Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari remang ke transparan

Bank duta mengalami kerugian permainan valuta asing dan operasional hampir rp 1 trilyun. simpanan masyarakat berupa giro, tabungan dan deposito merosot rp 200 milyar.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ternyata, kerugian Bank Duta hampir Rp 1 trilyun. Dan tabungan masyarakat di bank itu merosot 200 milyar. UPAYA menegakkan si benang basah, Bank Duta, tidak cukup hany dengan mendudukkan bekas Waki Direktur Utama Dicky Iskandar Di Nata di kursi tertuduh. Memang, kerugian akibat permainan valuta asing sebesar US$ 419,6 juta atau Rp 778,7 milyar, akibat ulah Dicky, bisa ditutup melalui hibah murni dari pemilik saham mayoritas. Namun, di luar bencana itu Bank Duta juga mengalami kerugian operasional Rp 181,7 milyar, yang ditemukan oleh Akuntan Publik Drs. Utomo & Co. Akuntan lama, Hadi Pontan, rupanya tak cukup jeli hingga tak melihat adanya kebocoran semacam itu. "Saya pikir itu soal disiplin dalam menerapkan kaidah akuntansi," kata Direktur Operasi Bank Duta B.S. Salamoen kepada TEMPO. Kerugian ini terutama disebabkan oleh tagihan-tagihan dan kredit-kredit macet yang dihapuskan dari pembukuan, koreksi pengakuan beban dan pendapatan (revenue and expense recognition). Komisaris Utama Bank Duta Moeljoto Djojomartono, dalam laporannya pada RULB Pemegang Saham Senin dua pekan silam, mengatakan bahwa koreksi tersebut berlandaskan asas konservatisme dan sikap jujur dalam pengelolaan bank. Kelanjutannya berupa kesepakatan untuk tidak membagi dividen, menahan laba (Rp 4,8 milyar), dan melakukan restrukturisasi penyajian modal. Sikap yang lebih realistis ini barangkali terasa pahit, tapi itulah jalan utama yang harus ditempuh pengelola baru. Tidak saja untuk menyembuhkan, tapi terutama untuk segera bisa memulihkan kesehatan bank. Selain itu, masih ada misi lain, yakni memulihkan kepercayaan masyarakat. Yang disebut terakhir ini tak kalah penting, apalagi besarnya kerugian dibandingkan dengan merosotnya kepercayaan masyarakat jelas berkaitan. Direktur Utama Winarto Soemarto mengungkapkan, simpanan masyarakat di Bank Duta -- giro, tabungan, dan deposito -- pada Desember 1990 turun menjadi Rp 1,89 trilyun. Padahal, September tahun itu juga masih Rp 1,94 trilyun. Selanjutnya pada Maret 1991 jumlahnya merosot lagi menjadi Rp 1,74 trilyun. Jadi, ada penciutan Rp 200 milyar. Seiring dengan itu, di pasar modal harga saham Bank Duta juga meluncur turun. Terakhir diperjualbelikan dengan harga Rp 2.700 per saham -- saham itu makin jauh saja dari harga perdananya (Rp 8.000). Dan pakar pengamat bursa Dr. Sjahrir memperkirakan, saham Bank Duta masih akan merosot lagi. Direksi baru sudah memasukkan hibah murni Rp 778,7 milyar dan memanfaatkan agio Rp 153 milyar untuk menutup defisit (Rp 932 milyar) sehingga modal sendiri bersih Rp 179 milyar. Pinjaman subordinasi Rp 153 milyar dari pemilik saham mayoritas (Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, dan Yayasan Dharmais) sudah diproses, yang menurut Salamoen berlaku lima tahun, tapi dapat diperpanjang menjadi 15 tahun. "Bunganya mengikuti situasi pasar," katanya. Pinjaman subordinasi itu perlu untuk memperbaiki capital adeqacy ratio (CAR) serta legal lending limit Bank Duta. Adakah upaya lain memulihkan citra? Jawabnya: ya, dengan menghentikan margin trading atas nama bank. "Kami belum siap," kata Salamoen. Para pelaku (trader) yang dahulu rupanya dianggap belum piawai. Seiring dengan itu, Bank Duta bekerja sama dengan Institute of Financial Banking dan bank korespondennya di Singapura, untuk mendidik sebagian stafnya menjadi dealer yang berkemampuan tinggi. "Mereka harus belajar tentang hakikat margin trading," kata Salamoen, yang menilai kegiatan tersebut masih dalam taraf gagah-gagahan. Sesudah itu, barulah konsolidasi, termasuk ke dalamnya perumusan kembali fungsi pengawasan intern. Semua upaya disentralisasikan di kantor pusat dan bertanggung jawah langsung kepada direktur utama. "Kami ini berangkat dari remang-remang menuju transparan," ujar Salamoen, penuh harap. Mohamad Cholid dan Iwan Qodar Himawan (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus