Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jihad Anti Privatisasi Air

Mahkamah Konstitusi mencabut Undang-Undang tentang Sumber Daya Air yang menjadi payung privatisasi. Pemberlakuan kembali Undang-Undang Pengairan tak meredakan kegalauan kalangan swasta.

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat pimpinan dan anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional di gedung Kementerian Pekerjaan Umum sudah dua pekan tertunda. Padahal rapat dengan agenda membicarakan berbagai program kerja itu sudah direncanakan sejak awal tahun. "Sekretariat tak berani mengadakan rapat setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi," kata anggota Dewan Sumber Daya Air, Imam Mustofa, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Mahkamah Konstitusi mencabut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada Rabu, 18 Februari lalu. Sejak itu, menurut Imam, kegamangan melanda Dewan Sumber Daya Air Nasional, yang didirikan pada 2009. "Kami perlu konsultasi dulu dengan Kementerian Hukum mengenai legalitas lembaga kami," kata Imam.

Majelis hakim konstitusi yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menyatakan Undang-Undang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Majelis hakim pun menyatakan enam peraturan pemerintah turunan undang-undang itu tak berlaku. Untuk mengatasi kekosongan hukum, Mahkamah Konstitusi memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

Pencabutan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 bahkan di luar dugaan para pemohon uji materi. "Kami mengajukan permohonan atas 14 pasal dalam undang-undang itu, tidak seluruhnya," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Bersama Pengurus Pusat Muhammadiyah, pemohon uji materi lainnya adalah individu, seperti Marwan Batubara, Rachmawati Soekarnoputri, Fahmi Idris, Adhyaksa Dault, dan La Ode Ida.

Setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air, Din Syamsuddin meminta pemerintah membatalkan semua kontrak dengan perusahaan domestik dan asing yang menguasai sumber daya air. "Tak ada lagi landasan hukumnya," kata Din. Setelah dikabulkannya uji materi Undang-Undang Sumber Daya Air, Muhammadiyah pun berencana menguji materi Undang-Undang Penanaman Modal Asing, yang masih memungkinkan investor asing mengelola sumber daya air di Indonesia. "Kami menyebut upaya ini sebagai jihad konstitusi untuk menegakkan kedaulatan negara," ujar Din.

****

SELAMA enam bulan, pada 2013, tim kuasa hukum Pengurus Pusat Muhammadiyah menyiapkan bahan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004. Hampir saban pekan mereka bertemu di kantor pusat Muhammadiyah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. "Kami bekerja hati-hati karena uji materi atas undang-undang ini pernah gagal," kata Wakil Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Pusat Muhammadiyah Syaiful Bakhri.

Sepuluh tahun lalu, 19 Juli 2005, Mahkamah Konstitusi memang menolak gugatan uji materi undang-undang yang sama. Namun putusan hakim saat itu tidak bulat. Dua hakim, yakni Mukti Fadjar dan Maruarar Siahaan, mengajukan dissenting opinion. Keduanya menilai seharusnya permohonan itu dikabulkan.

Waktu itu gugatan diajukan 16 organisasi masyarakat. Permohonan uji materi masuk ke empat berkas terpisah, tapi sidangnya dijadikan satu. Di barisan pemohon itu antara lain ada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Menurut pemohon kala itu, Undang-Undang Sumber Daya Air terlalu memberi kelonggaran terhadap modal asing dalam mengelola sumber daya air.

Menurut Syaiful, Muhammadiyah mengajukan kembali uji materi karena putusan pada 2005 bersifat konstitusional bersyarat. Putusan itu menyebutkan, bila Undang-Undang Sumber Daya Air ditafsirkan menyimpang dari maksud yang tercantum dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, tidak tertutup kemungkinan untuk diuji kembali.

Namun, Syaiful menegaskan, Muhammadiyah mengajukan lagi uji materi bukan hanya karena ada celah. Setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, Muhammadiyah menilai kerap terjadi diskriminasi dalam penggunaan air. Contohnya, petani yang hendak membangun irigasi baru harus direpotkan dengan perizinan. Begitu pula petani garam yang hendak memindahkan air laut ke daratan. "Selain izinnya berbelit, biayanya tidak sedikit." Padahal, kata Syaiful, "Air seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Menurut pemohon uji materi, pelaksanaan Undang-Undang Sumber Daya Air juga telah diselewengkan secara normatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Itu terlihat dari lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Peraturan itu menyebutkan pengembangan sistem penyediaan air minum dilakukan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Padahal Undang-Undang Sumber Daya Air dengan tegas menyebutkan pengembangan sistem penyediaan air minum merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. "Air sebagai barang publik yang wajib disediakan pemerintah menjadi komoditas ekonomi yang hanya bisa diakses orang-orang tertentu," ujar Syaiful.

Dalam persidangan, perwakilan pemerintah, Agoes Widjanarko, membantah anggapan pemohon bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air bertentangan dengan amanat konstitusi bahwa air dikuasai negara. Selama ini, ketika memberi izin pemanfaatan air, pemerintah selalu menerapkan dengan ketat. Misalnya, pengelolaan sumber daya air hanya diserahkan kepada swasta bila air untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk irigasi pertanian rakyat sudah terpenuhi. Syarat lain, izin pemanfaatan air oleh swasta baru bisa diberikan setelah melalui konsultasi publik.

Saksi ahli dari pemerintah, I Gde Pantja Asatawa, menyebutkan instrumen izin itu penting sebagai pengendali. Menurut dia, makna hak negara untuk menguasai cabang produksi tak berarti menafikan peran swasta. Yang penting, negara tetap berperan dalam pembuatan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Toh, pembelaan dari pemerintah tak meyakinkan majelis hakim konstitusi. Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim menyebutkan hak penguasaan negara atas air merupakan roh atau jantung dari Undang-Undang Sumber Daya Air. Karena itu, penguasaan air harus dibatasi dengan ketat untuk menjaga kelestarian air demi kelanjutan hidup bangsa.

Mahkamah menggariskan enam pembatasan penguasaan air yang diklaim sejalan dengan penafsiran atas Pasal 33 UUD 1945. Batasan itu, antara lain, penguasaan atas air tidak boleh mengganggu, menyampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air. Penguasaan atas air harus diserahkan ke BUMN atau BUMD. Pemerintah masih dimungkinkan memberikan izin pengelolaan air kepada swasta dengan syarat yang ketat.

Mahkamah Konstitusi juga memeriksa enam peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004. Keenamnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, PP Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, PP Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, dan PP Nomor 73 Tahun 2013 tentang Rawa. Kesimpulan Mahkamah Konstitusi: keenam peraturan itu tidak memenuhi prinsip dasar dalam pembatasan pengelolaan sumber daya air.

Meski Mahkamah Konstitusi telah memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Taufik Widjoyono, pemerintah akan menyiapkan undang-undang baru. Selama masa transisi, pemerintah menjamin semua proyek infrastruktur dan proyek pengelolaan sumber daya air yang sedang berjalan tidak akan terganggu.

Toh, jaminan Taufik tak serta-merta menghapus kerisauan kalangan industri yang menjadikan air sebagai bahan baku produksi. "Kami butuh kepastian apakah izin operasi kami batal demi hukum atau berlaku sampai habis masanya," kata Trijono Prijo Soesilo, Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan. Pengusaha lain yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) juga tak luput dari rasa waswas. "Kami menunggu aturan yang lebih jelas dari pemerintah," ujar Ketua Umum Aspadin Hendro Baroena.

Yuliawati, Robby Irfani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus