Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa mau cengkih murah

Harga cengkih jatuh di bawah harga pasaran. kud dan kerta niaga tak mampu membeli dalam jumlah besar. gudang dan jarum menimbun stock. (eb)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPALA Bulog Bustanil Arifin dibikin pusing oleh gejolak harga cengkih. Dalam kedudukan sebagai menteri koperasi, dia pekan lalu sempat membicarakan mengenai jatuhnya harga komoditi itu dengan kepala negara, di saat panen raya berlangsung di pelbagai tempat. Soalnya dianggap gawat mengingat bahan utama pendamping tembakau dalam pembuatan rokok kretek itu, harganya kini di Lampung Tengah, hanya Rp 4.000, jauh di bawah harga dasarnya yang Rp 7.500 per kilogram. Guna mencegah kejatuhan harga komoditi itu lebih parah, Bustanil yang membawakan hasil rapat cengkih mengusulkan agar pemerintah memberikan kredit berbunga rendah sebanyak Rp 200 milyar pada pabrik rokok, dan menurunkan harga dasarnya jadi Rp 6.500. Tapi usul itu ditolak kepala negara. Untuk mempertahankan harga dasar, demikian Presiden seperti dikutip Bustanil, petani dianjurkan memperkecil suplai dengan menjualnya sedikit demi sedikit. Pemberian kredit Rp 200 milyar secara sekaligus dianggap Kepala Negara hanya akan menyulut angka inflasi. Tidak semua petani tentu punya kemampuan menahan cengkihnya agak lama. Achmad, petani dari Batang Hari, Lampung Tengah, terpaksa dengan berat melego cengkihnya dengan harga Rp 4.000 sekilo, sesudah Koperasi Unit Desa (KUD) setempat tak bisa membelinya lagi. Keterbatasan dana, menurut Bustanil, memang telah menyebabkan KUD yang seharusnya berperan sebagai pengendali harga tak mampu membeli cengkih eks petani dalam jumlah besar. Belum jelas benar, mengapa pemerintah memperketat pengaliran dananya ke koperasi. PT Kerta Niaga yang ditugasi sebagai badan penyangga ternyata baru membelanjakan Rp 8 milyar dari jumlah dana Rp 21 milyar, pemberian pemerintah. Entah karena apa perusahaan negara itu tak ikut serta sebagai pembeli dalam setiap pelelangan cengkih yang dilakukan Pusat KUD Lampung di Teluk Betung. Lima pedagang antarpulau yang ditunjuk Gubernur Jasir Hadibroto untuk memperbaiki tata niaga cengkih belakangan juga tak aktif melakukan transaksi. Mengantungi mandat gubernur, lima pedagang itu memperoleh hak istimewa membeli cengkih langsung dari rakyat. Mereka kabarnya sudah dilarang mengantarpulaukan komoditi itu. Gubernur Jasir menunjuk mereka, yang dinilai berhasil memasukkan sumbangan retribusi cengkih Rp 1,5 milyar, sesudah KUD dianggap gagal mengatur pemasukan pajak daerah itu. Tapi kini akibat Kerta Niaga dam lima pedagang itu manahan diri, 240 ton cengkih eks petani menumpuk di pelbagai KUD, dan gudang Pusat KUD Teluk Betung. Bisakah pabrik rokok membantu membeli cengkih itu? Tindakan seperti itu tampaknya sulit dilakukan mengingat pabrik rokok, seperti Djarum dan Gudang Garam, sudah mengadakan stok cengkih di atas jangka persediaan normal 3 bulan. Bahkan Gudang Garam, sudah membeli cengkih yang disimpan di pelbagai gudangnya untuk jangka setahun. Tahun ini sekitar 20 ribu ton cengkih (Rp 150 milyar) atau hampir 70% dari produksi nasional, akan dibelinya dari petani dan importir. Juli lalu perusahaan rokok pembayar cukai terbesar ini (tahun lalu hampir Rp 200 milyar) baru saja menandatangani kredit sindikasi US$ 75 juta dari pelbagai bank di Singapura. Kredit untuk pengadaan stok cengkih dan tembakau, dengan bunga 11% per tahun itu, sudah diambil separuhnya. "Mereka sih minta agar kami segera mengambil semuanya, tapi kami tak mau," ujar Suyoso Notokusumo, wakil direktur GG. "Dana itu baru kami ambil waktu mau dipakai saja agar bunga atas jumlah utang pokoknya tidak terlalu besar." Dengan likuiditas mantap seperti itu, GG yang pekan lalu baru membeli cengkih Rp 6.800 per kg dari Serang (Jawa Barat) tentu mudah mengontrol harga pasar Kemantapan likuiditas serupa juga dimilikl oleh cap Djarum, yang menimbun stok cengkih untuk masa produksi 6 bulan tembakau hanya 4 bulan. Perusahaan rokok di Kudus yang tahun lalu membayar cukai sekitar Rp 100 milyar itu, setiap bulan menghabiskan Rp 7 milyar untuk membeli cengkih. Sejak Januari, Djarum sudah melakukan pembelian cengkih dengan harga rata-rata Rp 7.700 per kg untuk masa produksi tahun ini. Untuk memperbaiki harga cengkih lokal, seorang pengusaha rokok menganjurkan agar pemerintah mau mengendalikan impor komoditi itu yang dilakukan oleh PT Mercu Buana dan PT Mega. Jika suplainya mulai dibatasi, "harga di dalam negeri tentu bisa dikendalikan," katanya. Sejauh itu, Probosutedjo, direktur utama Mercu Buana, yang menyertai Menteri Bustanil Arifin menghadap Presiden, tak memberi komentar. Sesungguhnya hingga kini sulit diketahui secara pasti, berapa kebutuhan cengkih untuk dalam negeri setiap tahunnya, baik yang berasal dari tanaman sendiri maupun yang masuk dari impor. Perusahaan rokok kretek yang praktis menyerap seratus persen suplai cengkih kini merasa kewalahan mengingat persediaan yang ada pada mereka sudah melampaui batas normal tiga bulan. Pertanyaan kini, siapa yang harus mengalah: produksi dalam negeri atau impor?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus