KEPALA Bulog Bustanil Arifin dibikin pusing oleh gejolak harga
cengkih. Dalam kedudukan sebagai menteri koperasi, dia pekan
lalu sempat membicarakan mengenai jatuhnya harga komoditi itu
dengan kepala negara, di saat panen raya berlangsung di pelbagai
tempat. Soalnya dianggap gawat mengingat bahan utama pendamping
tembakau dalam pembuatan rokok kretek itu, harganya kini di
Lampung Tengah, hanya Rp 4.000, jauh di bawah harga dasarnya
yang Rp 7.500 per kilogram.
Guna mencegah kejatuhan harga komoditi itu lebih parah,
Bustanil yang membawakan hasil rapat cengkih mengusulkan agar
pemerintah memberikan kredit berbunga rendah sebanyak Rp 200
milyar pada pabrik rokok, dan menurunkan harga dasarnya jadi Rp
6.500. Tapi usul itu ditolak kepala negara. Untuk mempertahankan
harga dasar, demikian Presiden seperti dikutip Bustanil, petani
dianjurkan memperkecil suplai dengan menjualnya sedikit demi
sedikit. Pemberian kredit Rp 200 milyar secara sekaligus
dianggap Kepala Negara hanya akan menyulut angka inflasi.
Tidak semua petani tentu punya kemampuan menahan cengkihnya agak
lama. Achmad, petani dari Batang Hari, Lampung Tengah, terpaksa
dengan berat melego cengkihnya dengan harga Rp 4.000 sekilo,
sesudah Koperasi Unit Desa (KUD) setempat tak bisa membelinya
lagi. Keterbatasan dana, menurut Bustanil, memang telah
menyebabkan KUD yang seharusnya berperan sebagai pengendali
harga tak mampu membeli cengkih eks petani dalam jumlah besar.
Belum jelas benar, mengapa pemerintah memperketat pengaliran
dananya ke koperasi.
PT Kerta Niaga yang ditugasi sebagai badan penyangga ternyata
baru membelanjakan Rp 8 milyar dari jumlah dana Rp 21 milyar,
pemberian pemerintah. Entah karena apa perusahaan negara itu tak
ikut serta sebagai pembeli dalam setiap pelelangan cengkih yang
dilakukan Pusat KUD Lampung di Teluk Betung. Lima pedagang
antarpulau yang ditunjuk Gubernur Jasir Hadibroto untuk
memperbaiki tata niaga cengkih belakangan juga tak aktif
melakukan transaksi.
Mengantungi mandat gubernur, lima pedagang itu memperoleh hak
istimewa membeli cengkih langsung dari rakyat. Mereka kabarnya
sudah dilarang mengantarpulaukan komoditi itu. Gubernur Jasir
menunjuk mereka, yang dinilai berhasil memasukkan sumbangan
retribusi cengkih Rp 1,5 milyar, sesudah KUD dianggap gagal
mengatur pemasukan pajak daerah itu. Tapi kini akibat Kerta
Niaga dam lima pedagang itu manahan diri, 240 ton cengkih eks
petani menumpuk di pelbagai KUD, dan gudang Pusat KUD Teluk
Betung.
Bisakah pabrik rokok membantu membeli cengkih itu? Tindakan
seperti itu tampaknya sulit dilakukan mengingat pabrik rokok,
seperti Djarum dan Gudang Garam, sudah mengadakan stok cengkih
di atas jangka persediaan normal 3 bulan. Bahkan Gudang Garam,
sudah membeli cengkih yang disimpan di pelbagai gudangnya untuk
jangka setahun. Tahun ini sekitar 20 ribu ton cengkih (Rp 150
milyar) atau hampir 70% dari produksi nasional, akan dibelinya
dari petani dan importir.
Juli lalu perusahaan rokok pembayar cukai terbesar ini (tahun
lalu hampir Rp 200 milyar) baru saja menandatangani kredit
sindikasi US$ 75 juta dari pelbagai bank di Singapura. Kredit
untuk pengadaan stok cengkih dan tembakau, dengan bunga 11% per
tahun itu, sudah diambil separuhnya. "Mereka sih minta agar kami
segera mengambil semuanya, tapi kami tak mau," ujar Suyoso
Notokusumo, wakil direktur GG. "Dana itu baru kami ambil waktu
mau dipakai saja agar bunga atas jumlah utang pokoknya tidak
terlalu besar."
Dengan likuiditas mantap seperti itu, GG yang pekan lalu baru
membeli cengkih Rp 6.800 per kg dari Serang (Jawa Barat) tentu
mudah mengontrol harga pasar Kemantapan likuiditas serupa juga
dimilikl oleh cap Djarum, yang menimbun stok cengkih untuk masa
produksi 6 bulan tembakau hanya 4 bulan. Perusahaan rokok di
Kudus yang tahun lalu membayar cukai sekitar Rp 100 milyar itu,
setiap bulan menghabiskan Rp 7 milyar untuk membeli cengkih.
Sejak Januari, Djarum sudah melakukan pembelian cengkih dengan
harga rata-rata Rp 7.700 per kg untuk masa produksi tahun ini.
Untuk memperbaiki harga cengkih lokal, seorang pengusaha rokok
menganjurkan agar pemerintah mau mengendalikan impor komoditi
itu yang dilakukan oleh PT Mercu Buana dan PT Mega. Jika
suplainya mulai dibatasi, "harga di dalam negeri tentu bisa
dikendalikan," katanya. Sejauh itu, Probosutedjo, direktur utama
Mercu Buana, yang menyertai Menteri Bustanil Arifin menghadap
Presiden, tak memberi komentar.
Sesungguhnya hingga kini sulit diketahui secara pasti, berapa
kebutuhan cengkih untuk dalam negeri setiap tahunnya, baik yang
berasal dari tanaman sendiri maupun yang masuk dari impor.
Perusahaan rokok kretek yang praktis menyerap seratus persen
suplai cengkih kini merasa kewalahan mengingat persediaan yang
ada pada mereka sudah melampaui batas normal tiga bulan.
Pertanyaan kini, siapa yang harus mengalah: produksi dalam
negeri atau impor?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini