Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Mengapa Food Estate Bukan Jawaban untuk Mencapai Swasembada Pangan

Prabowo melanjutkan food estate di Merauke untuk mencapai swasembada pangan. Mengulangi kesalahan presiden-presiden sebelumnya?

12 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Saat mengunjungi lumbung pangan di Merauke pada 3 November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan program food estate akan menjadi penopang dalam mencapai target swasembada pangan.

  • Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai anggaran besar untuk mencetak sawah baru akan jauh lebih bermanfaat bila digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani secara langsung, terutama petani padi di Pulau Jawa.

  • Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andrea Santosa, mengatakan, selain membutuhkan modal yang besar, proyek pembukaan lahan berskala besar untuk pertanian bakal menimbulkan masalah tenaga kerja.

PRESIDEN Prabowo Subianto mengunjungi proyek lumbung pangan atau food estate di Kampung Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, pada Ahad pagi, 3 November 2024. Dia menyatakan program food estate akan menjadi penopang dalam mencapai target swasembada pangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membeberkan program food estate yang akan dijalankan berupa pencetakan sawah baru. Rencananya, total 3 juta hektare lahan sawah akan dicetak pada 2025-2027. Khusus di Kabupaten Merauke, akan dibuka lahan hingga 1 juta hektare pada 2025. Pada tahap awal, akan dilakukan demonstration plot di Kawasan Sentra Produksi Pangan seluas 20 hektare di Distrik Wanam sebagai model.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Beliau (Prabowo) meminta kami mengakselerasi cetak sawah menjadi upaya mewujudkan swasembada," ujar Amran setelah mendampingi Prabowo di Merauke. Prabowo juga ingin Papua Selatan menjadi pusat lumbung pangan Indonesia.

Menggeber program food estate di Merauke untuk mencapai swasembada beras sebetulnya sudah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tahun ini telah dibuka lahan hutan seluas 1,18 juta hektare untuk mencetak sawah padi. Program tersebut juga dipimpin oleh Prabowo, yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan. Proyek itu bermasalah lantaran belum memenuhi analisis dampak mengenai lingkungan (amdal).

Amran berujar pembukaan lahan di Merauke akan tetap dilanjutkan dengan sistem yang lebih modern. Sebanyak 1.002 alat mesin pertanian telah didistribusikan ke Merauke, yang terdiri atas 65 traktor roda dua, 113 traktor roda empat, 76 rice transplanter, 638 pompa air, 20 combine harvester, dan 90 handsprayer. Ia menyebutkan peralatan tersebut dikelola 214 brigade pangan.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu sebelumnya menyatakan pemerintah sudah menganggarkan Rp 15 triliun untuk program lumbung pangan di bawah Kementerian Pertanian pada 2025. Selain membuka lahan baru, Kementerian Pertanian berencana mengintensifkan lahan seluas 80 ribu hektare tahun depan.

Adapun untuk semua program ketahanan pangan, total anggaran yang disiapkan sebesar Rp 124,4 triliun. Anggaran itu tersebar di Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pekerjaan Umum, serta badan usaha milik negara yang mengelola pupuk.

Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan mengatakan swasembada pangan merupakan prioritas utama pemerintahan Prabowo. "Swasembada pangan tidak boleh ditawar-tawar. Selambat-lambatnya pada 2028 kita harus mencapai swasembada pangan," katanya, Senin, 11 November 2024.

Risiko pemborosan anggaran menjadi sorotan sejumlah ekonom. Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai anggaran besar buat mencetak sawah baru akan jauh lebih bermanfaat bila digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani secara langsung, terutama petani padi di Pulau Jawa.

Petani membajak sawah dengan mesin traktor tanam di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, 3 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Dengan mempertahankan sawah dan pertanian berskala kecil di Jawa, tutur Yusuf, ketahanan pangan nasional akan lebih terjamin. Terlebih apabila dilakukan melalui pengembangan usaha pertanian pangan berbasis keluarga (family farming). Akses penduduk ke pangan segar yang terjangkau juga akan meningkat melalui lumbung pangan lokal. Langkah itu pun dapat menurunkan kesenjangan dan menanggulangi kemiskinan.

Untuk pencetakan sawah di luar Jawa, termasuk Merauke, menurut Yusuf, risiko kegagalannya sangat tinggi. Sebab, kesuburan tanah dan kultur pertaniannya jauh berbeda dengan lahan di Jawa yang subur serta cocok untuk tanaman pangan.

Yusuf menekankan produksi tanaman pangan membutuhkan prasyarat yang jauh lebih ketat dibanding tanaman nonpangan. Lahan yang digarap harus subur dengan iklim yang sesuai, punya ketersediaan sumber air yang memadai, serta kontur tanah yang relatif datar. 

Sedangkan lahan pencetakan sawah baru di luar Jawa umumnya berupa tanah berpasir serta lahan gambut dan rawa, yang secara alami tidak cocok untuk padi. "Imbasnya, dibutuhkan investasi yang mahal dan dengan tingkat kegagalan panen yang tinggi," ujar Yusuf.

Proyek lumbung pangan di Merauke sebetulnya sudah pernah dijalankan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan nama Program Lahan Gambut Satu Juta Hektare atau Mega Rice Project. Untuk proyek ambisius itu, sekitar 1,4 juta hektare hutan gambut dibabat dan menjadi sumber kebakaran hutan. Food estate era Soeharto dianggap gagal karena salah pilih lokasi. Lahan gambut yang tidak cocok tetap dipaksakan dan disulap menjadi sawah.

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program ini dinamai Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Target luas lahan yang dibuka sekitar 1,2 juta hektare. Proyek pertanian berbasis korporasi ini juga dinilai gagal.

Pada masa pemerintahan Jokowi, proyek lumbung pangan Merauke dijadikan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK). Jokowi menargetkan pembukaan lahan 2,29 juta hektare untuk menanam padi dan tebu. Seluas 1,1 juta hektare untuk perkebunan tebu, sedangkan sisanya 1,18 buat sawah padi.

Petani menanam padi di lahan pertanian di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, 3 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Risiko kegagalan proyek food estate juga diyakini oleh guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andrea Santosa. Selain membutuhkan modal yang besar, proyek pembukaan lahan berskala besar untuk pertanian bakal menimbulkan masalah tenaga kerja.

Jika satu orang menggarap 1 hektare saja, Dwi memperkirakan setidaknya 1 juta orang perlu didatangkan dari luar Merauke. "Tapi petani yang berpengalaman dan dibantu mekanisasi di Jawa bisa mengerjakan 1 hektare sendiri saja sudah super-luar biasa," ucapnya.

Karena itu, Dwi mempertanyakan kesiapan pemerintah menyediakan petani yang mampu menggarap lahan food estate di Merauke. Apalagi risiko konflik sosial setelah kedatangan gelombang pekerja ini sangat besar 

Dwi berpandangan sebaiknya pemerintah mengedepankan pengembangan lahan pertanian berskala kecil ketimbang membuka lahan baru di luar Jawa untuk mencapai swasembada pangan. Misalnya, lewat program transmigrasi, pemerintah bisa memberi satu keluarga lahan 10 hektare untuk diolah. Jika tetap berencana mengelola lahan berskala besar, ia menyarankan pemerintah memanfaatkan lahan bekas gambut peninggalan Soeharto yang terbengkalai.

Selain masalah lahan dan tenaga kerja, minimnya infrastruktur penunjang membuat proyek food estate makin rentan gagal. Peneliti pertanian Center of Reform on Economics Indonesia, Eliza Mardian, mengungkapkan bahwa banyak lokasi food estate, termasuk di Merauke, tidak memiliki sistem irigasi yang memadai.

Akibatnya, petani kekurangan air karena tidak ada cadangan atau reservoir untuk irigasi. Sementara itu, pada musim hujan, sawah-sawah mereka rentan kebanjiran karena lahan tersebut dulunya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. "Kondisi ini membuat hasil panen tidak optimal atau bahkan gagal, yang tentu malah merugikan petani," ucap Eliza. 

Agar tidak merugikan keuangan negara, Eliza berharap pemerintah kali ini mengedepankan amdal yang komprehensif, dengan memastikan penilaian yang mendalam soal dampak lingkungan dan ekonominya sebelum program itu telanjur digarap. 

Tanpa manajemen yang tepat, Eliza menekankan, proyek food estate akan menghabiskan dana besar. Berkaca pada program MIFEE yang dikerjakan di era pemerintahan Yudhoyono, proyek tersebut gagal mewujudkan target swasembada pangan lantaran tidak memenuhi kaidah ilmiah.

Padahal proyek MIFEE saat itu sudah menelan anggaran Rp 6 triliun dan membuka lahan sekitar 1,2 juta hektare. "Ini merugikan secara ekonomi karena menghilangkan kesempatan untuk membiayai program lain yang lebih produktif dan berdampak luas bagi masyarakat," tuturnya.

Saat masih menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo mengatakan Indonesia tetap harus membangun food estate baru di luar Jawa. Menurut dia, perlu ada ekstensifikasi lahan pertanian di luar Jawa, salah satunya dalam bentuk food estate, untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

Prabowo mempertanyakan tokoh-tokoh nasional yang masih mempersoalkan pentingnya food estate. Bagi Prabowo, tokoh-tokoh tersebut tidak paham atau tak mau paham. "Food estate adalah keharusan. Kalau ada tokoh-tokoh nasional yang mempertanyakan food estate, menurut saya, hanya dua kemungkinan: dia tidak paham atau dia tak mau paham. Dua-duanya tidak baik," katanya pada 31 Januari 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus