Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kebijakan proteksionisme Donald Trump dapat memicu kembali perang dagang dengan Cina. Indonesia pun bisa kena getahnya.
Penerapan tarif 20 persen bagi produk yang masuk ke Negeri Abang Sam juga berisiko terjadi pada barang-barang dari Indonesia.
Selain soal tarif bea masuk 20 persen, proteksionisme yang diterapkan Trump bisa membuat Indonesia kehilangan fasilitas sistem tarif preferensial umum atau generalized system of preferences dari Amerika Serikat.
BERDIRI di hadapan para pendukungnya di West Beach Palm Convention Center, Florida, Amerika Serikat, Rabu, 6 November 2024, Donald Trump berpidato selama sekitar 25 menit. Ia mendeklarasikan kemenangan dalam pemilihan umum Amerika melawan kandidat dari Partai Demokrat, Kamala Harris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski belum resmi menjadi Presiden AS, hasil hitung cepat menunjukkan Trump memperoleh 295 suara elektoral (electoral vote) dan 72.572.358 suara populer. Trump mengungguli Harris yang mendapat 226 suara elektoral dan 67.848.491 suara populer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidato kemenangannya, Trump berseloroh akan kembali membawa Amerika bangkit. Ia mengklaim telah membawa keberhasilan saat memimpin negara itu empat tahun lalu. “Kita akan mulai dengan menempatkan Amerika sebagai prioritas utama (America First),” kata Trump, seperti dipantau dari siaran langsung Associated Press.
Slogan America First muncul pada periode pertama pemerintahan Trump, 2016-2020. Di bidang ekonomi, slogan ini diejawantahkan dalam bentuk pengenaan tarif yang tinggi terhadap produk-produk impor dari berbagai negara, terutama Cina. Kebijakan ini bertujuan memperbaiki neraca perdagangan Amerika yang selalu defisit. Buntut kebijakan ini adalah Cina kehilangan sebagian besar pangsa pasarnya di AS.
Cina yang tengah mengalami oversupply kemudian menyasar negara-negara lain untuk menjual rugi produknya dengan harga murah. Indonesia salah satunya. Banjir produk impor dari Negeri Tirai Bambu belakangan digadang-gadang menjadi penyebab industri manufaktur dalam negeri terpuruk.
Terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dikhawatirkan akan kembali mencuatkan kebijakan proteksionis itu. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kebijakan proteksionisme Trump dapat memicu kembali perang dagang yang berdampak meningkatkan biaya ekspor berbagai negara ke Amerika. Jika produknya terhambat masuk ke pasar AS, produsen Cina akan mengalihkan ekspor mereka ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. “Ini dapat meningkatkan persaingan di pasar domestik,” kata Shinta, kemarin, 8 November 2024.
Saat berkampanye pada Februari 2024, Trump berjanji meningkatkan tarif bea masuk hingga 60 persen untuk produk asal Cina. Bahkan tarifnya bisa lebih tinggi dari itu. Selain itu, Trump berencana menerapkan bea masuk 20 persen untuk produk impor dari negara-negara lain. Alasannya: melindungi produk Amerika.
Penerapan tarif 20 persen untuk produk yang masuk ke Negeri Abang Sam juga berisiko terjadi pada barang-barang dari Indonesia. “Kebijakan seperti ini menandakan bahwa akses produk dalam negeri ke AS dapat terhambat, sehingga Indonesia perlu memprioritaskan strategi peningkatan daya saing untuk tetap kompetitif," ujar Shinta.
Selama ini Amerika merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia. Tahun lalu, ekspor ke Amerika mencapai 9,57 persen dari total ekspor Indonesia. Amerika hanya kalah oleh Cina yang memiliki porsi 25,66 persen. Total nilai ekspor Indonesia ke Amerika mencapai US$ 23,2 miliar. Ekspor Indonesia ke Amerika lebih tinggi ketimbang impor yang berada di level US$ 11,3 miliar. Walhasil, Indonesia mengalami surplus perdagangan US$ 11,9 miliar dengan Amerika.
Bea masuk 20 persen terhadap produk Indonesia dikhawatirkan membuat ekspor dari Tanah Air anjlok. Surplus neraca perdagangan dengan Amerika pun terancam berbalik menjadi defisit.
Aktivitas bongkar-muat peti kemas di New Priok Container Terminal One (NPC1), Kali Baru, Jakarta, September 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Selain soal tarif bea masuk 20 persen, proteksionisme yang diterapkan Trump bisa membuat Indonesia kehilangan fasilitas sistem tarif preferensial umum atau generalized system of preferences (GSP) dari Amerika. Menurut Shinta, risiko Indonesia kehilangan fasilitas GSP dari Amerika tinggi. Pada 2018, Trump pernah mengancam mengenakan tarif bea masuk terhadap 124 produk asal Indonesia yang selama ini memperoleh GSP.
GSP merupakan program perdagangan Amerika guna mendukung negara berkembang dengan membebaskan bea masuk untuk barang tertentu dari negara tersebut. Pada 2020, Indonesia merupakan negara penerima GSP terbesar kedua setelah Thailand. Nilainya mencapai US$ 3,2 miliar, sedangkan Thailand mendapat US$ 3,8 miliar.
Pada 8 Agustus 2024, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan bahwa Indonesia sedang bernegosiasi dengan Amerika untuk memperpanjang fasilitas GSP. Namun belum ada kejelasan dari perkembangan negosiasi tersebut. Direktur Amerika Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Iwan Freddy Hari Susanto serta Direktur Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim belum merespons pesan yang dikirim Tempo ke nomor telepon selulernya.
Rendahnya komitmen Trump terhadap penanganan krisis iklim juga diprediksi mempengaruhi perdagangan Indonesia. Di periode pertama pemerintahannya, Trump pernah mengumumkan penarikan AS dari Kesepakatan Paris tentang Perubahan Iklim pada Juni 2017. Kesepakatan Paris merupakan traktat internasional yang ditandatangani pada 2015 untuk menahan laju peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2 derajat Celsius. Trump juga diprediksi mencabut Inflation Reduction Act yang diteken Joe Biden pada 2022. IRA merupakan undang-undang yang bertujuan mengurangi inflasi domestik akibat krisis energi global.
Sikap mundur Amerika dalam agenda transisi energi terbarukan berisiko menghilangkan pasar potensial Indonesia. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia selama ini mengekspor produk olahan nikel untuk dirakit menjadi baterai kendaraan listrik ke Cina. Dengan kembalinya Trump ke Gedung Putih, pasar nikel, bauksit, dan tembaga Indonesia akan berubah. Pasar ekspor minyak sawit mentah (CPO) juga akan berubah jika AS tak melanjutkan kebijakan memproduksi biodiesel sebagai energi terbarukan.
Menurut Bhima, kondisi ini dapat mengacaukan agenda penghiliran yang digeber pemerintahan Prabowo Subianto. “Padahal banyak sekali produk asal Indonesia yang diharapkan bisa mengisi agenda transisi energi di AS,” ucapnya.
Kapal pengangkut peti kemas melakukan bongkar-muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, April 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Implikasi kebijakan proteksionis Trump dapat dilihat dari neraca perdagangan Indonesia-Amerika. Selama lima tahun terakhir, Indonesia selalu surplus terhadap AS. Lonjakan ekspor yang cukup signifikan terjadi setelah Biden memegang tampuk kepemimpinan sejak Januari 2021. Ekspor Indonesia yang pada 2020 sebesar US$ 18,62 juta melonjak tajam menjadi US$ 25,79 juta.
Sejak meletus pada 2018, perang dagang Amerika-Cina berdampak beragam terhadap berbagai negara. Namun Indonesia tak berhasil mengambil peluang menggantikan posisi Cina sebagai eksportir ke Negeri Abang Sam. Bhima mengatakan saat itu banyak perusahaan manufaktur serta industri pengolahan, termasuk tambang dari Cina dan AS, mencari mitra dagang baru. “Indonesia enggak dapat sama sekali, justru makin bergantung pada Cina,” ujarnya.
Ada beberapa penyebab negara-negara tetangga justru ketiban untung dari perang dagang. Bhima menjelaskan, angka korupsi yang relatif rendah di negara-negara itu menjadi faktor penentu. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) juga menjadi alasan para investor AS dan Cina enggan berinvestasi di Indonesia. ICOR merupakan rasio yang menunjukkan besarnya tambahan investasi yang diperlukan untuk menambah satu unit output. Makin kecil angka ICOR, biaya investasi untuk menghasilkan output tertentu akan makin efisien.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2022, ICOR Indonesia berada di level 6,25 persen. Angka ini lebih tinggi dari Malaysia yang sebesar 4,5 persen, Thailand 4,4 persen, Vietnam 4,6 persen, dan Filipina 3,7 persen.
Bhima menambahkan, faktor keterampilan tenaga kerja dan kedekatan geografis juga menjadi alasan negara-negara seperti Vietnam kecipratan berkah dari perang dagang. Sedangkan Malaysia, menurut dia, menuai untung karena kebijakan insentif pemerintahannya tepat sasaran. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pemberian insentif smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk komoditas nikel di Indonesia yang justru berfokus pada produk stainless steel. Padahal nikel bisa menjadi bahan baku penting untuk membuat baterai kendaraan listrik.
Agar mampu menembus pasar Amerika dan selamat dari perang dagang, Indonesia dinilai harus memperluas pasar ekspornya. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, memprediksi oversupply barang Cina akan makin tak terbendung akibat perang dagang dengan AS setelah Trump kembali naik takhta. Tauhid mengatakan, jika permintaan Cina terbatas, Indonesia harus mencari alternatif pasar ekspor lain. Ia juga menyatakan Indonesia dapat mencontoh langkah Vietnam yang menampung banyak relokasi pabrik dari AS dan Cina. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan iklim investasi yang mendukung bagi para investor dari negara-negara itu.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menambahkan, Indonesia harus mendorong hubungan bilateral yang lebih mendalam dengan AS. Langkah ini diperlukan lantaran karakteristik diplomatik Trump kian menjauhi hubungan multilateral. Dengan hubungan bilateral yang kuat, kata Yose, Indonesia akan mendapat banyak manfaat, termasuk fasilitas GSP. “Ada kemungkinan juga GSP itu akan dicabut kalau kita enggak bisa memberikan kepercayaan kepada administrasi Trump yang baru ini,” ujarnya.
Dalam lawatan ke luar negeri yang dimulai sejak Jumat, 8 November 2024, Presiden Prabowo Subianto diagendakan melanjutkan perjalanan ke Amerika pada 11-12 November setelah menerima undangan dari Presiden Cina Xi Jinping. Prabowo dijadwalkan bertemu dengan Presiden AS Joe Biden. Adapula peluang untuk bertemu dengan Trump.
Sedangkan Menteri Perdagangan Budi Santoso mengklaim siapa pun yang terpilih dalam pemilihan presiden AS tak akan mengganggu kinerja perdagangan Indonesia. Ia mengatakan siap beradaptasi dengan kondisi ekonomi dan politik apa pun. “Kami siap mengekspor ke mana saja,” ucapnya di Cikupa, Tangerang, Banten, Selasa, 5 November 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo