TAK banyak orang yang tahu, Bob Sadino memulai usahanya dengan
modal 50 ayam petelur. Bersama istrinya, di tahun 1968, ia mulai
menjual dagangannya ke rumah orang gedungan, umumnya Barat,
yang tinggal di Kemang, Jakarta Selatan. Kini siapa yang tidak
mengenal PT Kemchicks, yang selain menjual telur, juga berdagang
ratusan kilo daging, sayuran, ayam, minuman -- pokoknya segala
macam kebutuhan hotel dan rumah tangga modern zaman sekarang.
PT Kemchicks, milik keluarga Sadino itu jadi bahan percakapan
dalam Seminar Bisnis Keluarga, 24 Agustus, diselenggarakan oleh
Lembaga Manajemen FEUI, Lemjemen Hankam, LPPM, dan Institut
Manajemen Prasetya Mulya, di Jakarta. Bukan karena Bob Sadino
pandai menjual daging dan telur yang membuat seminar itu
mengambil PT Kemchicks sebagai bahan diskusi. Tapi yang menarik
adalah: Bagaimana suami-istri Sadino akan mengembangkan
perusahaan itu "hingga bisa hidup seratus tahun lagi," kata
seorang peserta.
Kuncinya, tak lain, adalah mengundang masuk manajer profesional.
Di Amerika, perusahaan mobil Ford nyaris bangkrut, kalau para
cucu Henry Ford I tak segera mengambil alih perusahaan itu, dan
menyerahkan ke tangan para manajer profesional. Phillips di
Negeri Belanda, Krupp di Jerman, dan San Miguel di Filipina juga
tumbuh sebagai perusahaan raksasa yang dikelola para manajer
profesional, dan dimiliki banyak orang yang menjual-belikan
saham perusahaan di pasaran.
Di Indonesia banyak perusahaan besar masih dimiliki keluarga.
Tapi keluarga Sadino diam-diam sudah melihat jauh ke depan.
"Prinsip kami, si penerus usaha tidak harus dari keluarga
sendiri," kata Ny. Sadino. "Yang penting, perlu dicari
orang-orang yang memiliki kemampuan dan kepekaan bisnis yang
tinggi."
Soal siapa kelak yang akan tampil sebagai pucuk pimpinan, Bob
Sadino percaya "itu akan muncul dari seleksi yang alamiah."
Dengan kata lain, ia tak menyiapkan semacam putra mahkota. Tapi
sudah mulai menyiapkan sejumlah manajer -- dari dalam dan luar
perusahaan -- untuk memegang berbagai jabatan penting dalam
perusahaan makanan dan minuman itu. "Orang luar pun bisa saja
memimpin posisi kunci di bagian pemasaran dan keuangan
perusahaan," katanya.
Belum banyak yang bersikap terbuka seperti keluarga Sadino, yang
lahir belakangan. Jamu Air Mancur, sekalipun berbadan hukum PT,
lebih suka menempuh cara lama: sistem keluarga. Distributor
utama merk jamu yang terkenal di berbagai pelosok Indonesia itu
kabarnya masih dipegang oleh orang dalam. Begitu juga perusahaan
rokok terkenal Gudang Garam yang sampai sekarang langsung
mengontrol pemasarannya sampai ke tingkat grosir.
Perusahaan itu sampai sekarang memang tetap jaya, dan belum
tentu akan mundur kalau para perintis dan pendirinya kelak
tiada. Tapi menengok ke belakang, banyak juga perusahaan
keluarga di Indonesia yang dulunya terkenal sekarang tinggal
kenangan. Salah satu adalah Oei Tiong Ham, raja gula dari
Semarang.
Ketika Oei tua meninggal, maka Oei Tiong Ham Concern yang
terkenal sampai di Eropa terpaksa harus dipecah kepada sembilan
ahli warisnya. Mereka setelah Perang Dunia II semuanya pindah ke
luar negeri, masing-masing membuka usaha sendiri di Negeri
Belanda sampai Brazilia.
Lalu di tahun 1950-an, Indonesia juga mengenal beberapa pribumi
yang tersohor, seperti raja tekstil Rahman Tamin, Sidi Tando,
dan M. Dasaad.
Adam Malik, 66 tahun, yang segenerasi dengan Almarhum Dasaad
bercerita banyak ketika membawakan makalah dalam seminar dua
hari itu. Dasaad Musin Concern, yang terkenal dengan pabrik
tekstil PT Kancil Mas di Bangil, Jawa Timur, "tercerai berai
karena generasi penerus cekcok dan gagal melanjutkan perusahaan
sebagai suatu unit yang tangguh," kata bekas wakil presiden Adam
Malik. Rahman Tamin yang dulu tersohor dengan tekstil murah
Ratatex, juga jadi legenda. Sedang anak-anak Sidi Tando yang
kini juga bergerak di bidang bisnis, tidak meneruskan usaha
orangtuanya yang dulu menonjol di bidang impor-ekspor, pabrik
cat, dan lain-lain.
Ada juga yang sampai sekarang tetap menonjol dari generasi itu.
Salah satu adalah Soedarpo Sastrosatomo. Pernah menghadapi
berbagai cobaan, di zaman Soekarno dan Orde Baru, direktur utama
PT Samudera Indonesia itu malah sudah menancapkan kakinya di
perbankan dan komputer. Di antara tiga putrinya, hanya Shanti L.
Poesposoetjipto, insinyur lulusan Jerman Barat, yang bersedla
masuk ke perusahaan ayahnya, dan kini memimpin divisi komputer
Soedarpo Corporation.
Soedarpo percaya pada prinsip manajemen modern, tapi sampai
sekarang tak melihat perlunya membentuk suatu perusahaan induk
(trustee), seperti dilakukan kelompok Liem Sioe Liong, dan
Willem Soerjadjaya dari Astra International Inc. "Percuma kami
mendirikannya, karena toh akan dipungut pajak lagi," kata Shanti
Poespo. Pihak pajak rupanya masih beranggapan induk perusahaan
semacam itu sebagai badan hukum yang mencari keuntungan melulu.
Gaya manajemen usahawan seperti Soedarpo, Willem Soerjadjaya,
Liem Sioe Liong, memang belum menyamai gaya perusahaan yang
dianut negeri maju. Tapi yang agaknya pasti, para pengusaha itu
ingin melihat perusahaannya tumbuh terus kalau mereka sudah
'pensiun'. Mereka pun kini giat mencari kader penerus dari
dalam, dengan mendidik anak-anaknya, dan bibit unggul dari luar
keluarga.
"Orang-orang tua itu memang belum bisa dipaksa untuk tunduk
sepenuhnya pada sistem manajemen modern seperti di Barat, tapi
anak-anak mereka mungkin bisa," kata seorang peserta. Tak bisa
lain, jika mereka ingin menyelamatkan usaha itu, sikap lebih
terbuka dalam manajemen harus ditempuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini