MEMBUAT film sejak 1971, merebut sejumlah Piala Citra untuk film-filmnya dan empat Citra untuk aspek penyutradaraan, Teguh Karya, 49, jelas merupakan orang film Indonesia terkemuka dewasa ini. Ibunda, karyanya terbaru, adalah satu dari beberapa film terbaik yang pernah dibikin di negeri ini. Tapi Teguh menjadi terkemuka bukan cuma karena membikin film bagus ia juga menghasilkan orang-orang film yang berwawasan. Dari tangannya, lahir bukan saja pemain baik seperti Slamet Rahardjo (yang sekarang juga sudah sutradara), Christine Hakim, Tuti Indra Malaon, dan Alex Komang serta sejumlah yang lain, tapi juga para karyawan film berbagai bidang. Ini karena Teguh memasuki dunia film, dan bertahan dalam dunia itu, dengan satu kelompok yang dimotorinya. Kelompok itu dikenal sebagai Teater Populer, yang mula-mula sebuah grup sandiwara yang didirikannya di Hotel Indonesia pada awal tahun 1960-an. Arti sebuah kelompok dalam pembuatan film hanya bisa dimengerti jika disadari bahwa sebuah film adalah hasil suatu kerja sama. Semua sutradara Indonesia tahu hal itu, tapi cuma Teguh yang sengaja membina kelompok untuk membuat film -- yang mengakibatkan terbukanya kemungkinan membuat film sebagai yang diinginkan warga kelompok itu. Maka, berlainan dengan pada kebanyakan sutradara Indonesia, yang diperlukan Teguh (dan teman-temannya, seperti Slamet Rahardjo) jika akan membuat film hanya seorang yang punya modal, dan barangkali beberapa tambahan pemain. Sisanya, mereka semua punya. Sebuah kelompok kesenian adalah sebuah sekolah, dan dengan itu mereka menjawab tantangan dunia yang mereka gauli. Dan Teguh adalah guru yang baik. Kelompoknya menghasilkan film-film pilihan dan orang-orang film yang terampil. Para produser ternyata bukan tidak melihat ini. Karena itulah tahun ini Teguh dan kelompoknya mendapat tantangan untuk membuat lima film sekaligus. Berharga masing-masing Rp 200 juta (kecuali Ibunda, Rp 250 juta), kelima film itu dipesan oleh Asosiasi Importir Film Eropa Amerika dan Asosiasi Film Mandarin kepada Teater Populer, dengan rencana pembuatan dimulai pada Oktober 1985 dan start pengerjaan pada Februari tahun ini. Tidak punya orang yang cukup, Teguh merekrut anak-anak muda dari luar grup, dan itu tidak terlalu sukar. Pertama, sudah ada pola kerja kelompok kedua, di luar memang ada bakat-bakat yang bisa diarahkan. Ketiga, seperti dikatakannya sendiri, ia "selalu siap memberikan yang saat ini saya memiliki." Teguh memiliki konsep, pengalaman, metode kerja, dan kepercayaan produser. Modal itulah yang memungkinkan empat sutradara muda membuat film di bawah bimbingannya. Tiga dari empat orang itu adalah alumni Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. "Memang penting film dimulai dari keterampilan sinematografis," Teguh berkata, "meskipun itu bukan segalanya, karena harus ditambah visi". Baguskah film-film buatan anak-anak muda itu? Mungkin pertanyaan yang terlalu pagi. Mereka itu baru saja bersentuhan dengan Teater Populer, dan tentulah tidak pada tempatnya mengharapkan lahirnya sutradara yang baik dalam waktu hanya beberapa bulan. Tapi bagi mereka yang menonton empat film produksi mereka, bekas tangan Teguh niscaya kelihatan juga. Harus diakui, keempat film -- Pacar Pertama, Cinta yang Terjual, Telaga Air Mata, dan Beri Aku Waktu adalah karya-karya yang secara visual bagus, tapi secara keseluruhan rata-rata sama saja dengan film-film Indonesia lain. Tampaknya campur tangan Teguh baru pada bidang art directing, kerja kamera, dan editing. Penggarapan pemain dan penyiapan skenario masih belum sempat dijangkau. "Saya tidak mau menjadi pengganggu visi orang yang bekerja di sebelah saya," Teguh mengaku. "Saya tidak membuat saran, tetapi kritik." Misalnya soal set. Tolong set dilengkapi suasana jangan seolah-olah lingkungan hanya terdiri dari dua orang -- demikian catatan Teguh. Misalnya lagi, penggunaan warna. Atau Teguh menemani mereka dalam bidang yang memang belum diketahui si sutradara. Atau kritik waktu mengedit rush copy. Atau waktu dubbing. Bagi Teguh, film yang tidak sekadar memuaskan penonton sudah merupakan keharusan di tahun-tahun ini. Adakah ia merasa berhasil? "Mereka punya kadar berbeda-beda," katanya. "Ada yang sangat mendekati cita-rasa umum, ada yang mendekati citakarya sinematografi." Pengambilan adegan dilakukan di berbagai tempat. Untuk Cinta yang Terjual 40% di Kudus, Jawa Tengah, Telaga Air Mata 20% di Surabaya, Pacar Pertama 15% di Tawangmangu, Ja-Teng sisanya di Jakarta. Dengan itu, film yang empat ini muncul dengan cerita menarik serta episode-episode yang kadang mengingatkan kita pada adegan film-film Prancis tahun enam puluhan. Tap tetap saja kurang enak ditonton. Selain dialog-dialog yang bombastis, karakterisasi pemain banyak kali tidak terjaga. Yang terakhir ini memang baru bisa dicapai jika dperoleh skenario yang baik, seperti yang dibuktikan Teguh lewat Ibunda. S.S, Laporan Bunga S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini