Bustanil mengusulkan agar PT PP Berdikari dijadikan holding company. Tapi pertanyaan Soekardi belum terjawab tuntas. KALAU ada menteri yang paling disorot belakangan ini, tak salah lagi, dialah Menteri Bustanil Arifin. Sejak musibah yang menimpa Bank Duta, Pak Bus tampaknya harus menghadapi berbagai masalah serupa, yang jelas-jelas sangat merepotkan. Lihat saja, pada saat persidangan yang mengadili Wakil Dirut Bank Duta masih berlangsung, timbul krisis Bukopin dengan kredit macetnya. Dan belum selesai masalah Bukopin, sebuah persoalan lain sudah menunggu, yakni tentang PT PP Berdikari. Perusahaan yang berstatus pilot project (PP) ini, entah bagaimana mulanya, dipertanyakan keberadaannya oleh Wakil Ketua MPR/DPR Mayjen (Purn.) Soekardi. Ia, misalnya, mempertanyakan bagaimana status Berdikari sekarang. BUMN-kah, atau badan usaha swasta? Sudahkah perusahaan ini melaba? Dan pertanyaan yang tak kurang pentingnya adalah: kenapa Berdikari yang sudah berusia 25 tahun masih bersifat pilot project? "Ini semua harus dijelaskan kepada rakyat," begitu kata Soekardi kepada Media Indonesia. Tanpa menunggu lama, Bustanil selaku penjabat Dirut Berdikari langsung menjawab. Katanya, memang sudah saatnya perusahaan ini mengubah status. Salah satu caranya, begitu usul Bus, Berdikari dijadikan holding company. Namun, keputusan terakhir tentu berada di tangan Presiden. Bus tak lupa menambahkan bahwa kondisi perusahaan ini baik-baik saja. PT Asuransi Berdikari (salah satu anak perusahaannya) berjalan cukup lancar. Begitupun PT Wotraco yang bergerak di bidang perdagangan ekspor impor. Hanya PT Kapas Indah, yang sejak didirikan 1976 hingga kini masih merugi. Tapi kalau ditotal, dari tujuh anak perusahaannya, di tahun 1988 Berdikari pernah meraih keuntungan tak kurang dari Rp 20 milyar. Tidak begitu besar, memang. Apalagi kalau melihat semua aktivitas yang dilakukan Berdikari selama ini. Di sektor perdagangan, Berdikari secara rutin mengekspor rotan, jagung, dan kopi. Selain itu, ia juga mengusahakan perkebunan dan pengalengan nanas di Sumatera Utara, perkebunan kapas di Sulawesi Tenggara, serta peternakan sapi pedaging di Jawa Barat. Dan masih ada PT Udjung Lima, salah satu perusahaan Berdikari yang bergerak di bidang ekspedisi muatan kapal laut. Tidak cukup sampai di situ. Perusahaan yang merupakan cikal bakal Bank Duta ini (dulu namanya Bank Duta Ekonomi, dan 100% sahamnya dimiliki Berdikari) juga pernah menjajaki untuk membuat perkebunan bunga yang hasilnya direncanakan untuk diekspor. Perusahaan yang sehari-harinya dipimpin oleh Ahmad Nurhani itu juga pernah berencana akan memperluas perkebunan nanasnya, sekaligus mendirikan pabrik pengalengan nanas yang baru. Cukup? Belum. Ketika saham milik Berdikari di Bank Duta dijual kepada Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab, yang mengelola dana milik Golkar), tersiar kabar bahwa perusahaan ini akan mendirikan bank baru. Alasannya waktu itu, Bank Duta membutuhkan suntikan dana, sementara Berdikari tidak mampu memenuhinya. "Kalau mendirikan bank baru, kan lebih murah," kata sebuah sumber. Dan untuk mewujudkan berdirinya bank tersebut, kabarnya, manajemen Berdikari sudah mengajukan surat permohonan ke Departemen Keuangan. Tapi ketika itu, Bustanil membantah adanya rencana tersebut. "Usaha bank tampaknya tidak menguntungkan," komentar Bus waktu itu. Nah, yang dipertanyakan oleh Soekardi, seperti apa Berdikari sekarang. Apakah rencana-rencana seperti yang diungkapkan di atas sudah diwujudkan? Mungkin karena berbagai hal, Bus belum mau menjelaskan secara rinci. Ia hanya mengatakan bahwa perusahaan yang kini beraset sekitar Rp 160 milyar ini, "Keadaannya sudah semakinbaik." BK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini