Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Penumpang-penumpang tak berbintang

Pelayaran perdana KM. Kerinci, Jakarta-Padang dan Jakarta-Ujungpandang. jadi sasaran tukang catut. para penumpang masih semrawut. belum bisa menyesuaikan dengan lingkungan kapal yang serba mewah. (pws)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMBER plastik, rantang, berbagai pecah belah, bahkan ayam dan sangkar burung turut berjejal. Sehingga temperatur 26 derajat Celsius yang disetel persis seperti kesejukan udara di kawasan Gunung Kerinci, Sum-Bar, nama yang dikenakan untuk kapal mewah itu -- tetap saja memancing keringat para penumpang. Antre dan saling sikut, dengan bawaan masing-masing yang hampir tak terpegang oleh kedua tangan pemiliknya. Dan pemeriksaan para penumpang untuk pelayaran perdana KM Kerinci Jakarta-Ujungpandang pekan lalu itu macet total. Pemandangan di "hotel berbintang tiga" yang terapung itu pun tak ubahnya seperti kapal-kapal penumpang "yang tak berbintang". Sebagian besar penumpang rupanya tak mau tahu atau memang tak sadar, mereka sedang diuji untuk menyesuaikan diri dengan berbagai fasilitas yang dimiliki kendaraan yang mereka naiki. Rantang dan pecah-belah itu misalnya dibawa untuk persiapan berebut ransum dalam pelayaran kelak. Dan ember plastik, selain untuk mencuci pecah-belah itu setelah digunakan, juga untuk rebutan air mandi. Agaknya mereka tak tahu, KM Kerinci yang diresmikan pemakaiannya 20 Agustus lalu tak mengenal tetek-bengek serupa itu. Keadaan itu segera mereka sadari setelah berada di atas kapal -- dan pelayaran dimulai setelah tertunda hampir satu jam. Tetapi kemacetan arus penumpang terjadi lagi untuk menentukan kamar masing-masing. Bagi penumpang kelas I dan II yang tiap kamar masing-masing terdiri dari dua dan empat tempat tidur, pengaturan tidak jelimet benar. Kemacetan mulai terlihat ketika pengaturan penumpang kelas III sampai ekonomi. Di kelas III tiap kamar diisi enam orang, kelas IV ada delapan orang. Membagi penumpang melalui ruang informasi ini ternyata tidak mudah. Petugas harus mengamati dulu karcis penumpang melihat identitasnya. Agar setiap kamar dihuni penumpang sejenis, laki atau perempuan. "Saya terpaksa pisah dengan ibu saya padahal ibu saya tua, perlu diawasi," keluh Kopda Indarlepo, salah seorang penumpang. Selama dua jam ia berdiri mengurus kamar, sebagai penumpang kelas IV. "Kalau tahu begini, saya tak mau naik kapal ini," gerutu anggota Arhanud yang mau cuti ke Palopo ini. Celakanya, selain berpisah dengan ibunya, Kopda Indarlepo ternyata mendapatkan kamar yang salah, berada satu kamar bersama tujuh penumpang wanita. Kebingungan seperti ini terjadi karena adanya sistem check in ketika penumpang di atas kapal untuk memperoleh kunci kamar. Itu berarti setiap penumpang yang jumlahnya lebih seribu orang itu harus diteliti satu-satu. Seorang pejabat yang mengikuti pelayaran ini dengan status undangan, menyebutkan macetnya pengurusan kamar "karena sistem check in ini baru pertama kali diterapkan Pelni." Setelah kapal mulai mengarungi lautan, agaknya para penumpang baru menyadari keadaan kapal yang mereka naiki. Penumpang kelas I, langsung bisa tidur-tiduran sambil menikmati acara hiburan lewat video. Semua kamar kelas I (ada 50 kamar) dilengkapi pesawat televisi. Juga kamar mandi yang serba wah. Tinggal membaringkan tubuh dan memilih tombol air panas atau dingin. Di kamar kelas II, III, dan IV memang tak tersedia televisi, kecuali di ruang makan yang dikhususkan bagi penumpang kelas-kelas ini. Di ruang kelas ekonomi, justru disediakan pesawat televisi agar mereka tidak keluyuran. Ruang ekonomi terbuka tanpa kamar-kamar dan penumpang bebas menggelar tikar di atas balai-balai. Pelayanan makan tergolong lumayan. Agar tak kalah dengan fasilitas hotel mewah di darat, 60 pelayan dengan celana hitam strip putih melayani penumpang, ditambah dua staf senior PT HII sebagai konsultan. Uji coba keselamatan penumpang dilakukan setelah sehari berlayar. Pengeras suara menyerukan agar penumpang segera mengenakan pelampung dan berkumpul di dek atas. Penumpang yang terlena dengan hiburan lewat video dan tak tahu seluk beluk uji coba itu hiruk-pikuk, bahkan banyak yang memanggil-manggil anggota rombongannya. Apalagi pengeras suara mengumumkan, saat itu kapal berada di perairan Masalembo, tempat terkuburnya Tampomas II, dua tahun lalu. Ketika sirene berhenti berbunyi dan tanda bahaya dinyatakan telah lewat, semua penumpang memakai pelampung. Lalu sepuluh sekoci penyelamat siap diturunkan, begitu pula rakit-rakit penolong. Ini berarti, semua sarana keselamatan berfungsi baik, pelampung tercukupi, sekoci tidak macet. Kapal yang berbobot mati 2.400 ton dengan kecepatan 20 mil per jam -- 5 mil lebih cepat dibandingkan Tampomas II -- hampir tanpa cacat. Walau begitu, kapal yang digerakkan mesin ganda berkekuatan 17.000 PK dan meminum 57.000 liter solar sehari, tak luput dari kritikan penumpang. Kopda Indarlepo, yang terpisah kamar dengan Ibunya itu, menyatakan pelayanan tak seimbang dengan kemewahan kapal. Pembagian makan di kelas IV dan ekonomi terlambat, karena pelayan lebih memprioritaskan kelas I, II dan III. "Terus terang saja saya kecewa," katanya. Apalagi ia membeli karcis Kerinci ini dengan catutan, Rp 2.000 lebih mahal. Perry Sasabone, 36 tahun, juga membeli karcis catutan untuk kelas ekonomi. Cuma, koresponden harian Berita Baru, Ujungpandang ini, memuji KM Kerinci, "lebih sejuk dibandingkan Tampomas II." Yang agak buruk, "suara getaran di kapal ini jauh lebih keras ketimbang Tampomas II," katanya. Kebisingan kapal rata-rata dikeluhkan banyak penumpang, termasuk para anggota Komisi V DPR RI yang diundang. Ini disebabkan Kerinci lebih banyak memakai pelat baja, sedang Tampomas II memakai kayu jati yang dinilai lebih dapat meredam suara. Pemakaian pelat baja tentu saja dengan pertimbangan agar tidak mudah dimakan api. Yang dikhawatirkan banyak orang tentu saja perawatan kapal, termasuk menjaga kenyamanan yang ditawarkan sejak awal. Para undangan yang terdiri dari anggota Komisi V DPR RI, para pejabat teras Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan sejumlah wartawan, khawatir para penumpang tak cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang serba mewah. Misalnya, ada keran yang lupa ditutup sehingga air mengucur terus. Kebersihan kamar mandi tak terawat. Puntung rokok dibuang di pot bunga. Bahkan di sebuah kamar, seorang pemuda membuat coretan di ranjangnya dengan spidol biru. Ketika berlabuh di Ujungpandang, seorang pria tertangkap mencuri handuk yang disediakan di kamar kelas II. Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, J.E. Habibie yang menyertai pelayaran perdana ini mengakui masalah kecil seperti itu perlu penanganan. "Kalau perlu akan ditunjuk pengawas di masing-masing kamar," ujar Habibie. "Pengawas itu yang bertanggung jawab jika ada barang hilang di kamar." Habibie adalah pejabat yang paling sibuk dalam pelayaran ini. Ia mengawasi sistem check in di ruang informasi, memimpin latihan penyelamatan, hilir mudik melihat tingkah laku penumpang, mengumpulkan wartawan untuk dimintai saran-saran. Bahkan, di malam hari, sehabis makan, Habibie muncul di ruang restoran. Restoran ini dilengkapi sebuah band, berhadapan dengan ruang dansa yang cukup luas. Di antara undangan yang melantai tampak bekas direktur utama Pelni, Husseyn Umar berpasangan dengan istrinya. Adalah Habibie pula yang memimpin upacara "tabur bunga" di perairan Masalembo, tempat Tampomas II tenggelam. Seorang penumpang diminta berdoa. Yang pasti dengan KM Kerinci, pelayaran Jakarta-Ujungpandang dan Jakarta-Padang terasa hidup kembali. Tinggal sekarang menghidupkan jalur-jalur lain -- yang meskipun tak kalah ramai, tampaknya masih harus menunggu. Sebab satu dari tiga buah kapal penumpang sejenis Kerinci yang sudah dipesan pemerintah, baru akan melaut tahun depan. Dan dengan kapal-kapal mewah itu kelak, paling tidak seperti kata Habibie, "akan memanusiakan" para penumpang yang selama ini harus berebut dengan ternak selama pelayaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus