Sepucuk surat dari Kejaksaan Agung pada September silam agaknya sempat membuat Chairul Tanjung berkerut kening. Lewat surat yang ditandatangani Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Untung Udji Santoso, pihak Gedung Bundar meminta keterangan bos Grup Para ini berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan dana proyek pembangunan Bandung Supermal.
Pangkal masalah sebenarnya bersumber pada sengketa antara Para Bandung Propertindo dan Hutama Karya. Pada akhir tahun 1996, keduanya sepakat membangun Bandung Supermal. Sebagai penasihat teknisnya, Hutama Karya menggandeng Sagita Dumez, sebuah perusahaan asal Prancis.
Kontrak diteken oleh pemilik Para Bandung Propertindo, Chairul Tanjung, dan Direktur Utama Hutama Karya saat itu, Tjokorda Raka Sukawati. Berdasarkan kesepakatan tersebut, perusahaan negara ini dipercaya menyelesaikan pembangunan pusat belanja yang bernilai Rp 98,67 miliar itu dalam dua tahun. Sebagai manajer konstruksi, ditunjuklah Para Engineering.
Namun, saat batas waktu berakhir, Mei 1998, Hutama Karya tak juga menyelesaikan pekerjaannya. Menurut pemimpin proyek, M. Faried, penyebabnya antara lain adalah gambar proyek yang sering berubah dan pembebasan lahan yang tersendat-sendat. Akibatnya, waktu pengerjaan jadi molor, biaya pun ikut menggelembung. Apalagi biaya proyek meroket gara-gara krisis moneter yang dengan kejam melindas dunia usaha masa itu.
Kondisi ini, tutur Faried, membebani keuangan Hutama Karya. Terlebih karena proyek ini adalah turn-key project, yang berarti pemilik baru akan membayar ongkos proyek setelah pekerjaan selesai. Untuk sumber dana, Hutama Karya mendapat sokongan kredit dari Bank BNI. Sementara itu, Para Bandung Propertindo mengeluarkan jaminan berupa "bank garansi" yang diterbitkan oleh bank pelat merah ini.
Pada April 1998, masa berlaku bank garansi berakhir. Para Bandung Propertindo lalu memperpanjangnya selama enam bulan lagi. Tapi, setelah itu pemilik Bandung Supermal ini benar-benar menyetop bank garansinya. Akibatnya, "Jaminan kredit dari BNI '46 kepada Hutama Karya dihentikan sehingga kami tak punya cukup dana untuk meneruskan proyek tersebut," ucap Faried.
Lantaran tak punya uang, pembangunan proyek itu kian tersendat. Pada masa sulit tersebut, Para Bandung Propertindo memberi pinjaman sekitar Rp 11 miliar kepada Hutama Karya untuk membangun dinding dan atap gedung. Maksudnya, meski proyek terhenti, kondisi bangunan dan peralatan di dalamnya tidak rusak.
Waktu itulah Manajer Konstruksi Para Engineering menyarankan agar Para Bandung Propertindo menghentikan kerja sama dengan Hutama Karya. Alasannya, BUMN ini tak mampu memenuhi kesepakatan seperti tercantum dalam kontrak kerja sama.
Proyek pun diambil alih oleh Para Bandung Propertindo, dan pekerjaan Hutama Karya dilanjutkan oleh kontraktor lain. Menurut Chairul Tanjung, tindakan ini terpaksa ditempuh lantaran Hutama Karya tak kunjung menyelesaikan pembangunan Bandung Supermal. Padahal, sesuai dengan kesepakatan, pekerjaan harus selesai paling lambat 15 Mei 1998. "Kami berpegang pada perjanjian tersebut," tuturnya.
Chairul juga menolak dianggap sewenang-wenang. Saat tenggat waktu berakhir, otomatis masa berlaku bank garansi pun usai pula. Pihaknya bahkan sudah memberi pinjaman kepada Hutama Karya untuk menyelesaikan proyek tersebut. Selain itu, mereka juga berkali-kali melayangkan surat peringatan tentang batas waktu penyelesaian proyek. "Tapi mereka tidak menggubris surat tersebut," ujarnya.
Bantahan juga disampaikan oleh kuasa hukumnya, Rofinus Hotmaulana. Menurut lelaki ini, perubahan gambar yang dilakukan Grup Para tidak bisa dijadikan alasan oleh Hutama Karya untuk tidak menyelesaikan proyek. Perubahan-perubahan dalam pembangunan proyek, katanya, merupakan hal yang wajar. Bahkan perubahan ini juga dilakukan oleh kontraktor yang ditunjuk untuk menggantikan Hutama Karya. Namun, mereka sanggup menyelesaikan sisa proyek hanya dalam satu tahun.
Akhirnya, sengketa Hutama melawan Grup Para tak terhindarkan lagi. Kedua belah pihak mengklaim sebagai pihak yang dirugikan. Menurut Hutama Karya, mereka merugi sekitar Rp 219 miliar. Sedangkan berdasarkan kalkulasi Para Bandung Propertindo, mereka akan menggugat Hutama Karya sekitar Rp 52 miliar.
Setelah negosiasi buntu, Hutama Karya akhirnya memilih jalur hukum untuk menyelesaikan kasus ini. Beberapa waktu lalu, perkaranya dilaporkan ke Kejaksaan Agung. Juru bicara Kejaksaan Agung, Barman Zahir, membenarkan bahwa pihaknya sedang menyelidiki kasus ini serta memanggil kedua belah pihak untuk dimintai keterangan. Namun, hasilnya belum jelas dan jalan damai pun masih terlalu samar-samar.
Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini