Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ibu yang wajar, keluarga yang wajar

Cerita, skenario,sutradara: teguh karya pemain: tuti indra malaon, alex komang, ria irawan, dst. produser: pt satrya perkasa esthetika film. resensi oleh: salim said. (fl)

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBUNDA Cerita, skenario, sutradara: Teguh Karya Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Ria Irawan, Galeb Husin, Niniek L. Karim Produser: PT Satrya Perkasa Esthetika Film. PT Suptan Film INI kisah sebuah keluarga sederhana. Ibu Rahim (Tuti Indra Malaon) adalah janda dengan beberapa anak. Tiga sudah kawin, dua masih ikut ibu. Dan ibu serta dua anak ini, yang tinggal di rumah bersahaja di sebuah gang di Jakarta hidup dari bantuan sang menantu, Mas Gatot (Galeb Husin), suami Farida (Niniek L. Karim), anak tertua. Para penonton berkenalan dengan keluarga Ibu Rahim lewat dua masalah yang menjalin cerita. Masalah pertama muncul dari tingkah laku Zulfikar (Alex Komang), anak ketiga yang jadi bintang film. Zulfikar, berkeluarga dengan satu anak, menimbulkan soal karena menjadi piaraan seorang perempuan setengah baya yang tampaknya berada di belakang sukses bintang layar putih ini. Masalah lain ialah terjalinnya cinta Fitri (Ria Irawan) anak bungsu, dengan pemuda simpatik dan terpelajar asal Irian Jaya. Di akhir cerita, kedua persoalan terselesaikan dengan baik ketika seluruh keluarga berkumpul dan makan pagi bersama di rumah sang ibu. Bagi mereka yang mengamati film-film Teguh Karya, satu hal yang dengan segera mengesankan dari Ibunda ialah gambaran manis tentang keluarga. Pada sebagian besar karya Teguh, keluarga selalu tampil dengan konotasi buruk. Keluarga adalah bencana. Tapi jika film ini menarik, tentulah bukan karena sikap Teguh yang baru itu. Melainkan, karena cara menyampaikan kisahnya. Sebuah film Indonesia bagus karena ia berbeda dari kebanyakan film Indonesia lain. Paling tidak, itu kriteria termudah dan itu pula yang terasa pada Ibunda. Berlainan dari kebanyakan film kita yang ceritanya bombastis dan dialognya melambung-lambung, Ibunda tampil dengan cerita sederhana, bahkan datar -- seperti hidup sehari-hari yang kita kenal -- dengan dialog yang wajar, pas, tanpa tanda seru yang meminta perhatian. Juga, berbeda dengan kebanyakan film Indonesia yang menjejalkan pesannya lewat cerita -- yang sesungguhnya masih dalam tingkat gagasan -- serta dialog yang hanya mungkin ditemukan dalam sandiwara propaganda, Ibunda mencapai bentuk bercerita yang subtil. Ibu Rahim dan anak-anaknya menghadapi soal Zulfikar yang jadi piaraan dan soal Fitri yang menghilang lantaran hubungannya dengan si pemuda Irian dibendung keluarga. Tapi keluarga itu menangani soal dengan cara wajar, sebagaimana mestinya reaksi suatu kalangan menengah bawah dengan latar belakang priayi. Istri Zulfikar (Ayu Azhari) malah menyembunyikan kepada mertuanya kenyataan bahwa suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah. Tidak ada tangis, apalagi dialog meratap yang kita kenal menjadi ciri khas film nasional itu. Bahkan sang istri merasa malu oleh ulah suaminya. Dan istri yang malang ini masih pula sempat "bersekongkol" dengan ipar-iparnya untuk menyembunyikan Fitri, ketika yang terakhir itu menyatakan protesnya terhadap sikap sebagian anggota keluarga mengenai hubungannya dengan si pemuda Irian. Penolakan terhadap pemuda Irian itu sendiri akhirnya teratasi bukan karena khotbah tentang perlunya integrasi nasional atau tentang harga manusia yang sama di mata Allah. Sang ibu hanya menjelaskan, keluarganya juga blasteran, dan karena itu tidak ada alasan untuk tidak menerima orang lain. Bagi sebagian anggota yang lain dari keluarga itu, soalnya sebenarnya juga tidak begitu serius -- sebab, seperti layaknya anggapan anak muda sekarang, baik Irian, Jawa, maupun Timor, itu urusan masing-masinglah. Yang barangkali masih mungkin diperbaiki ialah proses lepasnya Zulfikar dari sang tante. Tapi lembaga "tante girang" ini dari semula memang sebuah tanda tanya. Memang ada? Atau sekadar lanjutan cerita-cerita tahun enam puluhan, yang tumbuh banyak novel murahan? Ada kesan, dalam Ibunda "tante girang" diciptakan Teguh hanya sebagai cantolan bagi masalah yang timbul dari Zulfikar -- termasuk, dengan menjadikan pemuda ini piaraan seorang tante yang dekat dengan para produser film, langkah kakinya untuk menjadi bintang film. Dan terbukalah kesempatan bagi Teguh Karya untuk menampilkan adegan film dalam film, yang mengingatkan kita pada The French Lieutenant Woman. Sayang, Teguh tidak setrampil Harold Pinter, penulis skenario film asing itu: adegan film pada Ibunda hanya terasa dilekatkan untuk mendapatkan efek. Penonton tampaknya dibujuk untuk menerima bahwa, pada gilirannya lewat peranannya dalam film pulalah, antara lain Zulfikar akhirnya sadar untuk kembali kepada istri dan anaknya. Tapi lantaran jatuhnya Zulfikar ke sang tante tidak digambarkan dengan meyakinkan, tobatnya pun tidak berhasil membujuk penonton untuk yakin. Semua itu sambil tak mengingkari bahwa adegan film dalam film adalah tontonan tersendiri yang memikat -- kalau kita suka menyaksikan dua tontonan lewat sebuah film. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan penyutradaraan yang teliti telah menemukan bentuknya lewat para pemain yang tampil hampir sempurna. Dan Teguh Karya -- orang teater -- memang tertuntut menampilkan pemain dengan persiapan rapi. Tidak semua pemeran Ibunda punya latar belakang teater, yang berarti akting. Tapi penanganan Teguh atas cerita dan dialog yang baik membuka kemungkinan permainan yang mengesankan. Tuti Indra Malaon, seperti biasanya bermain bagus: sosok dan watak Ibu Rahim serta riwayat panjang keluarga itu muncul anggun lewat aktris ini. Kecuali Alex Komang, rata-rata pemain memang membawakan peranan dengan baik. Tapi yang rasanya menonjol adalah Niniek L. Karim. Kemampuannya dalam memerankan tokoh anak tertua dan tersukses, yang memegang fungsi penghubung dalam keluarga, itulah terutama, saya kira, yang membuat cerita mengalir, utuh, dan hidup. Film dengan cerita keluarga yang bagai musik dengan nada rendah selalu bisa terjatuh dalam suatu monotoni. Kemampuan sinematografis Teguh berhasil mengatasi hal demikian. Ada irama yang terjaga rapi. Dan, berbeda dengan pada film-filmnya terdahulu media untuk menyatakan irama itu kini telah merupakan bagian integral, bukan lagi tempelan. Kecenderungan artistri Teguh (ia mulanya seorang art director) kini telah menemukan bentuknya yang tepat dalam sebuah konfigurasi berbagai aspek kebolehan yang diperolehnya sejak mulai membikin Wajah Seorang Laki-Laki -- yang secara bersama menjadikan film ini tontonan memikat. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut Ibunda karya terbaik Teguh hingga saat ini. Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus