MEMASUKI bulan puasa pasaran anggur minuman memang menurun. Yang
merisaukan produsen kali ini bukan karena bulan suci Ramadhan,
tapi keluarnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan akhir Mei lalu.
Dengan keputusan itu anggur dan arak tidak lagi digolongkan obat
tetapi masuk kategori minuman keras. Produsen diperintahan
sementara menghentikan produksinya dan segera mengalihkan
pendaftarannya ke minuman keras.
Anggur dan arak selama ini penggolongannya simpang siur.
Sebagian ada yang langsung terdaftar sebagai minuman keras, ada
pula yang tergolong obat. Tak kurang 35 merk anggur dan 11 arak
dari 16 pabrik terdaftar sebagai obat tradisional, sejenis
dengan jamu. Meliputi anggur obat kuat, anggur beranak dan
anggur kolesom.
Di samping itu pemerintah rupanya ingin memperketat penggunaan
minuman keras. Anggur yang selama ini terdaftar sebagai obat dan
obat tradisional mengandung alkohol paling sedikit 5%, menyamai
kadar alkohol dalam bir. "Akibatnya dia banyak dimanfaatkan
sebagai minuman keras daripada untuk menyembuhkan penyakit,"
kata Dr. Midian Sirait, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan
(POM).
Bagi pengusaha anggur keputusan pemerintah itu tentu
mengagetkan. "Kalau digolongkan sebagai minuman keras, konsumen
kami jadi terbatas," kata David Kwek Liong, wakil Direktur CV
Jakarta, cabang pabrik anggur cap Vigour di Cengkareng.
Vigour berasal dari Medan, diproduksi sejak 1930-an. Selama ini
pasarannya memang kuat di Sumatera Utara. Dengan mencantumkan
kata 'Jamu' dan sedikit aksara Arab, Vigour yang mengandung
alkohol sekitar 10% itu bahkan cukup laris pula di daerah Aceh.
Untuk pasaran Jakarta, pabriknya di Cengkareng dengan 20 orang
buruh, baru mampu menghasilkan 1.000 botol per hari. Terhadap SK
Menkes, David belum mengambil sikap. "Kami belum memutuskan
apakah akan mendaftarkan anggur kami ke minuman keras," katanya.
Ia ingin tetap "menahan" anggurnya sebagai obat tradisional.
Sampai minggu lalu pabriknya masih berproduksi.
Di Semarang, pabrik Jamu Anggur Cap 'Pak Jenggot' juga tetap
melaju dengan produksi rata-rata 30.000 botol tiap hari.
Beroperasi sejak 1950 dengan jumlah buruh sekitar 300 orang.
pabrik tersebut tergolong paling besar saat ini.
Selain di Semarang, "Pak Jenggot" juga memiliki pabrik di daerah
Tangerang, Jawa sarat. Produksinya meliputi 5 jenis anggur dan 2
jenis arak. Pasarannya Jawa.
Sebagian besar pekerja di pabrik itu tak banyak tahu mengenai
ketentuan pemerintah agar menghentikan produksi. "Memang
perusahaan sengaja tidak mengumumkan masalah itu," kata Nyoman
Prabawa, salah seorang direktur PT. Industri Anggur Cap Pak
Jenggot di Semarang. Ia mengakui pihaknya cukup pening
memikirkan cara untuk menyesuaikan hasil produksinya yang selama
ini terdaftar sebagai obat tradisional menjadi golongan minuman
keras.
Kenapa mesti pening? "Sebenarnya menurut SK Menkes ini mereka
hanya diperintahkan pindah nama", kata Dirjen Sirait. Nama
anggur, arak dan semacamnya, selanjutnya tak boleh lagi
digunakan sebagai nama obat atau obat tradisional. "Tapi sebagai
minuman keras ia boleh saja pakai nama anggur sehat misalnya",
sambungnya.
Yang menjadi keberatan para produsen jika hasil produksi mereka
masuk golongan minuman keras, agaknya berkaitan dengan soal
pajak. Dengan rekomendasi Departemen Kesehatan serta berada di
belakang nama obat, anggur dan arak selama ini mereka bebas dari
Pajak Penjualan (Ppn). Sedang sebagai minuman keras ia bakal
terkena Ppn 20%. Ini sesuai dengan SK Menteri Keuangan yang
berlaku sejak April 1979.
Harga sebotol anggur 600 cc cap Vigour yang sekarang ini Rp 500,
diperkirakan naik jadi Rp 600. Tak banyak memang. Tapi buat
konsumen yang rata-rata golongan menengah ke bawah pasti akan
merasakannya. Karena itu, sambil menghitung untung rugi menjual
minuman keras, produsen anggur diam-diam terus memproduksi.
Apalagi POM masih menginginkan mereka menghabiskan persediaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini