelola pemerintah. Kalaupun ia akan diberikan kepada masyarakat, manfaatnya mungkin tidak besar bila digeser kepada sektor industri. Sebab, hanya penurunan harga BBM sebesar 50 persen mempunyai dampak langsung yang berarti bagi sektor industri, padahal penurunan sebesar itu tidak masuk akal. Alternatifnya adalah bagi pemerintah untuk mendistribusikan Rp 910 milyar itu untuk kegiatan konsumsi masyarakat -- meningkatkan daya beli, yang pada gilirannya dapat menggairahkan sektor produksi. Kini semua terpulang pada dunia usaha. Para pengusaha telah mendapat apa yang diminta, dan karenanya semakin sempitlah tempat bagi pengusaha yang "cengeng".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini