Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dana Cekak, Kilang 'cuma' Dipermak

Pertamina menggandeng mitra untuk merenovasi kilang. Kapasitas berlipat dua pada 2025.

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAHAN 1.000 hektare di dekat Pantai Lawe-lawe, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, telah disiapkan manajemen PT Pertamina (Persero). Di area itu, perusahaan minyak dan gas milik negara ini akan membangun sejumlah tangki penampung minyak mentah. Lokasi penampung dan bongkar-muat minyak mentah juga telah tersedia. "Izin amdal sudah terbit dari Kabupaten Penajam Paser Utara," kata juru bicara Pertamina UP 5 Balikpapan, Abdul Malik, pada pertengahan Februari lalu.

Tangki penampung minyak mentah itu diperlukan Pertamina ketika perusahaan pelat merah ini merenovasi kilang Balikpapan. Renovasi alias revamping akan dilakukan Pertamina terhadap lima kilangnya secara bertahap mulai 2018. Selain Balikpapan, empat lainnya adalah kilang Balongan di Indramayu, Jawa Barat; kilang Dumai di Riau; kilang Plaju di Sumatera Selatan; dan kilang Cilacap di Jawa Tengah. Semua proyek renovasi ini akan kelar pada 2025.

Setelah direnovasi, kapasitas pengolahan lima kilang itu akan berlipat dua, dari 860-900 ribu barel per hari saat ini menjadi 1,68 juta barel pada 2025. Peningkatan kapasitas ini menjadi keharusan karena total kapasitas kilang Indonesia saat ini hanya mampu memasok separuh kebutuhan bahan bakar minyak 1,3 juta barel per hari atau setara dengan 1,6 juta barel minyak mentah.

Akibatnya, impor bahan bakar minyak Indonesia terus meningkat setiap tahun. Dalam empat tahun terakhir, impor hasil minyak atau BBM Indonesia selalu berada di kisaran US$ 28,5 miliar atau sekitar Rp 356 triliun. Pada 2010, impor BBM Indonesia masih berada di kisaran US$ 18 miliar (sekitar Rp 225 triliun).

Sepanjang Januari hingga pekan kedua Februari lalu, Direktur Pengolahan Pertamina Rachmad Hardadi sibuk bersafari meninjau lima kilang yang akan direnovasi. Menurut Senior Vice President Pengembangan Bisnis Direktorat Pengolahan Pertamina Iriawan Yulianto, tour de kilang itu antara lain untuk memantau kesiapan infrastruktur. "Apakah sudah mulai dipetakan, mana yang harus dibongkar, dan kesiapan sumber dayanya," kata Iriawan kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Proyek renovasi kilang ini merupakan kerja sama Pertamina dengan tiga mitra strategis, yakni Saudi Aramco dari Arab Saudi, Sinopec dari Cina, dan JX Oil and Energy dari Jepang. Mereka telah meneken nota kesepahaman Refinery Development Masterplan Program pada 10 Desember tahun lalu. Program ini akhirnya menjadi opsi yang dipilih Pertamina untuk melipatgandakan kapasitas. Ongkos renovasi ini diperkirakan mencapai US$ 25 miliar atau sekitar Rp 312 triliun.

Sejak awal Pertamina sebetulnya bercita-cita membangun kilang baru yang berteknologi modern. Masalahnya, dana yang diperlukan sangat mahal: US$ 10 miliar (sekitar Rp 128 triliun) untuk kilang berukuran 300 ribu barel, sementara biaya revamping hanya US$ 25 miliar untuk penambahan kapasitas 820 ribu barel. Karena itu, Hardadi menjelaskan, revamping menjadi pilihan di tengah keterbatasan dana perusahaan.

Hardadi menambahkan, peremajaan kilang Pertamina juga penting karena sudah tua. Alasan lain, pasokan minyak mentah impor kini didominasi sour crude, yakni minyak berkandungan sulfur tinggi (di atas 1 persen). Padahal mayoritas kilang Pertamina hanya bisa mengolah minyak ringan alias sweet crude yang mengandung sulfur sekitar 0,2 persen. "Kalau dipaksakan, kolom-kolom kilang akan rontok karena korosi. Umurnya cuma akan sampai 1-2 tahun."

Nantinya, jika renovasi lima kilang ini rampung pada 2025, kapasitas kilang Pertamina akan mencapai 1,68 juta barel per hari. Maka kebutuhan impor BBM pada saat itu diprediksi hanya 10-15 persen.

Pertamina merancang proyek revamping sejak awal 2013. Menurut mantan Direktur Pengolahan Pertamina Chrisna Damayanto, program peningkatan kapasitas kilang atau upgrading sempat ditinggalkan karena direksi memprioritaskan sektor hulu. Alasannya, akuisisi lapangan migas di luar negeri bisa membuahkan hasil lebih cepat. Karena itu, "Dana hasil global bond diarahkan ke situ semua," kata Chrisna kepada Tempo, awal Februari lalu.

Sekarang Pertamina kembali pada rencana peremajaan kilang. Rencananya, Chrisna menjelaskan, proyek revamping ini dibiayai menggunakan duit pinjaman dan dari mitra strategis. Studi bankable feasibility dilakukan pada Agustus 2013, menggunakan dana bantuan dari United States Trade and Development Agency senilai US$ 1 juta (sekitar Rp 12,8 miliar). Tahap ini dilakukan bersama UOP LLC, perusahaan teknologi kilang yang berpusat di Illinois, Amerika Serikat.

Begitu kajian rampung, Pertamina mendaftar ratusan calon mitra potensial. Mereka diseleksi berdasarkan kemampuan keuangan, pasokan minyak mentah, dan pengalaman mengelola kilang.?Pada April 2014, daftar menyusut tinggal 20 perusahaan yang ditawari kerja sama ini.

Terakhir, kandidat mitra tinggal tiga perusahaan saja, yakni?Saudi Aramco dari Arab Saudi, Sinopec dari Cina, dan JX Oil and Energy dari Jepang. Saudi Aramco akan menjadi mitra untuk menggarap kilang Dumai, Cilacap, dan Balongan. JX Oil akan membantu mengerjakan kilang Balikpapan dan Sinopec di kilang Plaju.

Dalam skema kerja sama operasi pengelolaan kilang, Pertamina mengusulkan pendirian joint venture bersama mitra. Syaratnya, perusahaan mitra menyiapkan dana, menjamin pasokan minyak mentah, dan keahlian teknis pengelolaan kilang. Sedangkan Pertamina bertugas menyediakan lahan, utilitas pendukung, dan menjamin pembelian hasil produksi kilang.

Kilang "baru" akan didesain untuk menghasilkan produk yang 90-95 persennya bernilai ekonomi tinggi. Saat ini, dari setiap barel minyak mentah yang diolah, cuma 75-80 persen produknya yang bernilai ekonomi. Sisanya berupa produk yang lebih murah ketimbang harga bahan baku, seperti kokas. Karena itulah di kompleks kilang tersebut juga akan dibangun pabrik petrokimia. "Kalau hanya memproduksi BBM, untungnya tipis. Maka harus dirangkai dengan petrokimia, yang untungnya bagus," kata Hardadi.

Pertamina akan menjadi pemegang saham mayoritas (55 persen) pada setiap anak usaha patungan tersebut. Idealnya, menurut Hardadi, kepemilikan Pertamina 70-75 persen, sehingga bisa menjadi pemegang saham pengendali. "Kalau mayoritasnya tipis, untuk mengambil keputusan strategis negosiasinya alot," kata Hardadi. Namun dana yang digunakan untuk setoran modal juga mesti besar.

Saat ini, dengan nilai proyek US$ 25 miliar, Pertamina harus menyiapkan dana US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 21,3 triliun untuk bisa memiliki 55-60 persen saham di perusahaan patungan itu. "Namun kebutuhan investasi bisa membengkak atau menyusut sesuai dengan hasil kajian bersama."

Belum juga proyek terealisasi, masalah baru muncul: harga minyak dunia anjlok sejak akhir 2014. Itu berarti Pertamina mesti menghitung ulang kemampuan kas perusahaan untuk mendanai proyek ini karena pendapatan Pertamina juga ikut turun. "Sebab, saat program ini dirancang, harga crude masih tinggi," kata Hardadi. Harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia pada awal 2013 masih di kisaran US$ 111 per barel, sedangkan pada Desember 2014 lalu hanya US$ 60 per barel.

Bernadette Christina Munthe, S.g. Wibisono (balikpapan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus