Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negara berkembang seperti Indonesia, tak banyak kelompok usaha yang bertahan hingga setengah abad. Beberapa tinggal nama. Di antara yang bertahan adalah Bakrie & Brothers (BB), yang dinakhodai Aburizal Bakrie, generasi kedua dalam bisnis keluarga itu, yang sejak 1988 telah membuktikan kepiawaiannya menangani sebuah grup besar. Di bawah ini petikan wawancara Susilawati dan Iwan Qodar dari TEMPO dengan Aburizal. Untuk pesta yang meriah di Lebak Bulus, berapa biaya yang Anda keluarkan? Sekitar Rp 200 juta. Itu murah, karena banyak tenaga dari Grup Bakrie sendiri. Tarian masal dilakukan anak-anak dari karyawan perusahaan di sini. Juga pelatih dan koreografernya. Mereka tidak dibayar. Bagaimana Kelompok Bakrie bisa berkembang sampai rindang seperti sekarang? Berkembangnya Bakrie Group adalah betulbetul entrepreneur trick. Pertama, dengan trik-trik yang konvensional, kemudian dengan accountancy trick. Sekarang waktunya bagi Bakrie untuk melakukan manajemen yang sangat profesional, oleh seorang yang betul-betul berjiwa manajer. Saya dan dua adik saya adalah entrepreneur. Tapi soal manajemen, saya tidak mengerti. Setelah berunding dengan Omar Abdalla dan Tanri, kami putuskan untuk menciptakan pengelolaan profesional. Saya targetkan Juli nanti, ketika RUPS biasa -- karena tak mau bikin rapat luar biasa -- akan disahkan perubahan sistem. Sekarang, ada kantor dirut -- saya, dua adik saya, dan Hamizar, lalu ada direktur pengelola Tanri Abeng dengan tujuh direktur grup. Nanti, dirut akan menjadi dewan komisaris yang sifatnya chairman. Jadi, akan dibentuk board manajemen dengan tanggung jawab pemimpin tidak lagi pada saya. Saya lihat, sekarang yang bisa, ya, Tanri. Baru November dia full time di sini, sudah banyak kemajuan dicapai. Saya optimistis bisa. Tanri masuk, sudah dua orang saudara saya yang dikeluarkan. Kabarnya, Bakrie menjadi besar karena menjual minyak ke pasar spot. Minyak ? Wah, kami tidak ikut. Kami cuma berdagang karet, batu bara, dan good products. Kopi dan lada, dulu punya. Tapi itu sudah ditutup karena rugi terus. Beberapa analis memberi penilaian negatif, misalnya ekspansi terlalu besar dan strategi kurang terarah. Selama ini orang melihat seolah-olah kita tak punya perhitungan. Padahal, mereka tidak tahu bagaimana persisnya. Misalnya, yang di luar negeri belum pernah disinggung-singgung. Tapi sekarang saya buka. Saya membeli suatu perusahaan dengan trik akuntansi, misalnya perusahaan James Sardy dari Australia -- sekarang Bakrie Building Industries -- saya beli hanya US$ 1.000. Luasnya 13 hektare. Dalam enam tahun bisa untung. Sekarang, existing loan Bakrie & Brothers sekitar US$ 65 juta. Omzet by market value sekitar US$ 40 juta. Tanah kami sebelumnya bernilai nol karena sudah milik sendiri, padahal sekarang sudah melonjak ke harga US$ 27 juta. Jadi, total aset untuk BB mencapai US$ 67 juta. Di Bakrie Nusantara Corp., total existing loan US$ 43 juta. Total aset US$ 215 juta. Di perkebunan saja, yang market sharenya rendah, aset kita mencapai Rp 200 milyar. Pasaman Plantation Rp 50 milyar, Agrowiyana Rp 20 milyar, dan sekitar Rp 100 milyar di Financial Services. Di bidang properti, kita sudah tidak ada utang sama sekali. Orang bertanya-tanya kenapa Anda sampai terjun juga ke bidang jasa dan keuangan. Orang yang tanya itu tidak mengerti bisnis. Terjun dalam finance merupakan usaha supaya punya channel terdekat ke pasar uang internasional. Dalam bidang sekuritas, kita memang rugi uang, tapi informasi? Kunci bisnis kan informasi. Sama saja, kita bayar orang, kita habis Rp 150 juta setahun, tapi saya punya sumber informasi yang banyak. Itulah strateginya. Waktu terjun ke sekuritas, saya tidak mengharapkan banyak untung. Lain dengan bank, dari semula diperhitungkan bank harus untung. Bank Nusa dalam 1,5 tahun asetnya sudah meningkat 15 kali lipat. Jadi, kenapa enggak? Pokoknya, siapa yang punya informasi terbesar, dialah yang menang. No information, no business. Bagaimana ceritanya sampai Anda bisa beli Freeport? Orang ribut, kenapa saya beli Freeport. Macammacam isu, katanya dekat dengan Ginandjar. Apa begitu? Memang, sebelum Desember 1996, Freeport punya hak untuk tidak menjual saham kepada orang Indonesia. Tapi waktu itu saya tahu mereka butuh uang sekitar US$ 225 juta untuk pengembangan. Saya beli Freeport karena informasi, bukan karena fasilitas. Dengan uang US$ 50 juta dan US$ 175 juta pinjaman, saya beli Freeport. Saya pun dapat saham 10%, tepat ketika ulang tahun perkawinan saya, 30 Desember tahun lalu. Anda aktif mendukung dunia olahraga. Berapa dana yang Anda sediakan untuk bidang yang hampir tak ada kaitannya dengan bisnis Bakrie? Dua milyar rupiah setiap tahun. Ini kegiatan sosial yang tujuannya baik, yakni mengangkat Indonesia di dunia olahraga. Dan kita bisa buktikan itu. Dan memang tidak sia-sia. Di tenis kita punya Yayuk. Di bulu tangkis, di tenis yunior juga. Lalu orang-orang bilang, Bakrie ini pintar. Jual nama Yayuk, Icuk, lewat Pelita Jaya, sehingga Bakrie Group berkibar ... ha-ha .... Menurut saya, justru yang begini ini penting untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia. Coba, setiap perusahaan punya kiprah di dunia olahraga, kan olahraga di Indonesia bisa lebih maju dan lebih berprestasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo