BURUH perusahaan penerbitan PT Al Ma'arif yang berjumlah 1.300
di Bandung lain dari yang lain. Mereka tak tergoda oleh
pemogokan buruh di berbagai tempat belum lama ini. Untuk
mendirikan FBSI saja mereka ogah. Apalagi direkturnya. 'Yang
penting saya merasa senang bekerja, tidak merasa tertekan dan
banyak hiburan. Soal upah mah berapa pun rasanya tak
cukup-cukup," ucap Imas Rumnasih wanita yang sudah 30 tahun
memburuh di situ.
Masuk ke sebuah ruangan penerbit dan percetakan buku-buku Islam
itu terdengar suara Elvy Sukaesih menghibur para buruh yang 80%
wanita. H.M. Bahartha, 78 tahun, orang Indonesia kelahiran
Hadramaut, Yaman Selatan, memang suka menimbulkan suasana segar.
Ketika merayakan ulang tahun perusahaan ke-30 akhir 1980, ia
menyelenggarakan pesta makan sehari suntuk. Orkes dangdut dan
tarian-tarian daerah dipentaskan. Waktu itu juga diserahkan 1
tahun gaji kepada mereka yang bekerja lebih dari 20 tahun.
Ketenteraman buruh memang dijaga benar oleh Bahartha, orang yang
ketika berumur 20 tahun pernah jadi pelayan di Singapura. Sejak
tahun 1975 perusahaan yang terletak di Cimindi dan Jalan
Tamblong, Bandung, mengadakan pembaruan. Mesin lama, yang
kebanyakan buatan tahun 1920-an, diganti dengan 25 buah
mesin-mesin baru buatan AS, Jerman dan Prancis. Mesin-mesin itu
sebenarnya cukup dilayani oleh 70-100 tenaga kerja. Tapi Al
Maarif tetap saja bertahan dengan 1.300 buruh.
Untuk bisnisnya sendiri, Bahartha yang mengaku tak pernah duduk
di bangku sekolah itu melaksanakan prinsip mencegah sebelum
munculnya saingan kuat. Ia mematikan saingannya sebelum sempat
muncul. Yaitu dengan menekan harga serendah mungkin. "Kalau mau
bersaing silakan atas dasar ini," katanya. Dengan omset Rp 100
juta/bulan dan jumlah buku yang dipasarkan sekitar 1 juta per
bulan, perusahaan itu menduduki tempat teratas di antara penebit
sejenis, seperti Menara Kudus dan Bulan Bintang. "Ruku keluaran
Ma'arif harganya miring 30 sampai 50% di bawah harga normal, "
kata seorang pengecer buku-buku doa, penuntun sembahyang sampai
pun Al Quran yang diterbitkan perusahaan dari Bandung itu.
Lima Juta Quran
Para pengecer ini merupakan kekuatan Al Ma'arif. Jumlahnya 1.500
orang, terkenal dengan sebutan "pedagang gendong". Mereka
merayap ke pelosok-pelosok kampung, lewat di pematang atau pun
menggelar dagangannya di pasar. Mereka mendapat rabat 40% untuk
tiap buku.
Menurut Bahartha, perusahaan itu dibangun dengan modal dengkul
bersama Abubakar M.A. dan ulama besar A. Hassan. "Satu-satunya
kekayaan kami hanya kepercayaan, "katanya bersemangat dari
belakang mejanya. Dia katanya tidak terlalu mengandalkan kredit
bank. Paling tinggi kredit yang pernah dia peroleh dari bank
cuma Rp 75 juta. "Yang penting saya harus memelihara kesetiaan
langganan," katanya. Langganan itu rupanya yang kemudian
mendukung permodalan Al Ma'arif. Sebab mereka sampai-sampai
memesan 2 bulan sebelum terbit.
Setiap bulan Al Ma'arif menghabiskan 300 ton kertas eks pabrik
kertas Leces. Di sini dicetak 150.000 jilid Al Quran tiap bulan.
Sekarang dia sedang mengerjakan pesanan dari Rabithah Alam Al
Islamy di Arab Saudi sebanyak 5 juta jilid. Selain mencetak buku
beraksara Arab, di situ juga dicetak bacaan berhuruf Latin
sebanyak 600 judul. Ada 500 judul buku bertuliskan huruf Arab
yang tak pernah berhenti dicetak. Terakhir tambah lagi
kesibukannya untuk mencetak koran seperti Giwangkara dan Berita
Harian.
Saat ini Al Ma'arif merencanakan untuk membangun lagi sebuah
percetakan di atas tanah seluas 1 ha di pinggir jalan raya
Bandung-Cimahi, dekat percetakan Advent. Tahun 1982 diharapkan
sudah bisa beroperasi. Dengan begitu pasaran Al Ma'arif di
Malaysia dan Singapura diharapkan meluas sampai ke Afrika bagian
timur.
Dalam usia menjelang 80 tahun, Bahartha kelihatan masih
bergairah untuk mempertahankan kepemimpinannya. Dia mengaku, 4
orang putranya "tak berbakat dagang dan kurang bersemangat"
untuk meneruskan perusahaan yang dia bangun dari nol itu. "Yang
saya harapkan menggantikan saya adalah salah satu dari 1.300
buruh yang bekerja di sini," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini