SAAT suku bunga bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), turun sebesar 50 basis poin menjadi 1,25 persen pada Rabu pekan lalu, dampak positifnya pun dirasakan rupiah. Dalam dua hari terakhir pekan lalu, rupiah menguat 20 poin dari Rp 9.215 per dolar AS. Sayangnya, penguatan rupiah ini ditahan oleh besarnya pembelian dolar untuk keperluan pembayaran utang dan impor oleh perusahaan-perusahaan besar. Kalau tidak, penurunan rupiah bisa lebih besar seperti yang terjadi pada mata uang regional lain seperti yen (Jepang) atau baht (Thailand). "Efeknya bagi rupiah memang tidak besar, tapi setidaknya bisa membuat rupiah stabil dan kita berharap suku bunga tidak naik lagi," kata Budi Hikmat, ekonom Bahana.
Berbeda dengan mata uang regional yang cenderung menguat, bursa saham justru dihantam gelombang penurunan indeks. Hampir semua indeks bursa di Asia turun mengikuti penurunan indeks Dow Jones (Bursa New York). Dow Jones turun 2,11 persen menjadi 8.586,24. Nasdaq pun turun 2,98 persen. Bursa Jakarta sendiri pada perdagangan Jumat pekan lalu turun 3,672 poin menjadi 365,704. Menurut Budi, penurunan indeks ini terjadi karena pasar terkejut melihat penurunan sampai 50 basis poin. Semula pasar menduga suku bunga Fed hanya turun 25 basis poin. "Banyak yang khawatir ekonomi Amerika lebih buruk sehingga memerlukan penurunan yang cukup besar," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini