Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR finansial di seluruh dunia kian terombang-ambing menghadapi dampak wabah Covid-19. Sebentar muncul optimisme karena kabar wabah sudah mereda. Tak lama kemudian, sentimen pasar kembali terpuruk ke pesimisme lantaran muncul berita wabah justru kian parah. Karakter virus corona yang masih memusingkan ahli virus juga ikut mengacaukan sentimen pasar.
Proyeksi ekonomi pun makin muram. S&P Global Ratings menghitung pertumbuhan ekonomi Cina akan anjlok menjadi 4,4 persen pada 2020 jika wabah tidak mereda hingga April nanti. Ini penurunan yang sangat tajam ketimbang pertumbuhan 6,1 persen pada 2019. Dalam skenario terburuk S&P, pelemahan ekonomi yang begitu drastis itu dapat memicu longsoran kredit macet sedahsyat ambruknya Chomolungma—sebutan Gunung Everest yang berarti Tuhan Ibu—senilai Rmb 10 triliun. Angka itu setara dengan Rp 19.641 triliun, hampir dua kali lipat produk domestik bruto Indonesia per tahun.
Begitulah gambaran dahsyatnya skala persoalan yang akan membelit perekonomian global. Ekonomi Cina yang merosot sudah pasti membawa efek berantai yang panjang. Sekarang saja banyak pedagang ataupun industri di seluruh dunia yang sudah menjerit kekeringan pasokan dan bahan baku. Tak terbayangkan betapa tersendatnya ekonomi sedunia tanpa produk-produk manufaktur dari Cina jika Covid-19 tak segera teratasi. Indonesia tak luput dari risiko itu.
Ekonomi Indonesia juga sangat rentan terpapar risiko merosotnya volume perdagangan dan harga komoditas. Ini rentetan tak terelakkan. Jika Cina sebagai pabrik utama dunia melemah, sudah pasti permintaan akan berbagai komoditas, dari minyak sawit, batu bara, sampai segala macam mineral, akan menurun pula. Itulah komoditas utama ekspor Indonesia yang selama ini menjadi sumber devisa negara.
Pelemahan itu bahkan sudah mulai terasa sejak Januari 2020, sebelum wabah memuncak. Neraca perdagangan Indonesia bulan itu defisit lagi senilai US$ 864,2 juta. Menurut Badan Pusat Statistik, defisit ini muncul antara lain karena merosotnya nilai ekspor minyak hewani dan nabati, yang komponen utamanya adalah minyak sawit, sebesar 34 persen ketimbang Desember 2019. Ekspor hasil tambang juga merosot 19,15 persen pada periode yang sama. Jika dampak wabah Covid-19 makin menekan ekonomi dunia, sejak Februari ini dan entah hingga berapa bulan ke depan, kinerja ekspor komoditas utama Indonesia bakal makin melorot.
Dus, pukulan berat ekonomi Indonesia bisa datang dari banyak arah: tersendatnya manufaktur yang bergantung pada banyak bahan baku dari Cina serta ekspor komoditas yang merosot. Belum lagi dampak menurunnya jumlah turis asal Cina yang kini langsung menjadi nyaris nol. Untuk mencegah meluasnya wabah ke negeri ini, pemerintah sudah mewajibkan semua orang yang pernah ke Cina dalam 14 hari terakhir untuk masuk karantina sampai hasil tes infeksi Covid-19 terbukti negatif. Bali, yang dalam beberapa tahun belakangan menikmati banjir turis asal Cina, kini tampak sepi.
Sebetulnya, ini sudah bisa kita bilang sebagai krisis mini yang membutuhkan penanganan segera. Sayangnya, pemerintah masih berkutat pada soal lain: Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Kalau toh omnibus law ini berhasil lolos dari parlemen, masih akan ada jeda waktu cukup lama sebelum ekonomi Indonesia dapat menikmati efek positifnya. Investasi bukanlah keputusan semalam yang langsung dibuat begitu aturan baru ini kelak lolos. Lagi pula, itu baru undang-undangnya. Sedangkan Indonesia sudah terkenal akan inkonsistensi antara undang-undang dan berbagai aturan pelaksanaannya. Tak ada jaminan semuanya akan berjalan sinkron dengan segera.
Jadi, sementara birokrat, politikus, Dewan Perwakilan Rakyat, aktivis lembaga swadaya masyarakat, serikat buruh, pengusaha, “serdadu bayaran” ataupun yang gratisan di media sosial, sampai aparat keamanan dan intelijen sibuk bergelut riuh-rendah mempertentangkan pro-kontra RUU omnibus, roda ekonomi sedunia sebetulnya sudah menggelinding tersendat-sendat karena wabah. Pemerintah di berbagai negara memberikan berbagai insentif untuk mengatasi kondisi yang tergolong emergensi ini. Indonesia masih lebih suka sibuk membuat aturan baru yang sungguh ambisius. Ah, satu lagi, masih bermimpi pula membangun ibu kota negara baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo