Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari bapak ke mana?

Membahas soal alih generasi didalam perusahaan keluarga. beberapa perusahaan keluarga di Indonesia. (eb)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak orang yang tahu, Bob Sadino memulai usahanya dengan modal 50 ayam petelur. Bersama istrinya, di tahun 1968, ia mulai menjual dagangannya ke rumah orang gedungan, umumnya Barat, yang tinggal di Kemang, Jakarta Selatan. Kini siapa yang tidak mengenal PT Kemchicks, yang selain menjual telur, juga berdagang ratusan kilo daging, sayuran, ayam, minuman -- pokoknya segala macam kebutuhan hotel dan rumah tangga modern zaman sekarang. PT Kemchicks, milik keluarga Sadino itu jadi bahan percakapan dalam Seminar Bisnis Keluarga, 24 Agustus, diselenggarakan oleh Lembaga Manajemen FEUI, Lemjemen Hankam, LPPM, dan Institut Manajemen Prasetya Mulya, di Jakarta. Bukan karena Bob Sadino pandai menjual daging dan telur yang membuat seminar itu mengambil PT Kemchicks sebagai bahan diskusi. Tapi yang menarik adalah: Bagaimana suami-istri Sadino akan mengembangkan perusahaan itu "hingga bisa hidup seratus tahun lagi," kata seorang peserta. Kuncinya, tak lain, adalah mengundang masuk manajer profesional. Di Amerika, perusahaan mobil Ford nyaris bangkrut, kalau para cucu Henry Ford I tak segera mengambil alih perusahaan itu, dan menyerahkan ke tangan para manajer profesional. Phillips di Negeri Belanda, Krupp di Jerman, dan San Miguel di Filipina juga tumbuh sebagai perusahaan raksasa yang dikelola para manajer profesional, dan dimiliki banyak orang yang menjual-belikan saham perusahaan di pasaran. Di Indonesia banyak perusahaan besar masih dimiliki keluarga. Tapi keluarga Sadino diam-diam sudah melihat jauh ke depan. "Prinsip kami, si penerus usaha tidak harus dari keluarga sendiri," kata Ny. Sadino. "Yang penting, perlu dicari orang-orang yang memiliki kemampuan dan kepekaan bisnis yang tinggi." Soal siapa kelak yang akan tampil sebagai pucuk pimpinan, Bob Sadino percaya "itu akan muncul dari seleksi yang alamiah." Dengan kata lain, ia tak menyiapkan semacam putra mahkota. Tapi sudah mulai menyiapkan sejumlah manajer -- dari dalam dan luar perusahaan -- untuk memegang berbagai jabatan penting dalam perusahaan makanan dan minuman itu. "Orang luar pun bisa saja memimpin posisi kunci di bagian pemasaran dan keuangan perusahaan," katanya. Belum banyak yang bersikap terbuka seperti keluarga Sadino, yang lahir belakangan. Jamu Air Mancur, sekalipun berbadan hukum PT, lebih suka menempuh cara lama: sistem keluarga. Distributor utama merk jamu yang terkenal di berbagai pelosok Indonesia itu kabarnya masih dipegang oleh orang dalam. Begitu juga perusahaan rokok terkenal Gudang Garam yang sampai sekarang langsung mengontrol pemasarannya sampai ke tingkat grosir. Perusahaan itu sampai sekarang memang tetap jaya, dan belum tentu akan mundur kalau para perintis dan pendirinya kelak tiada. Tapi menengok ke belakang, banyak juga perusahaan keluarga di Indonesia yang dulunya terkenal sekarang tinggal kenangan. Salah satu adalah Oei Tiong Ham, raja gula dari Semarang. Ketika Oei tua meninggal, maka Oei Tiong Ham Concern yang terkenal sampai di Eropa terpaksa harus dipecah kepada sembilan ahli warisnya. Mereka setelah Perang Dunia II semuanya pindah ke luar negeri, masing-masing membuka usaha sendiri di Negeri Belanda sampai Brazilia. Lalu di tahun 1950-an, Indonesia juga mengenal beberapa pribumi yang tersohor, seperti raja tekstil Rahman Tamin, Sidi Tando, dan M. Dasaad. Adam Malik, 66 tahun, yang segenerasi dengan Almarhum Dasaad bercerita banyak ketika membawakan makalah dalam seminar dua hari itu. Dasaad Musin Concern, yang terkenal dengan pabrik tekstil PT Kancil Mas di Bangil, Jawa Timur, "tercerai berai karena generasi penerus cekcok dan gagal melanjutkan perusahaan sebagai suatu unit yang tangguh," kata bekas wakil presiden Adam Malik. Rahman Tamin yang dulu tersohor dengan tekstil murah Ratatex, juga jadi legenda. Sedang anak-anak Sidi Tando yang kini juga bergerak di bidang bisnis, tidak meneruskan usaha orangtuanya yang dulu menonjol di bidang impor-ekspor, pabrik cat, dan lain-lain. Ada juga yang sampai sekarang tetap menonjol dari generasi itu. Salah satu adalah Soedarpo Sastrosatomo. Pernah menghadapi berbagai cobaan, di zaman Soekarno dan Orde Baru, direktur utama PT Samudera Indonesia itu malah sudah menancapkan kakinya di perbankan dan komputer. Di antara tiga putrinya, hanya Shanti L. Poesposoetjipto, insinyur lulusan Jerman Barat, yang bersedla masuk ke perusahaan ayahnya, dan kini memimpin divisi komputer Soedarpo Corporation. Soedarpo percaya pada prinsip manajemen modern, tapi sampai sekarang tak melihat perlunya membentuk suatu perusahaan induk (trustee), seperti dilakukan kelompok Liem Sioe Liong, dan Willem Soerjadjaya dari Astra International Inc. "Percuma kami mendirikannya, karena toh akan dipungut pajak lagi," kata Shanti Poespo. Pihak pajak rupanya masih beranggapan induk perusahaan semacam itu sebagai badan hukum yang mencari keuntungan melulu. Gaya manajemen usahawan seperti Soedarpo, Willem Soerjadjaya, Liem Sioe Liong, memang belum menyamai gaya perusahaan yang dianut negeri maju. Tapi yang agaknya pasti, para pengusaha itu ingin melihat perusahaannya tumbuh terus kalau mereka sudah 'pensiun'. Mereka pun kini giat mencari kader penerus dari dalam, dengan mendidik anak-anaknya, dan bibit unggul dari luar keluarga. "Orang-orang tua itu memang belum bisa dipaksa untuk tunduk sepenuhnya pada sistem manajemen modern seperti di Barat, tapi anak-anak mereka mungkin bisa," kata seorang peserta. Tak bisa lain, jika mereka ingin menyelamatkan usaha itu, sikap lebih terbuka dalam manajemen harus ditempuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus