MOMOK yang menghantui dunia usaha, setidaknya paling mudah ditunjuk, adalah apa yang disebut "biaya tinggi". Lha, di situ pengadaan energi yang dianggap mahal, yang tampaknya untuk sementara boleh dikutak-katik. Suatu hal yang, menurut sebagian pengusaha, hanya boleh diimpikan, kendati bahan mentahnya merosot sudah di bawah garis anggaran. Tapi, sekali-sekali mimpi 'kan boleh menjadi kenyataan? Sebab, iri juga, sih, menengok harga berbagai minyak di pompapompa jiran seperti berlomba turun tangga. Di Singapura, misalnya. Sejak pertengahan Maret lalu, perusahaan-perusahaan pengilangan minyak seperti Shell, Mobil Oil, dan Caltex sudah menurunkan harga berbagai BBM. Bahkan sejak harga minyak mentah merosot hebat, tarif listrik dan gas di Singapura, yang dikelola Public Utilities Board, sudah sempat tiga kali diturunkan. PUB, November 1985, menurunkan tarif listrik 5% kemudian 4% pada Februari 1986 dan 4% lagi sejak 1 Mei 1986. Apa yang dilakukan Singapura tentu saja, tidak bisa ditiru begitu saja. Namun, apa yang terjadi di sana, ataupun di Korea, mau tak mau harus diikuti bila ingin tetap menggalakkan ekspor serta menghemat devisa. Sejauh ini tarif listrik untuk industri di Singapura memang masih lebih mahal dari tarif di Indonesia. Tapi, bila bulan depan tarif di sana turun lagi, bukan tak mungkin hasil-hasil industri Indonesia, seperti tekstil, akan semakin sulit bersaing dengan produk Singapura. Dalam hal tarif angkutan laut dan udara saja, Singapura sudah lebih bersaing, antara lain karena BBM di sana relatif lebih murah. Beberapa pesawat perusahaan Garuda, yang biasa terbang ke luar negeri dan mampir di Singapura, diam-diam senang menyedot BBM di sana. Ditinjau dari Garuda tentu saja lebih ekonomis, karena harga avtur dan avigas di sana lebih murah dibandingkan harga Pertamina (lihat Turun ? Bisa Babak Belur). Demikian pula kapal-kapal pelayaran samudra atau kapal pelayaran Nusantara yang kebetulan bisa bunker di sana. Bahkan perusahaan pelayaran domestik, Pelni, dan perusahaan penerbangan seperti Bouraq sudah terang-terangan mau membeli BBM di Singapura bila diberi kesempatan. Tentu saja sejumlah hitungan dolar lagi tumpah ke sana. Padahal, investasi yang cukup besar telah ditanamkan untuk memperluas serta membangun kilang minyak di Cilacap, Balikpapan, dan Dumai, agar Indonesia tak perlu lagi mengilang dan mengimpor BBM di luar negeri. Gejala itu, sehat atau tidak sehat, bisa diperdebatkan. Tapi itu, rupanya, menggerakkan pemerintah untuk segera melakukan penyesuaian. Pekan lalu, harga lima jenis BBM yang sangat diperlukan perusahaan angkutan serta industri diturunkan. Dampaknya masih coba dihitung. Tapi, yang jelas, harga solar, yang kini resminya Rp 200, prakteknya bisa mencapai Rp 220 per liter untuk bisa masuk ke perut kapal. Sebab biasanya masih harus ditambah biaya pipa, jasa tongkang, dan lain-lain. Sedangkan di Singapura, menurut Dirut PT Bahari Pelayaran Nusantara Syamsudin Martowijoyo solar bisa diperoleh hanya dengan Rp 174 per kg atau Rp 156 per liter. Tarif bahan bakar pesawat udara, yang kini resmi Rp 250 per liter, jelas masih di atas harga avtur dan avigas di Singapura yang konon, pekan lalu, sudah turun sekitar Rp 190 per liter. Maklum, pabrik-pabrik pengilangan minyak swasta di Singapura bisa cepat menyesuaikan harga hasil produksi dengan harga minyak di pasar bebas. Kesimpulannya, penurunan harga solar Pertamina dinilai cukup melegakan usaha perkapalan, tapi juga kurang memuaskan. PT Hasta Mitra Baruna, misalnya, yang biasa mengoperasikan satu kapal ferry dua kali sehari di Selat Sunda, penurunan harga solar Rp 240 menjadi Rp 200 per liter itu membuat perusahaan itu bisa berhemat Rp 120.000 per hari atau sekitar Rp 36 juta per tahun. Sedangkan untuk kapal seperti Kerinci milik Pelni, yang biasa melayari Jakarta-Padang 25 kali setahun, bisa berhemat Rp 50 juta per tahun. "Dalam keadaan sekarang, jumlah itu cukup lumayan," kata Sudharno Mustafa, Direktur Utama Pelni, yang mengoperasikan empat kapal penumpang dan 36 kapal barang. Tapi, di balik itu, ada juga tanda tanya. Bila hal itu akan segera disusul dengan ketentuan penurunan tarif tambangan -- dan itu yang diharapkan masyarakat dari turunnya harga BBM -- apa lagi yang akan tersisa bagi sebagai keuntungan ? Rata-rata perusahaan pelayaran yang dihubungi TEMPO mengungkapkan bahwa penurunan harga solar dan diesel tersebut, ternyata, hanya sekadar memberi kesempatan berhemat sekitar 2% dari seluruh biaya. Bila perusahaan pelayaran dipaksa menurunkan tarif lebih dari itu, tentu, akan semakin menghancurkan mereka. Okelah, kalau turun 2% ? Jawabnya beragam: dampaknya tak ada artinya untuk pengiriman barang antarpulau. Pengusaha yang membawa mobil ke Lampung, misalnya, hanya akan mengalami penurunan tarif penyeberangan di Selat Sunda Rp 200 dari Rp 20.000. Kalangan perusahaan pelayaran, dewasa ini, justru masih mengharapkan bantuan pemerintah lebih besar lagi, misalnya di bidang pajak atau bunga bank. "Bila pajak perseroan yang berlaku 15%-35%, serta bunga pinjaman yang berkisar 18%-24% ditekan, tentu ongkos angkutan laut lebih bisa ditekan," ujar Syamsudin, yang menjabat Ketua Unsur Nusantara INSA. Dampak penurunan harga bagi perusahaan penerbangan dalam negeri, seperti pada Merpati Nusantara (MNA) yang setahun mengeluarkan biaya avtur dan avigas berkisar 25% dari seluruh biaya yang Rp 60 milyar per tahun, diperhitungkan akan terhemat sekitar Rp 3,6 milyar. "Itu tentu bila tarif penerbangan tidak diubah," ujar Direktur Utama MNA Soeratman. Ia yakin bahwa pemerintah menurunkan harga BBM bukan hanya untuk dinikmati perusahaan jasa angkutan. Hal ini pun disadari direksi maskapai penerbangan swasta Bouraq. "Kalau pemerintah menginginkan kami menurunkan tarif tiket 2,5%-5%, okelah. Di atas itu, berat," ujar Dirut Bouraq, J.A. Sumendap. Wakilnya, G.B. Rungkat, menambahkan bahwa BBM sebenarnya bukanlah masalah besar yang kini dihadapi Bouraq. Perusahaan yang memiliki 16 pesawat Hawker Siddeley, 4 Vicker Viscount, 3 Casa, dan I Dakota itu, dalam tiga tahun terakhir terus merugi terutama dirongrong biaya pemeliharaan yang dikenai pajak. "Mesin-mesin pesawat, yang setiap periode harus overhaul di luar negeri, kena PPN 10% dan PPn 2,5%. Itu yang berat dan mahal, yang seharusnya diturunkan," ujar Rungkat. Sambutan dari kalangan perusahaan angkutan darat nadanya kurang lebih sama juga dengan lagu di kalangan perusahaan udara dan laut tadi. Penurunan harga solar tidaklah terlalu berarti bagi biaya operasional perusahaan bis. Banyak pengorbanan yang selama ini sebenarnya sudah tak tertahankan. Demi persaingan yang semakin menggebu, mereka berlomba-lomba senantiasa menyuguhkan bis yang baru, lagi mewah penampilannya. Berarti investasi jalan terus, pajak tinggi, belum lagi biaya pemeliharaan. Hal itu antara lain dituturkan Mariun, pemilik PO Kramatjati, dengan armada 95 bis di Jawa Barat. "Mobil usia 10 tahun ke atas tak bisa dioperasikan lagi ke luar kota -- paling disewakan sebagai angkutan karyawan," kata Mariun. Turunnya harga solar Rp 40 per liter dilihat sedikit membantu perusahaan-perusahaan bis yang beroperasi di rute Jakarta-Bandung. Tapi, "Sekarang kami harus lewat Sukabumi, tidak boleh lewat Puncak. 'Kan lebih panjang?" tutur Mariun. "Dewasa ini, banyak suku cadang mobil buatan lokal jelek, sehingga sedikit-sedikit harus diganti," ujar Hendro, Direktur PT Pahala Kencana di Kudus, yang mengoperasikan 29 bis malam. Kewajiban industri ban memakai kain ban lokal, ternyata, telah menaikkan pula harga ban mobil dari Rp 107.000 menjadi Rp 137.000. Kendati harga-harga suku cadang telah naik, Pahala Kencana mengaku belum pernah menaikkan tarif bis dalam tiga tahun terakhir. Artinya dengan turunnya harga solar, dari dia tak pantas diharapkan memotong harga karcis. Hartoyo, pemilik angkutan bis terbesar di Jawa Timur, PO Akas, menuturkan bahwa penurunan harga solar terasa juga manfaatnya. Rata-rata 500 bis armada Akas masingmasing menyedot 160 liter per hari. Turunnya harga solar berarti perusahaannya bisa mengirit lebih dari Rp 1,8 juta per hari. "Lumayan bisa meremajakan kembali armada," ujar Hartoyo, yang pekan lalu menambah 12 unit bis Mercy dan 20 unit Hino tanpa menyebut-nyebut harga karcis yang dijualnya kepada penumpang. Kendati kalangan pengusaha angkutan darat, laut, dan udara merasa belum saatnya pemerintah meninjau kembali tarif angkutan, tidak berarti penurunan harga BBM hanya untuk dinikmati mereka sendiri. "Tarif-tarif jasa angkutan juga harus diturunkan. Tapi berapa besarnya, masih dihitung," ujar Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin. Sebuah sumber di Departemen Perhubungan mengungkapkan bahwa selama ini harga BBM sangat menentukan naiknya tarif angkutan. Tarif baru masih digodok dan, konon, harus dilaporkan kepada Presiden dulu baru diumumkan. Namun, sumber TEMPO di Departemen Perhubungan memperkirakan, perubahan tarif itu akan berkisar seperempat dari perubahan harga BBM -- cuma sebegitu, jangan kecewa. Tarif listrik pun biasanya selama ini mengikuti perubahan harga BBM, karena sebagian besar pembangkit tenaga listrik masih memakai bahan bakar solar. Sejak tahun lalu, beberapa sumber pembangkit tenaga listrik mcmang telah diganti dengan bahan bakar lebih murah. Medan (PLN Wilayah II), misalnya, sudah memakai listrik yang dibangkltkan dengan tenaga uap dan gas. Waktu peresmian proyek di Belawan dan Paya Pasir, tahun silam, TEMPO mendapatkan informasi bahwa biaya produksi listrik di sana hanya Rp 46 per kwh. Dengan demikian, PLN di sana masih bisa untung, karena harga pemasaran untuk rumah tangga Rp 70,50 dan untuk industri Rp 60,50. Hanya untuk lembaga sosial dengan tarif Rp 43,50 per kwh diberi subsidi. PLN di sekitar Waduk Jatiluhur pun bisa mendapatkan listrik murah seharga RP 12 per kwh untuk dipasarkan dengan harga RP 43,50-RP70,50 per kwh. Namun, menurut juru bicara PLN di kantor pusat, dewasa ini masih lebih dari 70% listrik dibangkitkan dengan memakai solar dan diesel. Konon biaya produksi listrik dengan BBM butuh biaya RPIII per kwh. Setelah biaya pembangkit listrik dengan BBM dikawinkan dengan biaya-biaya untuk menghasilkan listrik yang memakai tenaga uap dan air, konon, biaya produksi listrik rata-rata di seluruh Indonesia adalah RP 100 per kwh. Berarti tarif yang berlaku di seluruh Indonesia (Rp 43,50-Rp 70,50 per kwh) sejak 1984 masih disubsidi pemerintah -- tak jelas berapa besarnya. Kendati demikian, sangat masuk akal tarif listrik diturunkan, karena selama ini tarif biasanya naik mengikuti kenaikan harga BBM. Terakhir, 1984, tarif listrik dinaikkan 24,2% - 42,3% (sesuai dengan golongan: rumah sederhana sampai untuk industri) setelah harga solar dan diesel dinaikkan masing-masing 51% dan 60%. Sampai Senin lalu, menurut juru bicara PLN Pusat, Lumbantoruan, tarif baru belum selesai dihitung. Bila tarif listrik benar akan diturunkan maka subsidi pemerintah akan naik juga. Tampaknya, sih, tidak ada masalah, karena subsidi untuk BBM sebenarnya sudah tak perlu lagi ditanggung pemerintah sejak harga minyak mentah kini jatuk di bawah US$ 20 per barel. Sebenarnya, bila dibandingkan tarif listrik di Singapura, yang berlaku sejak 1 Mei 1986, tarif listrik di sini masih lebih murah. Menurut harian The Straits Times, belum lama ini, tarif listrik di Singapura untuk yang paling murah (industri berat) adalah 12,15 sen dolar Singapura (RP 62,8) per kwh, sedangkan paling mahal (untuk rumah tangga dengan kapasitas 2.000 KVA ke atas) adalah 21,65 sen dolar (Rp 112) per kwh. Langkah penurunan BBM, yang diharapkan segera disusul dengan penurunan tarif angkutan dan listrik, jelas tidak hanya untuk meniru langkah-langkah Singapura atau negara lain. Kebijaksanaan 10 Juli lalu, diakui Menteri Subroto, untuk menanggapi permintaan kalangan pengusaha. Tapi, hitung-hitung, kok dilihat pengaruhnya hanya akan kecil. Memang. "Soal ekonomi biaya tinggi bukan karena faktor BBM saja. Efisiensi di bidang lain juga harus dilaksanakan, misalnya dalam sistem kerjanya," ujar Subroto, tertawa. Max Wangkar, Laporan Biro-Biro Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya & Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini